Rabu, 19 Januari 2011

Merajut Ke-Indonesiaan Kita

Oleh : Abdul Rahman Hamid
(Staf Jurusan Sejarah Universitas Hasanuddin, Makassar)



Pada kali pertama berkunjung ke Buton tahun 1999, bahkan hingga kini, saya mendengar perkataan bahwa “Buton bukan Indonesia”. Pasalnya, negeri ini tidak pernah dijajah oleh Belanda. Sehingga, dengan demikian, tidak memiliki pengalaman masa lalu yang sama dengan daerah-daerah lainnya untuk menjadi Indonesia. Lebih lanjut, Indonesia yang dihasilkan dari pergumulan pemikiran para pendirinya, pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, juga ditegaskan dalam diktum 3 Perjanjian Linggajati 1947, adalah wilayah bekas jajahan Belanda.

Wacana ini sangat menarik ditengah upaya keras pemerintah menyempurnakan Indonesia. Bagaimanapun, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam bahasa doktrinal tentara, sudah harga mati. Tetapi, meskipun demikian, Indonesia bukanlah pula barang jadi, atau simpul politik yang langsung diterima seratus persen oleh masyarakat yang kini menjadi keluarga politik Indonesia. Pada konteks inilah, peran penting dan nilai strategis pengungkapan sejarah sebagai fundamen dalam mengindonesia.

Endemisnya pemikiran tersebut tidak dapat ditolak begitu saja, atau diterima sepenuhnya, sebagai fakta ingatan kolektif masyarakat Buton yang masih hidup hari ini. Karena itulah, kita perlu bertamasya kembali pada relung-relung sejarahnya, terutama dalam kaitan hubungan diplomatik Negara Barata Buton dengan Belanda, berikut dinamika yang menyertainya.

Yang (masih) diingat
Pada abad ke-17, Buton pada masa Sultan La Elangi Dayanu Ikhsanuddin (1597-1633) pertama kali menandatangi kontrak politik abadi (Janji Baan) dengan Kompeni Belanda pada 5 Januari 1613. Dalam kontrak ini, Kompeni yang diwakili oleh Kapten Scotte berjanji akan membantu melindungi Buton dari segala ancaman musuh. Sebaliknya, Buton akan membantu Kompeni dalam perang (ke Solor) dan melindungi kepentingan pelayaran dan niaga maritimnya di Buton (Zahari 1977).

Tak heran, jika dalam buku Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda 1839-1848 (ANRI 1973) dikatakan, “Kerajaan ini [Buton] tergolong sahabat Belanda yang lama”. Pada kitab ini pula diungkap jasa Buton terhadap Belanda, antara lain, dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Atas jasa itu, Belanda membantu Buton mengatasi masalah gerakan pemberontakan di Kepulauan Tukang Besi (sekarang WAKATOBI) pada tahun 1848.

Pada abad ke-19, ketika Belanda berupaya membulatkan daerah jajahannya, melalui kebijakan Pax Neerlandica, dibuat tiga kategori wilayah kekuasanya di Sulawesi yaitu: (1) negeri-negeri yang langsung dibawah kekuasaan Belanda, (2) kerajaan-kerajaan yang tidak langsung dibawah pemerintahannya, dan (3) kerajaan-kerajaan yang merdeka. Dasar kategori terakhir adalah adanya ikatan khusus dengan Belanda. Buton dalam konteks itu merupakan kerajaan yang merdeka. Selain karena pernah menjadi sekutunya di abad ke-17, terutama dalam Perang Makassar (1666-1669), Sultan Buton Kaimuddin telah menandatangi Perjanjian Bungaya yang diperbaharui 1824. Karena itu, terhadap Kesultanan Buton, Belanda hanya menuntut pengakuan kedaulatannya.

Hubungan diplomatik tersebut dominan memproduksi ingatan kolektif masyarakat Buton hingga kini, sehingga tak jarang rumusan politik negara-bangsa (Indonesia) ditampiknya. Ironisnya, jika fondasinya adalah sejarah, proses panjang yang utuh dari kisah diplomatik itu dilupakan, yakni dinamika dan perubahan pola hubungan kedunya, hingga akhirnya Buton terintegrasi didalam kuasa pemerintah Hindia Belanda.

Yang (sudah) dilupakan

Satu tahun setelah Janji Baan 1613, seperti dikemukakan oleh Jan Pieters dalam kunjungannya ke Buton, Buton sudah tidak penting lagi bagi Belanda. Serdadu-serdadu Belanda dan delapan buah meriam yang ditempatkan di sana diangkut kembali pada tahun 1615. Hal itu menimbulkan reaksi dari Buton karena Belanda tidak menepati janjinya. Walhasil, Buton melakukan sejumlah penyerangan terhadap armada Belanda, antara lain, Kapal van de Fluit Velzen di Wawonii tahun 1635, atas perintah Sultan. Sebaliknya, Belanda dibawah pimpinan van Antonie Coen menyerang dan berhasil memporak-porandakan benteng pertahanan Buton di kawasan pesisir tahun 1638  .

Meskipun demikian, kepentingan Belanda atas (di) Buton tak kunjung surut. Dalam abad ke-19, kembali diukir janji politik dengan Buton di masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, tanggal 19 Februari 1824. Kali ini hubungan keduanya diasosiasikan dengan “Ayah-Anak”. Dalam hal ini, Belanda sebagai Ayah dan Buton selaku Anak. Keduanya saling membantu dan menghargai sesuai kedaulatan politiknya masing-masing. 

Tetapi, ketika Inggris mencapai langkah maju di Serawak 1845, dan ini dipandang dapat mempengaruhi keutuhan wilayah kuasannya, Belanda bergiat menguatkan simpul politiknya. Pada 28 Agustus 1873 dicapai perjanjian antara Sultan Buton Kaimuddin III dengan Belanda yang diwakili oleh A. Ligtvoet (ketika itu menjabat Sekretaris Urusan Dalam Negeri Hindia Belanda), bahwa Buton berada dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda. Dengan demikian, pudar sudah status politiknya sebagai kerajaan yang merdeka.
Asosiasi hubungan Ayah-Anak pun juga berubah menjadi “Tuan-Hamba”, atau antara yang berkuasa (Belanda) dan yang dikuasai (Buton). Rona hubungan ini dikukuhkan melalui Perjanjian Sultan Buton Muhammad Asyikin Aidil Rakhim (1906-1911) dengan Residen Belanda Brugman pada 8 April 1906; yang lebih dikenal dengan Perjanjian Asyikin-Brugman.

Sejak saat itu Buton, yang telah kehilangan pesona politiknya sebagai kerajaan merdeka dan berdaulat, terintegrasi penuh kedalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Bendera Belanda wajib dikibarkan, baik di darat maupu di laut. Buton juga tidak boleh mengadakan hubungan dengan kerajaan atau kekuatan asing lainnya, kecuali dengan atau atas persetujuan Belanda.

Menariknya, dalam abad ini tasawuf juga berkembang pesat di Buton (Yunus 1995), dengan tokoh utamanya adalah Sultan dan bangsawan keraton. Tampaknya, cara ini efekif dan menjadi alternatif dalam usaha memulihkan wibawa kesultanan lewat jalur agama, setelah tertutup katupnya di ranah politik pasca Perjanjian Asyikin-Brugman 1906, sehingga kesultanan tetap hidup sampai tahun 1960 (Schoorl 2003).

Dirajut Kembali

Deretan fakta tersebut jelas dan tegas menunjukkan bahwa Buton adalah bekas wilayah kuasa politik Belanda atau Hindia Belanda. Dengan demikian, meminjam pesan ilmiah Ernest Renan tentang dasar pembentukan negara-bangsa, Buton memilik roman masa lalu yang sama dengan daerah-daerah dan masyarakat lainnya sehingga menjadi anggota keluarga politik Indonesia. Apa pun dalilnya, bahwa “Buton bukan Indonesia”, tidak memiliki pijakan historis yang kuat. Paling banter dikatakan sebagai ingatan yang tercecer dan kini masih hidup dalam masyarakat Buton.

Akhir kata, perlu upaya penguatan ingatan sejarah bangsa, terutama dalam kaitan diplomatik Buton dengan Belanda, untuk merajuk kembali Indonesia. Tetapi, itu hanya dapat dicapai bila akses sumber sejarah dipermudah. Dan, cara berpikir dan laku bahwa sejarah Buton sulit diungkap, atau belum saatnya untuk diceritakan sudah seharusnya ditimbang kembali, jika tak mau generasi baru Buton kehilangan akar jatidirinya sebagai anak bangsa Indonesia, dan pada lakonnya sebagai aktor sosial ditengah komunitas global (globalisasi) dewasa ini. Semoga!

Selasa, 11 Januari 2011

Urbanisasi Pada Masa Awal Sejarah Jawa

Resensi atas artikel:
Jan Wissman Chhristie
"State Without Citi
es:Demographic Trends in Early Java" 

Terjadinya peningkatan populasi di pulau Jawa yang disurvey pertama kali oleh Raffles yakni 4,5 juta kemudian tahun 1900 pula disurvey lagi dengan jumlah penduduk mencapai 30 juta. Hal itu telah menyebabkan terjadinya ledakan pendududk. Ledakan penduduk yang oleh Jan Wissman Chirtie tidak mencakup seluruh wilayah pulau Jawa, namun hanya meliputi jawa rengah dan jawa timur. Chirtie melihat tentang ditribusi populasi di pulau Jawa yang berbeda. Distribusi populasi eliputi wilayah di daerah-daerah partikelir, dan faktor-faktor yang menyebakan urbanisasi.

Reid mengetakan bahwa populasi yang terjadi di tanah-tanah partikelir di Jawa Tengah dan Jawa Timur akaibat dari struktur ekonopmi koloniaol. Struktur ini dibangaun oleh kolonialisme di Asia tenggara pada abad 16 dan abad 17.hal itu disebabakan karena Asia Tenggara sudah menjadi daerah urbanisasi global. Tetapi Chirtie berpendapat bahwa pola pertumbuhan dan populasi di jawa tengah dan Jawa Timur sudah terjadi sebelum masa kolonial.

Menurut data Arkeologis, Jawa telah melakukan perdagangan barang tambang pada abad ke-3 sebeleum masehi dengan daerah di sebelah utara Vietnam. Pada masa perdangan pulau Jawa memiliki peranan penting sebagai daerah “Indianisasi”. Kemudian data yang diambil dari demografi Jawa sendiri memiliki potensi sebagai pengekspor tembaga, piring, dan batu sebagai sumber ekonomi masyarakat Jawa.
Dalam artikel Christie yang diterbitkan oleh Southeast Asia Program Publications at Cornell University membagai dalam tiga pokok bahasan.

Pertama, perkambpungan awal dan kecenderungan demografi. Pada abad ke-9 sampai abad ke-14 manusia jawa tinggal diadaerah yang subur terutama dekat dengan gunung berapi dan delta sungai. Sebelum thaun 929 dominasi kerjaan terletak di daerah gunung berapi di jawa tenfgah, kemudian akibat dari serangan dari Sriwijaya kekuasaan politik dipindahkan ke timur di delta Sungai Brantas. Pusat kekuasaan yang berda di delta sungai brantas melahirkan kerajaan seperti Kediri, Singosari, dan Majapahit.

Dalam perkembangan yang terjadi antara Jawa Tengah dan jawa Timur memiliki kesamaan dalam mobilitas pusat kekusaan. Seperti perpindahan kekuasaan kerajaan-kerajaan di jawa Timur. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur selalu melakukan perpindahan antara pegunungan di Mlanag sampai pada lembah sungai Brantas, lebih tepatnya di sekitar Trowulan. Perpindahan tersebut mengikuti perubahan yang terus-menerus terjadi. Sebagai contoh adalah perkembangan daerah Sima. Sima merupakan daerah yang dipromosikan dan mendapatkan perlkukan khusus mengenai pajak. Sima terbentuk karena perpindahan fungsi hutan menjadi persawahan yang dibatasi oleh jalur utama tau sungai. Kemudian Sima juga dijadikan tempat untuk membangun candi.

Kedua, perkampungan dan kominitas. Bahsan ini menganai perkembangan kampung yang dimulai dengan wnua, thani/karaman, duwan/duhan i dalem thani, paraduwan/paraduhan, dan desa tau dapur.
Wanua terbentuk dalam sebagai wilayah yang dibentuk oleh group-group pada masa awal pembukaan lahan. Group-group ini menetapkan batas-batas wilayah diantar group-group lainnya. Batas wilayah yang dibentuik merupakan batas lama seperti hutan, sungai, bukit, lembah dan sebagainya. Kemudian, wanua dipimpin oleh seorang landlord yang disebut sebagai karaman. Karaman sebagai pemimpin wanua dibantu oleh dewan pertimbangan yang disebut thani. Pada pertengahan abah ke-11 istilah thani diberikan bagi oranag yang memimpin duwan atau duhan, dusun kecil.  Kemudian istilah thani berubah ketika zaman Belanda dengan menggunakan istilah desa yang memiliki arti area.

Penggunaan istilah-istilah yang berbeda-beda dalam penyebutan suatu tempat yang hampir sama menunjukkan terdapat perkembangan. Penyebutan yang berbeda-beda karena area yang dicakup memiliki keluasan wilayah yang besar. Desa-desa tersebut akan membentuk sebuah kerajaan yang dijadikan sebagai tempat administrasi dan akomodasi dari setiap demografi yang berbeda untuk mengakomodasi segala kebutuhan.
Ketiga mengenai desentralisasi ekonomi. Desentralisasi ekonomi perlu dilandasi bahwa setiap derah memiliki sumber daya alam yang berbeda-beda, namun perlu adanya distribusi untuk mencukupi segala kebutuhan.

Ekonomi jawa sudah dibangun sejak lama. Jawa melakukan perdagangan tertuama dengan Cina. Perdangan yang dilakukan yakni perdagangan emas dan perak. Barang dagangan dari cina meliputi keramik dan sutra. Hal itu menjadi bukti bahwa sudah terdapat jalur. Jalur perdagangan yang sudah terbentuk membentuk sebuah jaringan yang dikenal dengan istilah bakul. Bakul merupakan orang yang membeli barang dari  petani kemudian dijual kepada konsumen dan menjual barang dari pasar satu ke pasar lainnya. Kemudian istilah bakul berkembang pada sekitar abad ke-10 dengan sebutan abangan bakulan atau abakul. Bakul dalam perdagangannya tidak ditentukan dengan ukuran jumlah, atau spesialisasi pasar. Bakul secara sederhan adalah orang yang mendistribusikan barang.

Pendistribusian barang dagangan inilah yang mengakibatkan terjadinya urbanisasi. Perlu digaris bawahi bahwa proses urbanisasi bukan suatu proses yang terjadi begitu saja namun urbanisasi terjadi karena pertumbahan penduduk dan ekonomi.

Sumber: http://sejarawan.wordpress.com/2009/06/26/resensi-atas-artikel-state-without-citiesdemographic-trends-in-early-java-oleh-jan-wissman-chhristie/

Rabu, 05 Januari 2011

Sejarah Gardu dalam Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan*

Resensi Buku:
Judul Buku    : Penjaga Memori; Gardu di Perkotaan Jawa
Penulis           : Abidin Kusno
Penerbit          : Ombak, Jogjakarta
Cetakan          : I, 2007
Tebal              : xv + 154 halaman

Oleh: Anas Hidayat

Hmmm.. gardu. Dalam kehidupan sehari-hari, gardu sangat sering kita jumpai di ujung jalan atau gang, namun jarang sekali kita perhatikan dan cermati, apalagi kita telisik kembali sejarah dan asal-usulnya. Kalau memang ada orang yang menelusuri sejarah gardu, sedemikian pentingkah gardu dalam kehidupan keseharian kita? Jika kita baca uraian Abidin kusno dalam buku ini, jawabannya adalah: ya. Dengan “mata poskolonial” yang jeli sekaligus tajam (mungkin hanya ada beberapa “mata” seperti ini di kalangan arsitektur Indonesia), Abidin mampu mengamati dan mengkaji jejak-rekam gardu di Jawa sejak awal genesis-nya di masa lalu hingga keadaannya yang sekarang. Gardu yang ketika kita lewati kita anggap bukan apa-apa dan mudah kita lupakan karena cuma sekadar pemanis jalan atau pelengkap perempatan, ternyata memiliki sejarah yang ikut mengiringi perkembangan peradaban kota-kota di Jawa selama berabad-abad.

Selama ini, dalam ranah kajian arsitektur, sebagaian besar obyek amatannya selalu berhubungan dengan karya-karya arsitektur masterpiece yang menjulang seperti Menara Petronas di Kuala Lumpur, megah seperti Gedung Putih di Washington DC dan monumental laksana Hagia Sophia di Konstantinopel (sekarang Istambul). Dibandingkan dengan adikarya yang demikian, gardu sungguh ibarat cuwilan kecil yang tak ada harganya. Sedangkan dalam perkuliahan arsitektur, gardu biasanya hanya menjadi tugas merancang bagi mahasiswa semester 1 atau 2 yang baru mengenal bentuk dan ruang. Ya, gardu memang hampir selalu sederhana, kecil dan kadang-kadang dibuat tidak permanen.

Namun, setelah dikaji secara mendalam oleh Abidin Kusno dalam bukunya ini, gardu ternyata merupakan wujud bangunan yang tidak main-main. Gardu menjadi saksi perkembangan kota-kota di Jawa, serta ikut mengalami evolusi dan revolusi dari jaman ke jaman. Abidin mengawali paparannya tentang gardu dengan melihat kembali fenomena posko PDI-Perjuangan pro-Megawati di tahun 1998. Di tahun itu, ada ribuan posko PDI-Perjuangan didirikan di seluruh kota di Jawa sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru yang mendukung PDI Surjadi. Tidak lupa, posko-posko PDI-Perjuangan itu memasang gambar-gambar Soekarno, semacam antitesis dari sosok Soeharto (yang waktu itu sudah hampir jatuh kekuasaannya).

Di era sebelumnya, di jaman Orde Baru pimpinan Soeharto, gardu biasa disebut pos Hansip atau Poskamling (Pos Keamanan Lingkungan) yang sebenarnya digunakan sebagai alat untuk memata-matai, mengontrol dan mendisiplinkan rakyat mulai tingkat nasional sampai ke tingkat RT (Rukun Tetangga).
Kemudian Abidin mundur jauh ke belakang dan menemukan bahwa gardu di Jawa sudah ada sejak sebelum kolonialisme Eropa. Saat itu gardu biasa dijumpai di dekat pintu masuk kediaman bangsawan atau orang terkemuka. Tujuan pembuatan gardu itu untuk menunjukkan kuasa raja sebagai pusat kosmos (jagad besar). Misalnya, sembilan pintu gerbang di Keraton Jogjakarta adalah simbol dari hawa sanga (sembilan lubang nafsu) yang ada pada diri manusia. Selanjutnya, pembentukan citra gardu yang cukup signifikan terjadi pada masa kolonialisme Belanda di jaman Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1805-1811). Daendels memperkenalkan pembagian teritorial dan batas-batas wilayah yang jelas. Dia juga membangun Groote Postweg (Jalan Pos Besar) sepanjang Pulau Jawa dari Anyer sampai Panarukan, yang tiap sembilan kilometer dibangun pos untuk memudahkan lalu-lintas dan pengawasan. Di sinilah muncul istilah gardu (rumah jaga) yang kemungkinan berasal dari bahasa Perancis: garde.

Di jaman pendudukan Jepang, gardu menjadi tempat untuk mengawasi, mendidik dan memobilisasi rakyat (dengan sistem tonarigumi, semacam Rukun Tetangga) agar Jepang bisa menang dalam Perang Asia Timur Raya melawan Sekutu. Dan di masa revolusi pasca kemerdekaan, gardu dijadikan pos pemeriksaan yang cukup ketat oleh milisi-milisi Indonesia untuk mengidentifikasi orang republiken dan non-republiken. Di samping itu, Abidin juga menyinggung tentang pengalaman masyarakat Tionghoa berkaitan dengan gardu. Sistem keamanan dengan ronda lingkungan (pao tjia) sudah diterapkan etnis Tionghoa di pesisir Jawa sejak abad ke 10. Etnis Tionghoa yang sering mendapat pengalaman kekerasan dalam sejarah perkotaan, membuat gardu sebagai upaya mempertahankan diri.
Penyajian sejarah gardu dengan gaya flashback yang tidak runtut (tidak sesuai urutan waktu) a la Abidin Kusno dalam buku ini memang cukup menarik karena kita bisa tahu dari mana penulis mendapatkan greget pertamanya dalam menulis, jadi semacam urutan prioritas saja yang ditekankan oleh penulis. Akan tetapi, bagi mereka yang terbiasa dengan buku sejarah yang runtut urutan waktunya, hal semacam ini mungkin sedikit mengganggu. Kita harus bisa mengurutkannya sendiri dalam pengertian kita, sehingga gambaran utuhnya tetap bisa tertangkap dengan jelas.

Format buku ini yang tidak terlampau tebal (hanya 150-an halaman) cukup menarik karena lebih merangsang minat baca dibandingkan buku-buku sejarah yang tebal (yang harus dibaca dengan serius pula). Uraiannya yang to the point dan tidak bertele-tele membuatnya gampang untuk dicerna, bahkan oleh mereka yang membaca santai sekali pun. Apalagi dengan adanya tampilan foto-foto unik gardu dari masa lalu yang nostalgik sampai yang kontemporer saat ini, bisa sedikit meringankan penat mata ketika membaca. Buku ini bisa dianggap sebagai buku sejarah arsitektur yang sosiologis sekaligus poskolonial, yang ingin pula menguak sejarah peradaban dan budaya kota-kota di Jawa dari sudut pandang sempalan (alternatif, bukan arus besar).
Gardu, si bangunan mungil di pojok-pojok persimpangan jalan, ternyata juga merupakan sosok “besar” yang ikut menyimpan memori kolektif masyarakat perkotaan di Indonesia, khususnya di Jawa. Sejarah gardu tidak berbeda jauh dengan sejarah hidup manusia, selalu punya banyak sisi, majemuk dan plural. Perannya selalu berubah-ubah seturut dengan dinamika kehidupan kota. Biarkan gardu menentukan masa depannya sendiri, entah peran apa lagi yang dipilihnya nanti. Kita hanya bisa menunggu.

*Diadaptasi dari judul Resensi Aslinya: Gardu, Sejak Daendels hingga Reformasi

TINJAUAN KRITIS TENTANG SEJARAH BANTEN

Resensi Buku
Karya: Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat
Djambatan, Jakarta, 1983, 400 halaman
DAERAH-DAERAH Nusantara dan Asia Tenggara umumnya memiliki kronik sejarah lokal dengan berbagai istilah: babad (Jawa), hikayat (Melayu), patturioloang (Makassar), prawatsat (Thai), bangsawatar (Kamboja), quoc-su (Vietnam), dan sebagainya. Penulisan kronik semacam itu umumnya bertujuan mempertinggi wibawa penguasa di mata rakyatnya, atau untuk memperoleh legitimasi bagi dinasti yang baru berkuasa. Fakta sejarah yang disajikan biasanya bercampur dengan dongeng dan mitos, sehingga kebenaran beritanya harus dikonfirmasikan dengan sumber sejarah yang lebih sahih.

Namun tradisi lokal itu tak dapat diabaikan sebagai salah satu sumber sejarah. Pada hakikatnya dongeng dan mitos sengaja ditambahkan untuk mengagungkan tokoh sejarah yang diceritakan. Jadi babad atau hikayat tersebut disusun berdasarkan fakta sejarah yang pernah terjadi. Adalah tugas para ahli untuk memisahkan fakta sejarah dari dongeng dan mitos yang membumbuinya.

Naskah Sajarah Banten, yang disusun tahun 1662-1663 dalam bentuk tembang macapat, merupakan obyek penelitian salah seorang putra terbaik Indonesia, Pangeran Aria Hoesein Djajadiningrat (1886-1960), sebagai disertasi doktor dalam bidang Bahasa dan Sastra Nusantara pada Universitas Leiden tahun 1913. Disertasi yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten itu dipromotori oleh Prof.Dr.Christiaan Snouck Hurgronje. Buku yang kini kita bicarakan adalah terjemahan disertasi itu, dalam rangka kerja sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV).

Sayang sekali, panitia penerjemah tidak menganggap perlu mengenalkan pengarang kepada pembaca. Padahal generasi sekarang tidak banyak yang mengetahui peranan beliau. Perlu dicatat, buku ini telah menobatkan Hoesein Djajadiningrat sebagai putra Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor, dan sekaligus menyadarkan para ilmuwan Belanda masa itu bahwa kaum bumiputra mampu meraih jenjang tertinggi dunia ilmu pengetahuan asalkan diberi kesempatan.

Prof.Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat, putra bupati Serang, pernah menjadi anggota Raad van Indie (semacam dewan penasehat) di zaman Belanda, serta kepala Shumubu (semacam departemen agama) di zaman Jepang. Dia merupakan anggota Dokuritsu Junbi Cosakai yang menyusun UUD 1945. Di saat wafatnya, dia menjabat ketua Lembaga Kebudayaan Indonesia, di samping tugas guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Karangan-karangan Prof. Hoesein tersebar dalam berbagai bahasa, antara lain kamus Aceh-Belanda dan uraian tentang Islam di Indonesia dalam buku Kenneth W. Morgan, Islam the Straight Path, 1958.

Disertasi Prof. Hoesein terdiri atas empat bab. Pada Bab Pertama diuraikan isi Sajarah Banten. Bab Kedua menganalisis bagian yang tergolong fakta sejarah, dan Bab Ketiga mengupas bagian yang berupa legenda. Dalam Bab Keempat Prof. Hoesein menerangkan ciri pokok penulisan sejarah Jawa.

Gaya penulisan Sajarah Banten mengikuti tradisi asli bangsa Aria, yaitu menceritakan suatu kisah melalui percakapan antara dua orang tertentu. Bentuk semacam ini banyak dijumpai pada karya sastra klasik India dan Persia. Misalnya, cerita Mahabharata yang disusun dalam bentuk percakapan Waisampayana kepada Janamejaya. Kisah 1001 Malam digubah melalui percakapan putri Syahrazad kepada raja Syahriar. Demikian pula Sajarah Banten merupakan percakapan antara dua orang yang bernama Sandimaya dan Sandisastra.

Sajarah Banten yang meliputi 66 pupuh dibagi Prof. Hoesein menjadi dua bagian. Bagian pertama (pupuh 1-16) isinya mirip dengan Babad Tanah Jawi: menceritakan Kerajaan Galuh dan Majapahit, penyebaran Islam oleh Wali Songo, serta tumbuhnya kerajaan-kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram. Bagian kedua (pupuh 17-66) khusus menceritakan Kerajaan Banten pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf, Maulana Muhammad, Sultan Abulmafakhir, dan Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa). Diuraikan juga perluasan pengaruh Banten ke Sumatera bagian selatan, serta hubungan Banten dengan Mataram.

Yang dianalisis oleh Prof. Hoesein hanya bagian kedua Sajarah Banten—bagian yang berhubungan dengan negeri itu. Semua berita diuji kebenarannya dengan menggunakan sumber sejarah yang lain sebagai pembanding. Begitu cermatnya Prof. Hoesein meneliti pupuh demi pupuh, sehingga tidaklah aneh jika gelar doktor tahun 1913 itu beliau raih dengan pujian (cum laude).

Dengan menggunakan catatan Portugis dan Belanda mengenai Banten, serta membandingkannya terhadap tradisi lokal yang lain, Prof. Hoesein merekonstruksikan isi Sajarah Banten yang merupakan fakta sejarah: Penyebaran Islam di Jawa Barat dilakukan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanuddin. Kemudian Hasanuddin menjadi raja Banten yang pertama (1552-1570). Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin, Banten menaklukkan Pakuan Pajajaran. Maulana Yusuf digantikan putranya, Maulana Muhammad (1580-1596), yang gagal menaklukkan Palembang. Penyerangan ke Palembang yang menyebabkan gugurnya Maulana Muhammad bertepatan dengan kedatangan orang Belanda yang pertama kali di pelabuhan Banten pada bulan Juni 1596.

Kemudian Banten diperintah putra Maulana Muhammad, Pangeran Ratu (1596-1651), dengan dibantu oleh Pangeran Arya Ranamanggala. Pada masa inilah Belanda merebut Jaketra (Jakarta) tahun 1619. Usaha Susuhunan Mataram untuk mengusir Belanda dari Jaketra tahun 1628-1629 menemui kegagalan. Pangeran Ratu mengutus duta kepada Sarip Jahed di Mekkah yang mewakili Sultan Rum (Turki) untuk meminta gelar sultan. Maka Pangeran Ratu memperoleh gelar Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir, raja di Jawa yang pertama kali memakai gelar sultan. Pada saat Sajarah Banten disusun tahun 1663, Banten diperinah oleh cucu Pangeran Ratu, Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa) yang sedang gigih melawan Belanda.

Prof. Hoesein juga menguraikan latar belakang isi Sajarah Banten yang tidak merupakan fakta sejarah. Misalnya, silsilah Sunan Gunung Jati dari Nabi Adam dan Nabi Muhammad, yang bertujuan memuliakan salah seorang Wali Songo, serta cerita pernikahan Maulana Hasanuddin dengan putri Pajajaran, yang tentu bertujuan memposisikan Banten sebagai kesinambungan dari kerajaan Hindu itu. Bukankah Demak juga menghubungkan diri dengan Majapahit?

Akan tetapi, tidak semua pendapat Prof. Hoesein tahan uji. Dalam disertasi ini Prof. Hoesein menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan dari Pasai. Identifikasi ini diamini oleh banyak ahli sejarah. Baru pada tahun 1957, sejarawan Belanda R.A. Kern mencoba menyangkal pendapat umum itu. Namun waktu itu argumentasinya belum cukup kuat.

Penyaman Sunan Gunung Jati dengan Faletehan (Fatahillah) terus berlangsung sampai ditemukannya naskah Purwaka Caruban Nagari pada tahun 1970 di Cirebon. Naskah yang ditulis abad ke-17 itu mengemukakan bahwa Faletehan menantu Sunan Gunung Jati. Faletehan atau Fatahillah, panglima Demak yang mendirikan kota Jakarta, berasal dari Pasai, dan nama aslinya Fadillah Khan. Adapun Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon dan salah seorang Wali Songo, merupakan keturunan Pajajaran, dan nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dan adalah Sunan Gunung Jati, bukan Fatahillah, yang merupakan ayah Maulana Hasanuddin dari Banten.

Terlepas dari masalah di atas, disertasi Prof. Hoesein Djajadiningrat ini layak dibaca oleh mereka yang berminat meneliti peninggalan tertulis nenek moyang kita yang sangat banyak itu. Hampir setiap daerah di tanah air kita memiliki catatan yang sejenis dengan Sajarah Banten, yang menanti penggarapan para ahli, guna mengisi kekosongan historiografi bangsa kita.***

Sumber: artikel ini diambil dari; http://irfananshory.blogspot.com/2007/04/resensi-buku-di-majalah-tempo.html

Minggu, 02 Januari 2011

Penembakan Misterius (Petrus): Kisah Gelap Sejarah Orba

Bertato saja sudah cukup untuk dijadikan alasan pembunuhan.

SUATU malam di bulan Juli 1983, mobil Toyota Hardtop yang dikemudikan Bathi Mulyono baru saja melintasi jalan Kawi, Semarang ketika dua motor menyalip kencang dan “dor..dor..” suara pistol menyalak. Dua peluru menembus mobil. Nasib naas masih jauh dari hidupnya. Bathi menginjak pedal gas dan melesat menembus kegelapan malam. Sang penembak pun kabur entah ke mana.

Sejak malam itu Bathi menghilang. Dia tak pulang ke rumah kendati istrinya, Siti Noerhayati, tengah hamil tua. Bathi memutuskan untuk menyembunyikan dirinya dari kejaran operasi pembasmian preman yang kerap disebut “Petrus” atau Penembakan Misterius. Sejak pertengahan 1983 Bathi hidup nomaden dan bersembunyi di Gunung Lawu. Dia baru berani turun gunung pada 1985, setelah Petrus mereda. Nasib Bathi masih mujur. Ribuan orang yang dituduh preman mati tanpa proses peradilan.

Bathi Mulyono bukan sembarang preman. Dia ketua Yayasan Fajar Menyingsing, organisasi massa yang menghimpun ribuan residivis dan pemuda di daerah Jawa Tengah. Organisasinya  itu dibekingi oleh Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah Widarto dan pengusaha Soetikno Widjojo. Dengan “restu” elite penguasa daerah, Bathi menjalankan bisnisnya mulai dari jasa broker sampai dengan lahan parkir di wilayah Jawa Tengah.

Hubungan yang dibangun antara elite dengan para preman pun bergerak lebih jauh dari sekadar bisnis. Preman pun digunakan sebagai kelompok-kelompok milisi yang diberdayakan pada saat musim kampanye Pemilu tiba. Golongan Karya (Golkar) sebagai generator politik Orde Baru banyak menggunakan jasa para preman untuk menggalang massa dan mengamankan jalannya kampanye.

Bathi dan kawan-kawannya salah satu kelompok yang digunakan oleh Golkar dalam kampanye Pemilu 1982. Tugasnya memprovokasi massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sedang berkampanye di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Insiden itu  dikenal sebagai  peristiwa Lapangan Banteng. Sejumlah korban berjatuhan. Beberapa orang ditangkap atas tuduhan mengacau.

“Saya memakai jaket kuning, dalamnya kaos hijau,” kenang Bathi Mulyono.

Tapi Bathi dan kawan-kawan tak tersentuh. Ali Moertopo dituduh berada di belakang peristiwa itu dan tak beberapa lama kemudian Soeharto “membuangnya”.

Ian Wilson dalam tulisannya “The Rise and Fall of Political Gangster”  pada buku Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society (2010: 201) mengatakan kalau keterlibatan preman di dunia politik berakar jauh dalam sejarah. Jenderal Nasution pun pernah menggunakan jasa mereka untuk menekan Presiden Sukarno membubarkan parlemen. Sementara itu Robert Cribb menyuguhkan fakta tentang keterlibatan bandit dalam politik dimulai sejak zaman revolusi kemerdekaan.

Pada zaman Petrus, ternyata afinitas politik belum tentu bisa menjamin keselamatan seorang preman. Tokoh sekaliber Bathi pun tetap jadi incaran eksekutor. Sejumlah pentolan organisasi preman pun dicokok dan dihabisi nyawanya tanpa pernah ada yang tahu keberadaan mayatnya. Tokoh-tokoh Prem’s yang juga jaringan Fajar Menyingsing telah lebih dulu dihabisi, antara lain Eddy Menpor dan Agus TGW. Mayat mereka tak pernah ditemukan dan keluarga yang ditinggalkan pun tak tahu harus mencari dan mengadu kepada siapa. Pada 10 Juli 1983 halaman Minggu koran Merdeka secara khusus memberitakan tentang derita yang dialami oleh istri kedua pentolan preman Jakarta itu. 

Cerita kelam ini bermula ketika Letkol. M. Hasbi, Komandan Kodim di Yogyakarta melancarkan Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). Operasi yang diklaim hanya bertujuan mendata para pelaku kriminal. Namun apa yang dilakukan oleh M. Hasbi di Yogyakarta lebih dari sekadar mencatat. Eksekutor operasi tak segan menembak mati siapa saja yang mereka anggap sebagai gali (gabungan anak liar).

Berita di koran-koran yang terbit pada masa itu pun hampir seluruhnya menampilkan penemuan mayat-mayat bertato dengan dada atau kepala berlubang ditembus peluru. Dalam sehari, di berbagai kota, hampir dapat dipastikan ada mayat-mayat dalam keadaan tangan terikat atau dimasukan ke dalam karung yang digeletakkan begitu saja di emperan toko, bantaran kali, dan di semak-semak .

Berdasarkan pemberitaan media massa yang terbit pada saat itu, sejak awal Januari 1983 Kodam Jaya telah memulai operasi pemberantasan kejahatan dengan nama “Operasi Celurit”. Dalam operasi itu, Kodam Jaya berada langsung di bawah komando Pangkopkamtib Sudomo. Menurut keterangan Soedomo pada Sinar Harapan, 27 Juli 1983 operasi itu tidak hanya ditujukan untuk menindak pelaku kejahatan, melainkan juga untuk menginventarisasi nama-nama pelakunya.

Berita-berita yang terbit di media massa dihiasi silang pendapat. Kepala Bakin Yoga Soegama menyatakan tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius (Sinar Harapan, 23 Juli 1983), sementara itu mantan Wapres H. Adam Malik angkat bicara dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aksi penembakan misterius (Terbit, 25 Juli 1983). “Jangan mentang-mentang penjahat kerah dekil langsung ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,” Adam Malik mengingatkan, “setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara ini pada kehancuran,” kecam pemuda angkatan 1945 itu.

Persoalan Petrus yang semula dilakukan secara rahasia lambat laun tersebar di masyarakat dan bahkan mendapatkan perhatian dari dunia luar. Sejumlah organisasi, antara lain Amnesti Internasional, menyoal pembunuhan yang sadistis itu. Namun surat Amnesti Internasional dianggap sepi oleh pemerintah. Yoga Sugama menilai pembunuhan terhadap preman “Merupakan kepentingan yang lebih besar daripada mempersoalkan penjahat yang mati misterius, dan persoalan-persoalan asas yang dipermasalahkan,” katanya seperti dikutip dari Harian Gala, 25 Juli 1983.

LB Moerdani, panglima yang disebut-sebut sebagai salah satu desainer operasi Petrus itu mengatakan kalau peristiwa itu dipicu oleh perang antargenk. Benny berdalih pembunuhan-pembunuhan itu tak melibatkan tangan ABRI. Sementara itu Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, punya dalih lain. Dia menuturkan kalau Petrus ditujukan sebagai usaha mencegah kejahatan seefektif mungkin dengan harapan menimbulkan efek jera.

 “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya, orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya,” kata Soeharto kepada Ramadhan KH.  

Setelah saling-silang pendapat di masyarakat dan tekanan dunia internasional, akhirnya pemerintah Orde Baru menghentikan sama sekali operasi tersebut pada 1985. Sejak dimulai pada pengujung 1982 sampai dengan berakhir ada sekira seribu lebih korban tewas. Berdasarkan data Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), puncak tertinggi korban petrus terjadi pada 1983 dengan jumlah 781 orang tewas.[BONNIE TRIYANA]

sumber Link: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-374-petrus-kisah-gelap-orba.html