Kamis, 24 Maret 2011

Belajar dari Ki Hadjar

Oleh: BS Mardiatmadja

SANGAT menarik bahwa pada akhir Februari 1933 Ki Hadjar Dewantara sudah menulis tentang teroris dalam majalah Pusara. Waktu itu ia mengajak negara agar sesegera dan setegas mungkin mencegah perbuatan teror.

Tindakan teror ia temukan dalam orang yang merusak milik orang lain dan merasa lebih dicintai pemimpin negara karena terornya kepada orang lain tak dihukum sewajarnya.

Ketika Ki Hadjar mendapat gelar doktor honoris causa (19 Desember 1956), Prof Sardjito memuji keberaniannya melawan Pemerintah Belanda dengan tulisannya, ”Als ik een Nederlander was”: menghadapi perbedaan paham-paham dengan argumentasi, bukan dengan kekerasan.

Tak takut akan teror

Selanjutnya, Sardjito menunjukkan tekad Ki Hadjar untuk tak hanya menulis dan bicara, tetapi juga segera bekerja keras membangun Tamansiswa. Dalam pidato sambutannya, Ki Hadjar menunjukkan tak takut akan teror dan melontarkan kritik keras lagi terhadap pendidikan Belanda. Namun, dia mengatakan juga agar kita tak ikut memperbesar teror atau ketakutan di kalangan rakyat.

Selanjutnya, ia menolak membalas teror dengan teror dengan justru mengatakan, ”Jangan sampai anak-anak Belanda di antara kita tidak mendapat pengajaran dan pendidikan. Kita harus bersama-sama mencari kebenaran.”

Kedua cendekiawan nasionalis ini menolak memencilkan lawan politik dan musuh militer. Mereka malah membuka peluang agar terus-menerus berbagi kemerdekaan dan bersama mencari kebenaran hidup. Betapa mereka itu berbeda dengan sejumlah pembesar negara saat ini: mau membungkam lawan politik atau orang yang berbeda keyakinan atau agama dengan membekukan aliran atau meminggirkan pihak lawan.

Rupanya bagi Sardjito dan Ki Hadjar, pembinaan dan pendidikan dalam masyarakat membuka kesempatan hidup bersama bagi orang yang bermusuhan, beda pendapat, dan lain keyakinan. Mere- ka tidak melawan teror dengan teror, tak mau pula membiarkan teror menghantui rakyat. Mereka melawan teror tidak dengan kekerasan, tetapi dengan argumentasi, dan memfasilitasi rakyat membuka komunikasi. Itu terjadi puluhan tahun silam saat republik ini hampir lahir dan sesudahnya ketika Indonesia masih muda.

Dalam suatu pertemuan di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia belum lama ini, Prof Musdah Mulia mengkritik orang-orang yang katanya atas dasar agama melakukan kekerasan, tak hanya dengan menghancurkan milik orang lain, juga dengan menciptakan aturan dan perda yang memerkosa hak asasi rakyat kecil dan minoritas. Pada kesempatan lain, Komnas HAM prihatin dengan kurangnya usaha pejabat tertentu memfasilitasi komunikasi antar-rakyat, malah memberi contoh bahwa mereka tak mampu berkomunikasi serta takut kritik. Di Wahid Institute, belum lama ini terdengar seruan, cukup banyak pemikir dan pemerhati masyarakat menyesalkan pejabat yang memberi kesan takut kepada perusuh dan malah merangkul orang-orang yang membuat teror bagi orang lain.

Lalu, terciptalah teror-teror baru berupa perda-perda yang membuat orang ngeri karena perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan sudah dikriminalkan. Dalam banyak diskusi dirasakan seakan-akan mubazirlah inisiatif Habibie membuka iklim terbuka di dunia politik kita dan terlupakanlah upaya Gus Dur menciptakan persaudaraan ketika memimpin negara ini.

Ada kesan kuat pemimpin negara dan aparatnya tak jelas-jelas melindungi korban keganasan fisik, malah mengalah terhadap teror mental sekelompok kecil orang dalam suatu republik yang oleh Obama dikatakan sebagai teladan toleransi ketika berkunjung di UI, Depok.

Kehilangan orientasi

Agaknya banyak bagian bangsa ini kehilangan orientasi dalam bernegara dan menyelesaikan perbedaan paham. Banyak hal mau ditutupi dengan koalisi sementara yang sangat beraroma kepentingan politis jangka pendek dan bukannya diarahkan oleh prinsip bernegara yang teguh dan berjangka panjang. Dilupakan bahwa kita punya Pancasila yang deretan sila-silanya bermuara pada keadilan sosial.

Keadilan sosial justru mau menguatkan keadilan legal (yang kerap lumpuh seperti di Indonesia saat ini), keadilan distributif (yang dirusak oleh monopoli dagang dan perekonomian yang orientasinya ke modal besar), dan keadilan komutatif (yang terbukti hanya memenangkan mereka yang kuat secara fisik, ekonomis, ataupun politis). Sebab, dalam keadilan sosial diupayakan agar kelompok atau komunitas kecil(-kecil) tetap terlindungi di tengah keganasan rebutan kuasa dan kejayaan.

Bila diskusi sekitar Agustus 1945 dicermati benar-benar, dialognya tidaklah mengenai agama, tetapi mengenai persaudaraan di antara siapa pun yang mau menjadi bagian republik muda ini.

Sekian banyak perundingan ditujukan untuk merangkul siapa pun yang mau bergabung dengan para inisiator proklamasi kemerdekaan. Tak satu pun kelompok—sekecil apa pun—yang tak difasilitasi untuk bergabung. Di balik rumusan Bhinneka Tunggal Ika tersembunyi bukan sekadar strategi politik dan militer, melainkan juga sikap kemanusiaan mendalam. Itulah sebab dari kehadiran sila ”peri kemanusiaan” dalam rangkaian dengan ”persatuan bangsa Indonesia dan musyawarah”.

Ketika kemudian menjadi menteri yang mengurusi persekolahan demi pencerdasan anak-anak bangsa, Ki Hadjar ikut memastikan sekolah kecil tak hancur karena perubahan politik dan ekonomi. Juga sesudah tak lagi jadi menteri, ia memperjuangkan subsidi bagi sekolah kecil.

Dengan demikian, terdidiklah rakyat dan para pejabat agar berpendirian bahwa dalam negara ini siapa pun disambut dengan tangan terbuka untuk jadi warga negara dan diperlakukan setara dengan orang lain justru kalau kecil dan lemah.

Implikasinya harus tampak dalam UU, peraturan pemerintah, perda, dan penegakan keadilan. Aparat pemerintah tak pernah boleh gentar menghadapi kekerasan kelompok apa pun: membela si kecil yang diancam harta, apalagi nyawanya. Ada sesuatu yang amat diperlukan warga lemah: ketika makanan mahal, rumah rusak, lampu tak tersedia, keamanan rapuh, di situlah warga kecil mengorientasikan hidupnya kepada Tuhan.

Keyakinan atau agama yang tak dapat direduksikan pada upacara dan ajaran (yang memang terasa perlu saat tenang) adalah orientasi dasar manusia paling mendasar. Mukadimah UUD 1945 jelas memahami hal itu, tetapi tidak oleh sejumlah pejabat masa kini. Padahal, justru dalam hal itulah para pendiri negara kita berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh dunia, yang dalam PBB memaklumkan hak-hak asasi manusia.

Seyogianya negara kita tak dibuat terpencil dari pergaulan internasional karena perilaku dan cara kerja segelintir pejabat yang hanya akan punya waktu terbatas dalam mengabdi bangsa.

Ki Hadjar sudah mengajarkan orientasi bangsa yang jelas.

BS Mardiatmadja, Rohaniwan

Sumber: Kompas, Sabtu, 19 Maret 2011

Jumat, 11 Maret 2011

JEJAK SINGKAT ABDUR RAHMAN AWAD BASWEDAN

Harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang orang-orang Arab, 1 Agustus 1934. Abdur Rahman Awad Baswedan memang peranakan Arab, walau lidahnya pekat Jawa, bila berbicara. Dalam artikel itu terpampang foto Baswedan mengenakan blangkon. Karena ulahnya itu, orang-orang Arab -- ketika itu terjadi pertikaian antara kelompok Al Irsyad dan Rabitah Alawiyah -- berang padanya.

Ia mengimbau orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli. ''Di mana saya lahir, di situlah tanah airku,'' kata lelaki itu.
Oktober 1934, setelah pemuatan artikel yang menghebohkan itu, ia mengumpulkan para peranakan Arab di Semarang. Lalu berdirilah Partai Arab Indonesia (PAI), dan Baswedan diangkat sebagai ketua. Sejak itu ia tampil sebagai tokoh politik. Harian Matahari pun ditinggalkannya. Padahal, ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu. ''Demi perjuangan,'' katanya.

Baswedan kemudian mendapat rekan seperjuangan di Surabaya, Liem Koen Hian, peranakan Cina yang sependirian dengannya. Melalui harian Sin Tit Po, Liem menyerang pemerintah Belanda. Liem adalah pemimpin redaksi dan penanggung jawab Sin Tit Po. Baswedan menjadi penjaga pojoknya, dengan nama samaran Abun Awas. Kok bukan Abu Nawas?

Menurut Baswedan, Abu Nawas di Indonesia hanya dikenal sebagai tokoh yang cerdik dan jenaka. Padahal, tokoh itu juga seorang penyair besar. Sedangkan Baswedan menulis pojok, selain jenaka, juga tajam dan menyakitkan Belanda. Makanya, ia senang dengan nama Abun Awas daripada Abu Nawas.

Liem Koen Hian dan Baswedan sama-sama pedas bila menulis. Direkturnya pun menegur, karena ada peringatan dari pemerintah Belanda. Baswedan dan kawan-kawan akhirnya memilih keluar daripada berkompromi dengan Belanda, padahal ia baru setahun di sana.
Ia memang wartawan tangguh. Bekerja bukan untuk gaji. Di Sin Tit Po ia mendapat 75 gulden -- waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden. Toh ia tetap keluar dan memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr. Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Karena itu, Soebagio I.N., dalam buku Jagat Wartawan, memilih Baswedan sebagai salah seorang dari 111 perintis pers nasional yang tangguh dan berdedikasi.

Judul diadaptasi dari sumber informasi DISINI
UPDATE:
TIDAK sempat merampungkan autobiografinya, Abdur Rahman Awad
Baswedan meninggal dunia, dalam usia 78 tahun, pada Maret 1986.
Biografi Beliau kemudian ditulis oleh Suratmin (Yogyakarta) dan ....coming son

Pada tanggal 09. Maret 2011 Seminar tentang Peranan AR. Baswedan dalam Merajut Keindonesiaan dilasanakan di Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dengan Pembicara: Dr. Anhar Gonggong (UI Jakarta), Purnawan Basundoro (Kandidat Doktor di UGM) dan Drs. Hasan Bahanan (UNTAG Surabaya)

Etnis Arab merupakan salah satu golongan yang ikut meramaikan perdagangan dan aktivitas ekonomi di Indonesia selama berabad-abad. Dalam perkembangannya orang-orang Arab mudah beradaptasi dan dihormati golongan pribumi, antara lain karena alasan kesamaan agama. Salah satu tokoh keturunan Arab yang turut ambil bagian dalam proses sejarah politik Indonesia adalah Abdul Rahman (A.R.) Baswedan, yang dilahirkan di Kampung Ampel, Surabaya, 9 September 1908 dan wafat tanggal 16 Maret 1986 di Jakarta.

Karya dan perjuangan A.R Baswedan dalam konteks sejarah di Indonesia yang layak diapresiasi adalah. Pertama, di kalangan internal komunitasnya Baswedan telah berjuang menyatukan komunitas Arab dan agar mereka menjadi bagian integral dari rakyat Indonesia, tanpa sekat seperti yang dilakukan oleh penjajah. Ditegaskannya, Indonesia adalah ibu pertiwi keturunan Arab. Kedua, Baswedan telah ikut berjuang secara politik melalui Partai Arab Indonesia (PAI) yang didirikannya di tahun 1934, maupun jalur pers untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia atas dasar persatuan dan kesatuan. Ketiga, di tingkat nasional, Baswedan telah memainkan peran penting dalam mengobarkan semangat nasionalisme, untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka dan bebas dari penjajahan sebagaimana tercantum dalam garis perjuangan politik PAI. Keempat, di ranah diplomasi, Baswedan ternyata juga turut memperjuangkan pengakuan diplomatik yang pertama bagi Republik Indonesia, yakni dari Kerajaan Mesir di tahun 1947.
Sehubungan dengan 25 tahun wafatnya A.R. Baswedan, maka Yayasan Nabil menggandeng Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, mengadakan Seminar Nasional bertemakan “A.R.Baswedan: Sejarah dan Perannya dalam Merajut ke-Indonesia-an”, agar nilai-nilai kejuangan beliau dapat diaktualisasikan bagi kehidupan kebangsaan dewasa ini. Acara akan diadakan pada hari Rabu, 9 Maret 2011 pukul 09-13.00 WIB di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya Lt 2, Kampus B, Universitas Airlangga Suarabaya. Adapun para pembicara adalah: Dr. Anhar Gonggong (Sejarawan dan Dosen di Universitas Atma Jaya, Jakarta); Drs. Hasan Bahanan (Pemerhati Sejarah Komunitas Arab, Dosen di Universitas Sultan Agung Surabaya) dan Purnawan Basundoro (Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dan Kandidat Doktor dalam Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada). Dari pihak keluarga, direncanakan akan hadir pula Anies Baswedan, Ph.D yang juga adalah Rektor Universitas Paramadina, untuk memberikan sambutan.

Yayasan Nation Building (NABIL) adalah sebuah lembaga sosial yang didirikan bulan September 2006 oleh Drs Eddie Lembong, dengan tujuan utama ikut berperan serta secara aktif dalam Pembangunan Bangsa (Nation Building). Partisipasi tersebut diwujudkan dalam pelbagai kegiatan diantaranya mengembangkan dan menyebarkan doktrin Penyerbukan Silang Antar Budaya (Cross Cultural Fertilization), meningkatkan dan meneguhkan pluralisme dan multikulturalisme, meningkatkan hubungan baik antar etnik serta kegiatan lainnya yang ditujukan untuk pembangunan Bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik dan bermartabat.