Kamis, 17 Februari 2011

Pasar Malam Besar (1) Merayakan Kenangan, Menyeruput Eksotisme

Lima puluh tahun sudah ajang tahunan Pasar Malam Besar di Malieveld, Den Haag, digelar. Inilah festival terbesar budaya Indisch.

MEMASUKI gerbang utama Pasar Malam Tong Tong seperti memasuki mesin waktu berbentuk lorong panjang. Di Malieveld, tak jauh dari Stasiun Sentral Den Haag, Belanda, ratusan orang menikmati sajian tahunan yang berhubungan dengan Belanda dan Indonesia, khususnya pengaruh kolonialisme dan budaya hibrid yang tercipta karenanya. Ini festival budaya Eurasian atau Indo (campuran Eropa-Indonesia) terbesar di dunia. Banyak orang menjulukinya “the grand old lady van de multiculturele festivals”. Festival ini digelar kali pertama pada 1959.

Saya mengunjungi festival ini pada  2008. Sepertinya tak cukup sehari untuk menikmati keseluruhan wahana dan atraksi di sana. Tersedia berbagai atraksi tradisional, mulai dari pencak silat, tarian, hingga angklung. Penyanyi seperti Anneke Gronloh, Daniel Sahuleka, dan Woeter Muller menghibur penonton. Juga Wieteke van Dort alias Tante Lien yang spesialis lagu-lagu Indisch serta ikon indo-rock Andy Tielman. Orang Indonesia yang sudah lama bermukim di Negeri Kincir Angin pun berburu hal-hal yang jarang ditemui di hari-hari biasa. Dodol duren. Empek-empek. Martabak telor. Guling. Sapu lidi. Pedagang barang khas Indonesia juga menjajakan wayang, batik, kebaya, rambutan, sawo, bengkoang,  jamu, sampai kue putu.

Ada empat wahana yang bisa dieksplorasi pengunjung: Indonesie-Paviljoen, Cultuurpaviljoen, Grand Pasar, dan Aloen-Aloen. Saat kali pertama masuk, nuansa Hindia Belanda terasa di Cultuurpaviljoen. Yang paling menarik adalah pameran foto De Njai, para perempuan yang didapuk menjadi pengurus rumah tangga seorang Belanda tanpa pernah diperistri secara sah. Ada pula Kooktheater bagi yang ingin menyaksikan praktik memasak masakan “eksotis” dari  Indonesia. Tak kalah penting, pameran musik di era kolonial, dari gamelan hingga keroncong, lengkap dengan peralatan dengarnya.

Pada bagian Paviliun Indonesia, kita bagai memasuki pasar Tanah Abang Jakarta dan Pasar Seni Sukawati di Bali. Berbagai benda khas Indonesia disajikan. Sedangkan di Grand Pasar ada Tong-Tong Podium yang mementaskan tari-tarian tradisional dan pertunjukan lainnya. Juga berbagai jajanan pasar dan minuman seperti cendol.

Aloen-Aloen agaknya menjadi puncak dari kegiatan ini. Di sana ada Bintang Theater, Tong-Tong Podium, dan Bibit-Theater, yang menjadi pusat seni pertunjukan. Dari musisi muda seperti Tjendol Surprise, musisi impor seperti Balawan & Batuan Etnic Fusion dan Slank, hingga kelompok langganan macam Krontjong Toegoe.

Setiap gang diberi nama tokoh-tokoh masa penjajahan. Di Indonesie-Paviljoen, misalnya, ada Multatuliplein, Raden Adjeng Kartinistraat, Miss Riboetstraat, dan  Ria Waranistraat. Sedangkan di gerbang masuk, nama-nama musisi semacam Bram Aceh, Guus Becker, Fred Belloni, Rogier Boon, dan Noes Cugnet, dipajang sebagai plat jalan.

Festival itu digelar di empat tenda utama superbesar di lahan seluas 22 ribu meter persegi. Tapi rasanya pengunjung masih merasa kesempitan, karena terlalu banyak yang datang dan lalu-lalang. Bagi generasi tua, baik dari Belanda atau Indonesia, yang sempat mengecap zaman kolonial, ajang ini adalah kesempatan merayakan masa lalu. Tak jarang ada reuni kecil-kecilan yang terjadi secara kebetulan. Kebanyakan generasi muda, atau dari negeri lain, menikmatinya sebagai eksotisme budaya Timur. Bagi warga Indonesia, termasuk mahasiswa, inilah ajang reuni re-Belanda sekaligus mencari uang saku tambahan. Dan bagi yang baru ke sana, akan tercengang-cengang sesuai selera dan minatnya.

“Hah, ada empek-empek?”

“Aduh, ada alat garukan, cuma dua perak…”

“Aih, pernik-pernik gelangnya lucu-lucu, satu euro dapat 5 lagi!”

“Keren! Tjendol Surprise dasyat main rock n’ roll, mana pakai bas betot lagi!”

“Busyet, lengkap banget informasi soal nyai!”

Riuh-rendah apresiasi dan antusiasme pengunjung terhadap budaya Indisch peninggalan masa kolonial sungguh mengharukan. Di satu sisi, orang Belanda begitu menghargai, bahkan cenderung mengeksploitasi, segala budaya dan benda masa itu –hal yang nyaris luput dari perhatian pejabat Indonesia di bidang seni budaya. Di sisi lain, tak terlihat rasa penyesalan atau bersalah terhadap tanah bekas jajahannya. Yang ada adalah perayaan. Termasuk “merayakan” nasib ratusan bahkan ribuan nyai yang dipajang di etalase dengan pembahasan yang dingin dan berjarak.

Mengutip Tarja Laine, pakar kajian film dan emosi yang mengajar di Universitas Amsterdam, budaya malu memang tak dikenal di Eropa Barat. Pasar Malam adalah Indonesia masa lalu (dan masa sekarang?) dari sudut pandang bekas kolonialnya. Sebuah ajang yang penting bagi sejarah kedua belah pihak tapi diperlakukan sebagai perayaan kenangan dan melestarikan eksotisme.

Festival ini seolah menahbiskan sebuah pandangan: “Ah, sayang kita tak menjajah negeri itu lagi. Kita sekarang hanya menikmati kenangan dan eksotismenya saja”. Dingin dan berjarak, tapi juga meriah dan penuh canda tawa.

Keluar dari Pasar Malam, sekitar pukul 23.00, bersamaan dengan para pedagang dan panitia ringkes-ringkes untuk menutup toko, saya teringat lagu Arm Den Haag (Den Haag yang Malang) dari Wieteke van Dort.

Den Haag yang malang, kasihan sekali kamu tak bisa melupakan
Suara keroncong dan gamelan.
Di sebuah restoran Indo terdengar pembicaraan dari setiap sudut:
Tempo dulu, tempo dulu, di negeri nan jauh itu.
Ah kasihan, semua sudah berakhir.
Den Haag Den Haag, kaulah sang janda dari Indie.
Kini kita bisa membuat makanan Indisch di rumah.
 
Sambal goreng, sayur lodeh, tahu petis.
Hanya tetangga kita yang tidak begitu suka.
Dan kita membeli tanaman tropis di sini juga.
Seperti, misalnya, kembang sepatu. Mereka menamakannya Hibiscus.
Hibiscus!  Dan Canna, Gerbera, Anggrek.
Tanaman itu berdiri di sini, di ruang keluarga.
Tapi tentu saja berbeda dari sana, dari tempat mereka di alam sana.
 
Dan akhirnya tanaman itu akan layu di dekat pemanas ruangan.
Tahukah Anda? Saya telah memajang lukisan besar di rumah.
Lukisan itu, tentu saja, menggambarkan Indie, ya aduh! Sangat indah! Indah!
Sawah hijau yang indah, pohon kelapa. Dan kerbau dengan kacung kecil dipunggungnya, ya?
Dan di sebelah kanan, sang paman dengan tujuh bebek kecil nan mungil mengikutinya.
Tapi, tahukah Anda? Lukisan itu tak mendapat banyak cahaya di sini.

Bagian kedua ada  DI SINI
penerjemah lirik: Deasy Simanjuntak
[EKKY IMANJAYA/alumnus Universiteit van Amsterdam, bukunya Episode Amsterdam akan terbit]

Sumber: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-208-merayakan-kenangan-menyeruput-eksotisme-.html

Pasar Malam Besar Berawal dari Gerakan Perlawanan (2)

Negeri Kincir Angin mulanya tak menerima mereka sepenuhnya, juga meminta mereka melupakan negeri seberang.

ISTILAH Pasar Malam sudah tak asing di telinga warga Belanda, bahkan sudah masuk dalam kamus Bahasa Belanda Van Dale. Berbicara tentang sejarah Pasar Malam Besar berarti juga bicara tentang budaya Indo. Ras Indo, atau Indies Eurosian secara sederhana berarti anak campuran antara darah Barat dan Timur, Eropa dan Asia. Tak sedikit yang beribu seorang nyai, yang artinya dia lahir sebagai anak di luar perkawinan sah. Ada juga yang keturunan Tentara Kerajaan Hindia-Belanda (KNIL) yang berganti warga negara, seperti ayah The Tielman Brothers. Ada warga Belanda murni yang lahir di Nusantara. Ada orang Indonesia asli yang menikah dengan orang Belanda atau statusnya disamakan dengan orang Eropa oleh pemerintah kolonial kala itu. Merekalah Indische Nederlanders.

Selain di Indonesia, keturunan ini juga hadir di Malaysia (Cristang), Sri Langka (burghers), dan Goa. Juga di Afrika, misalnya di Cape Verde. Komunitas ini pun, dari 1945 hingga pertengahan 1960-an, menyebar ke Belanda. Den Haag menjadi kota tujuan utama, karena merupakan kota administrasi sementara kaum Indo ini adalah ambtenaar. Lainnya menyebar ke berbagai negara seperti Kanada, Australia, dan Amerika Serikat. Sekadar catatan, komunitas Indo terbesar di luar Belanda adalah California dengan jumlah sekitar 35 ribu orang yang hidup di Los Angeles –di antaranya Eddie dan Alex van Halen.

Terminologi “Indis” berasal dari Nederlandsch Indie (Hindia Belanda), negara jajahan Belanda di wilayah Nederlandsch Oost Indie, yang membedakannya dari Nederlandsch West Indie, (Suriname dan Curascao). Kata ini juga acap disamakan dengan Indo.

Berdirinya Pasar Malam Besar pada 1959 diotaki oleh Tjalie Robinson alias Vincent Mahieu, seorang intelektual Indo dan sastrawan terkenal. Pria berdarah Belanda-Inggris-Jawa ini bernama asli Jan Boon. Kala itu, 1950-an, terjadi migrasi besar-besaran komunitas Indo ke Belanda. Di Indonesia, suasana memanas, dan memaksa mereka berhijrah. Namun Negeri Kincir Angin pun tak betul-betul menerima mereka. Kerajaan Belanda mengeluarkan aturan tentang asimilasi dan menghimbau kaum Indies melupakan sejarah negeri seberangnya. Robinson menolak kebijakan itu, dan bersama rekan-rekannya sesama keturunan campuran Indonesia-Belanda, ia membentuk Indies Cultural Circle. Salah satu pencapaiannya adalah terselenggaranya Pasar Malam Besar.

Idenya untuk nostalgia Pasar Malam Gambir yang rutin diadakan di Lapangan Banteng, Batavia. Saat itu, acaranya masih sekadar pertemuan, makan, dan musik, dan pengunjung boleh menyumbangkan dana untuk melestarikan budaya hibrida mereka selama tiga hari. Merekalah yang melestarikan bahasa Pecok (juga dieja sebagai Petjo atau Petjoh) –bahasa yang digunakan kaum Indisch (Indo Eropa) pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, yang awalnya berasal dari Hindia Belanda. Menurut Wikipedia, bahasa campur-campur ini diperkirakan menghilang pada akhir abad ke-21. Bahasa kaum Indo adalah campuran antara bahasa Belanda, Melayu, Betawi, dan Jawa. Dari tata bahasa, ia mengikuti bahasa Melayu, sedangkan dari leksikon, bahasa ini merujuk bahasa Belanda.

Nama Tong Tong diambil dari nama institusi yang didirikan Robinson. Awalnya adalah majalah Onze Brug (Jembatan Kami) yang dia ambil-alih oleh Robinson dari Grote Indische Feestavond, pada 1958  dan diganti dengan Tong Tong. Fokus Onze Brug yang berorientasi pada Papua Nieuw Guinea diganti dengan kisah dan pengalaman warga Indo di Belanda. Belakangan, setelah Robinson wafat pada 1974, majalah ini diambil-alih oleh istrinya, Lilian Ducelle, dan diganti namanya menjadi Moesson, yang masih terbit hingga hari ini. Pada 1955 ia harus meninggalkan Belanda dan mengembara karena aktivitasnya mempertahankan budaya Indies dan karenanya melawan aturan asimilasi Belanda. Tapi ia tetap berjuang. Majalah Tong Tong itulah basis utamanya, yang tersebar ke seluruh negeri, tempat kaum Indo berdiaspora. Kelak, pada 1961, Robinson melanglang buana ke Spanyol dan lantas pada 1963 ke Amerika Serikat untuk mengembangkan dan melestarikan budaya Indies.

Pada 2003 Ratu Beatrix membuka Pasar Malam Besar, dan itu artinya pengakuan resmi kerajaan akan budaya campuran itu. Pada 2007, Pasar Malam Besar dianugerahi Grand Prix 2007 untuk ajang nasional terbaik, dan layak disejajarkan dengan Festival Film Internasional Rotterdam, North Sea Jazz, dan Oerol.

Di awal pendirian, kaum Indies memposisikan diri sebagai korban. Mereka membuat acara untuk sekadar berkumpul. Kini, Pasar Malam Besar hanya sekadar untuk menyeruput eksotisme budaya diaspora dari bekas negara jajahannya.

[EKKY IMANJAYA/alumnus Universiteit van Amsterdam, bukunya Episode Amsterdam akan terbit]

Sumber Link: http://ekkyij.multiply.com/journal/item/171/Pasar_Malam_Besar_2Berawal_dari_Gerakan_Perlawanan

Sabtu, 12 Februari 2011

Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Nasional / Internasional Tahun 2011

Kepada Yth.:
1. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri
2. Koordinator Kopertis Wilayah I s.d. XII
di seluruh Indonesia

Diberitahukan dengan hormat bahwa Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dalam tahun 2011 akan menyelenggarakan pelatihan penulisan artikel ilmiah. Kegiatan ini dibagi ke dalam beberapa kategori:
1. Penulisan Artikel berdasarkan Tesis dan Disertasi Pascasarjana yang dinyatakan lulus sesudah tanggal
    1 Januari 2007.
2. Penulisan Artikel berdasarkan Hasil Penelitian Hibah Penelitian Ditjen Dikti yang penelitiannya diselesaikan
    sesudah tanggal 1 Januari 2007.
3. Penulisan Artikel berdasarkan Skim Penelitian Lain.

Untuk tiap-tiap kategori dibedakan dalam artikel untuk berkala internasional (harus dalam Bahasa Inggris) dan untuk berkala nasional terakreditasi (dalam Bahasa Indonesia).

Program pelatihan penulisan artikel ilmiah ini dimaksudkan sebagai upaya dalam rangka meningkatkan kemampuan para dosen/peneliti perguruan tinggi dalam melakukan penulisan artikel ilmiah yang memenuhi standar baku yang seharusnya dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Peserta adalah Dosen Perguruan Tinggi dilingkungan Kementerian Pendidikan Nasional;
2. Peserta belum pernah mengikuti kegiatan sejenis dari Ditjen Dikti dan bukan Profesor;
3. Peserta telah menyiapkan naskah hasil penelitian dalam bentuk artikel ilmiah baik sendiri maupun
    kelompok untuk diterbitkan dalam berkala ilmiah;
4. Naskah tersebut disiapkan sesuai dengan petunjuk penulisan artikel pada berkala yang dituju;
5. Menuliskan nama berkala yang dituju dan melampirkan petunjuk pada penulis/guide for authors berkala
    yang bersangkutan;
6. Bagi peserta yang naskahnya berasal dari Tesis dan Disertasi maka Tesis dan Disertasi harus dibawa;
7. Pelamar harus memasukkan surat pernyataan dan biodata dengan format terlampir;
8. Pelamar harus menyertakan data isian (softcopy) menggunakan cd dengan format diunduh dari
    website http://dikti.kemdiknas.go.id;
9. Seluruh berkas dibendel dengan memakai sampul karton manila warna biru;
10. Lamaran yang tidak memenuhi ketentuan 1 sampai 9 tidak akan dipertimbangkan untuk diseleksi lebih lanjut.
11. Peserta yang lolos seleksi akan diberi tahu dengan surat undangan dari Direktur Penelitian dan
     Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Dikti;
12. Seluruh biaya pelatihan ditanggung oleh DP2M Ditjen Dikti.

Berkenaan dengan hal tersebut mohon bantuan Saudara pimpinan perguruan tinggi negeri untuk dapat menyampaikan kepada calon peserta di lingkungannya masing-masing dan kepada koordinator perguruan tinggi swasta mohon bantuannya untuk dapat memberitahukan kepada perguruan tinggi swasta wilayahnya masing-masing.

Berkas lamaran pelatihan penulisan artikel ilmiah yang diusulkan untuk dipertimbangkan keikutsertaannya dalam program ini harus sudah diterima selambat-lambatnya :

Artikel Nasional         : 28 Februari 2011 pukul 16.00 WIB
Artikel Internasional   : 29 April 2011 pukul 16.00 WIB

dengan alamat:

Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional
Gedung D Ditjen DIKTI Lt. 4
Jl. Pintu Satu, Senayan, Jakarta 10270
Telp.(021) 57946100; Faks. (021) 5731846

Atas perhatian dan kerja sama yang dilimpahkan kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 26 Januari 2011
Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

ttd

Suryo Hapsoro Tri Utomo
NIP  19560901 198503 1 003

Sumber link: http://dikti.kemdiknas.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1853:pelatihan-penulisan-artikel-ilmiah-nasional-internasional-tahun-2011&catid=68:berita-pengumuman&Itemid=160

Jumat, 11 Februari 2011

BREAKING NEWS

MENGUCAPKAN SELAMAT 
KEPADA: DRS. MURYADI, M.AP.

Telah LULUS dalam Studi di Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya. 

Admin dan Managemen Departemen Ilmu Sejarah

Rabu, 09 Februari 2011

Polisi Zaman Kumpeni

Oleh : BONNIE TRIYANA, Majalah Historia

Cuma ada tiga polisi jujur di negeri ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.

 DALAM canda yang dilontarkan Gus Dur itu tersimpan kritik pedas bahwa kejujuran di tubuh organisasi kepolisian telah hilang dan menjadi barang langka. Benarkah demikian?
Belakangan ini polisi sedang menghadapi cobaan terberat sepanjang keberadaannya di Republik ini. Perkara Susno Duadji, rekening gendut, hingga yang paling beken Gayus Halomoan Tambunan membuat lembaga kepolisian mendapat sorotan dari masyarakat. Kasak-kusuk tentang kinerja polisi pun sudah beredar luas dari mulut ke mulut dan kuping ke kuping, menyisakan sejumput ragu atas kinerja lembaga kepolisian.
Beberapa ungkapan kekecewaan dan plesetan sindiran terhadap kinerja polisi kerap mewarnai perbincangan di warung kopi: “kehilangan rumah” saat mengurus motor yang dicuri atau KUHP, Kasih Uang Habis Perkara. Begitulah citra polisi di mata masyarakat. Penuh rekayasa dan manipulasi. Bagaimana sebenarnya peran polisi di dalam sejarah? Apakah benar polisi selalu identik dengan rekayasa dan segala tuduhan miring?
Marieke Bloembergen, sejarawan yang bekerja sebagai peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda, menulis sebuah buku tebal tentang rekam jejak polisi di Hindia Belanda. Dalam buku terjemahan dari bahasa Belanda setebal 500 halaman lebih itu Marieke membeberkan sejarah polisi di Hindia Belanda sejak awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan negara kolonial pada 1942.
Menurut Marieke, polisi di Hindia Belanda merupakan produk langsung dari ketakutan dan kepedulian. Sejak 1870 masyarakat Eropa mulai membanjiri dan menetap di Hindia Belanda. Mereka merasa was-was karena bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri asing di mana masyarakat di sekeliling mereka punya budaya dan pemahaman lain atas komunitas kulit putih.
Perlawanan kaum pribumi terhadap otoritas kolonial sebagaimana terjadi pada 1888 di Banten dan sebelumnya pada 1854 menjadi catatan tersendiri buat pemerintah kolonial untuk mendirikan sebuah organisasi kepolisian modern untuk menjaga kepentingan dan keberadaan mereka di Hindia Belanda. Kemunculan politik etis dan terciptanya golongan elit pribumi yang menginisiasi gerakan nasionalisme di Hindia Belanda mendorong pemerintah kolonial lebih aktif memodernisasi kepolisiannya. Selain sebagai penjaga keamanan juga untuk “mewujudkan gagasan bahwa urusan keamanan adalah bagian penting dari kewajiban (penyelenggaraan) negara sekalipun dengan segala cara tetap ingin mempertahankan status quo kolonial,” tulis Marieke dalam bukunya.
Pemerintah kolonial pun memikirkan fungsi sosial lain dari kepolisian. Ia harusnya mampu menjaga ketertiban masyarakat; memastikan masyarakat tetap patuh pada peraturan pemerintah; dan memuaskan kebutuhan masyarakat akan rasa aman.
Kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan bagaimana memelihara dan menjaga keamanan di negara koloni. Ironisnya, ketika lembaga kepolisian ini dibentuk, tak ada seorang pribumi pun yang dimintai masukan tentang bagaimana seharusnya kepolisian bekerja. Menurut Marieke, ketika 1930 anggota kepolisian mencapai jumlah terbesarnya, yakni 54 ribu personel, 96 persen di antaranya justru berasal dari golongan pribumi. Sebagian besar dari mereka, kecuali anak bupati yang diberi previlese sebagai petinggi polisi, menempati posisi sebagai anggota terendah dalam struktur kepolisian yang hierarkis.
Film Si Pitung (1970), disutradarai Nawi Ismail, menggambarkan situasi yang mendekati kebenaran, di mana kepala polisi yang diperankan Hamid Arif adalah seorang Belanda sementara anak buahnya terdiri dari pribumi berkulit sawomatang. Meneer Belanda kepala polisi itu menggunakan perpanjangan tangan kolonial lain, yakni Demang Meester, untuk menangkap Pitung yang dianggap selalu meresahkan masyarakat kulit putih di Betawi yang dipersonifikasi sebagai komunitas penjajah yang menebarkan ketidakadilan pada rakyat jelata.
Semenjak tahun 1830-an upaya negara kolonial untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam sistem ekonomi imperialis mulai berkembang. Satu dekade setelah Perang Jawa, investasi asing mulai masuk dan berwujud dalam berbagai macam industri perkebunan dan pertambangan. Pemerintah kolonial harus memastikan kalau pihak swasta penanam modal itu menadapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari segala gangguan yang bisa sewaktu-waktu datang dari kelompok pribumi.
Memang pada 1860, pejabat tinggi kolonial di Hindia Belanda melontarkan kritik pedas pada kinerja kepolisian yang tak sanggup memelihara keamanan dan ketertiban di kalangan masyarakat. Menanggapi kritik demikian pemerintah kolonial pun mendirikan sebuah komisi kepolisian yang memiliki tugas menelaah dan mencari jalan keluar agar ada perbaikan pada mutu kerja kepolisian.
Apa yang terjadi pada zaman itu mengingatkan kita pada pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang didirikan pada 1 Juni 2006. Tugas Kompolnas pun mirip-mirip dengan komisi kepolisian yang dibentuk pada zaman kolonial, yakni berupaya meningkatkan kinerja kepolisian Indonesia melalui masukan dan saran kepada Presiden RI.
Pada zaman kolonial, sebagaimana temuan Marieke, ternyata polisi pun ambil urusan menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah. Perintah gubernur kepada polisi itu didahului oleh sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP) yang melihat telah banyak dosa yang dibuat para pejabat tinggi karena menjalankan aktivitas homoseksual. Kepolisian kolonial pun menebar agen reserse untuk menangkap homoseksual dan memenjarakan mereka. Menurut Marieke, cara kepolisian kolonial memberantas homoseksualitas tak jauh berbeda dari cara mereka memberantas komunisme yang melakukan pemberontakan pada 1926.
Negara Hindia Belanda digambarkan sejarawan Henk Schulte Nordholdt sebagai negara yang penuh dengan kekerasan. Karena itu, guna memajukan kepentingan ekonomi dan kekuasaan politiknya, negara kolonial ini praktis membutuhkan polisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang bisa secara aktif menjalankan kebijakan dan menegakkan “rust en orde” atau keamanan dan ketertiban. Polisi di era kolonial pada kenyataannya telah merambah ke fungsi lain, dari sekadar memberikan rasa aman kepada komunitas Eropa dan masyarakat hingga mencakup persoalan politik dan polisi moral.  Peran yang luas dan menggurita itu membuat sejarawan Harry Poeze menyebut Hindia Belanda sebagai negara polisi (politiestaat).
Penelitian sejarawan alumnus Universiteit van Amsterdam itu berhasil memberikan gambaran yang jelas tentang asal-usul lembaga kepolisian modern di Hindia Belanda sekaligus memberikan dasar pengetahuan holistik untuk memahami bentuk dan kinerja kepolisian Indonesia di masa sekarang. Penelitiannya, yang telah diterbitkan menjadi buku Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (Penerbit Buku Kompas, 2011), merupakan jalan masuk yang lempang bagi sarjana dan peneliti yang hendak menelusuri sekaligus menelaah lembaga kepolisian dari beragam perspektif keilmuan.

Sumber Link: http://haerilhalim.wordpress.com/2011/01/20/polisi-zaman-kumpeni-by-bonnie-triyana-majalah-historia/

 

Sabtu, 05 Februari 2011

Mesir dan Kemerdekaan Indonesia*

 Oleh: BONNIE TRIYANA

Tak jauh dari Tahrir Square, pusat demonstrasi rakyat Mesir, terdapat jalan Ahmed Sokarno. Bagaimana hubungan Mesir dengan Indonesia di masa lalu?

Kairo, 10 April 1947. Seorang petugas imigrasi bertubuh tinggi tegap dengan kumis melintang menghadang empat pria berpakaian kumal, bersandal-sepatu lusuh yang memasuki pintu bandara. Petugas itu mengerenyitkan dahinya saat memeriksa paspor yang disodorkan empat pria tadi. Heran. Paspor yang diserahkan tak berbentuk buku kecil sebagaimana umumnya melainkan secarik kertas lecek dengan sejumlah keterangan kalau empat pria itu datang dari sebuah Republik bernama Indonesia.

Belum habis rasa heran petugas itu, salah seorang yang bertubuh kecil, berkumis dan mengenakan kopiah meluncurkan keterangan, “Mision diplomatique, dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia,” katanya. Lelaki tua itu adalah Haji Agus Salim, the grand old man Republik Indonesia, Menteri Muda Luar Negeri sekaligus pemimpin delegasi.  

Tapi keterangan Agus Salim hanya ditanggapi kerutan kening, kepala miring dan bahu yang diangkat, tanda kebingungan yang belum tuntas. Matanya masih menatap keempat orang tadi. Sejurus kemudian dia bertanya, “Are you Moslem?” “Yes” jawab mereka berempat serentak, kemudian mereka saling bertatapan dan sontak menertawai tingkah mereka sendiri.  “Well, then, Ahlan wa Sahlan, Welcome!” saut petugas yang sedari tadi bertampang dingin.

Tanpa panjang urusan lagi, keempat pria delegasi Indonesia yang terdiri dari Haji Agus Salim, AR Baswedan, Mr. Nazir Pamoentjak dan Rasjidi (kemudian menjadi Prof. Dr) melenggang menuju ruang tunggu di mana sejumlah mahasiswa Indonesia dan Sekjen Liga Arab Azzam Pasha telah menunggu kedatangan mereka.

Perjalanan ke Mesir tersebut merupakan kunjungan balasan dari pihak Indonesia setelah sebelumnya Muhammad Abdul Mun’im, Konsul Jenderal Mesir di Bombay (sekarang Mumbay, India) datang ke Yogyakarta pada 13–16 Maret 1947. Menurut AR Baswedan dalam artikelnya di buku Seratus Tahun Agus Salim mengisahkan kunjungan Mun’im itu untuk mewakili negerinya dan membawa pesan dari Liga Arab yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Mun’im datang ditemani Ketut Tantri (Muriel Pearson), perempuan Amerika yang banyak membantu perjuangan rakyat Indonesia di masa revolusi.

Pada 15 Maret 1947, bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Mesir yang ke-23, demikian AR Baswedan mencatat, “Mun’im menghadap Presiden Sukarno (untuk) menyampaikan pesan-pesan dari Liga Arab,” kata dia pada tulisan yang sama. Pesan itu merupakan hasil keputusan sidang Dewan Liga Arab yang diselenggarakan pada 18 November 1946 yang menganjurkan seluruh anggota Liga Arab mengakui kedaulatan Republik Indonesia berdasarkan ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan. .

Sebuah versi menyebutkan solidaritas negara anggota Liga Arab tersebut dimotori oleh gerakan Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Gerakan persaudaraan muslim tersebut didirikan oleh Hassan Al-Banna, pemikir sekaligus tokoh pembebasan yang getol menentang kolonialisme Inggris di Mesir dan aktif menggalang persaudaraan di kalangan umat muslim.

Mengetahui kedatangan delegasi Indonesia yang disiarkan luas oleh suratkabar Mesir, Duta Besar Belanda di Mesir berupaya keras menggagalkan upaya Haji Agus Salim cum suis untuk menjalin perjanjian persahabatan antara Indonesia dengan Mesir. Dubes Belanda bersikukuh kalau Indonesia itu bukanlah sebuah Republik yang merdeka berdaulat melainkan masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Sehingga tindakan politik apapun yang mengatasnamakan Indonesia sebagai sebuah negara tidak Belanda akui, kecuali atas sepengetahuan dan membawa nama pemerintah Belanda.

Padahal delegasi Indonesia memiliki misi menggalang dukungan internasional untuk mengakui kemerdekaannya. Belanda menutup mata atas fakta kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, 17 Agutus 1945. Belanda bahkan menyebarkan opini bahwa Republik Indonesia yang baru berdiri itu merupakan hasil kolaborasi ekstrimis Republik dengan fasis Jepang. Pada pengujung 1945 pun beredar kabar Bung Karno dan Bung Hatta akan diadili sekutu sebagai penjahat perang.

Dengan kampanye pencitraan negatif oleh Belanda, maka pihak Republik berusaha mengimbanginya dengan mengirimkan misi diplomatik ke berbagai forum internasional dan negara. Sebelum mendarat di Kairo, Mesir, Haji Agus Salim serta delegasi Indonesia terlebih dulu menghadiri Inter-Asian Relation Conference di New Delhi, India, menggalang solidaritas dari negara-negara Asia yang peduli pada perjuangan bangsa Indonesia.

Menurut catatan AR Baswedan, perjanjian persahabatan antara Mesir dengan Indonesia ditandatangani pada 10 Juni 1947. Abdul Mun’im, konsul Mesir di Bombay yang beberapa bulan sebelumnya berkunjung ke Yogyakarta mengantarkan delegasi Indonesia untuk bertemu dengan Perdana Menteri Mesir Nokrashi Pasha yang juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Mesir.

Tepat pukul sembilan pagi seluruh delegasi Indonesia sudah tiba di kantor Kementrian Luar Negeri Mesir. Namun delegasi diminta untuk menunggu di ruang tamu padahal agenda pada jam itu sudah ditetapkan untuk penandatangan persahabatan Indonesia dengan pihak Mesir. Pihak delegasi tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam ruangan Perdana Menteri sampai 30 menit kemudian. “Sesudah setengah jam menunggu, kami melihat Duta Besar Belanda keluar dari kamar PM Nokrashi dengan wajah yang kecut, dan tergesa-gesa,” kenang AR. Baswedan.

Delegasi kemudian dipersilahkan masuk ke ruangan dan mendengar sendiri dari Nokrashi tentang apa yang terjadi antara dia dan Duta Besar Belanda di Mesir. Menurut Nokrashi, pihak Belanda yang diwakili oleh Duta Besarnya protes dan merasa keberatan dengan cara pemerintah Mesir memperlakukan delegasi Indonesia. Duta Besar Belanda mengingatkan Mesir tentang hubungan ekonomi Mesir dengan Belanda. Belanda juga mengancam akan menarik dukungannya terhadap Mesir terkait persoalan Palestina yang dibawa Mesir ke forum PBB.

Perdana Menteri Nokrashi atas nama bangsa Mesir tak gentar sedikit pun. Dia malah memberikan jawaban di luar dugaan Duta Besar Belanda. “Menyesal sekali kami harus menolak protes Tuan, sebab Mesir selaku negara berdaulat, dan sebagai negara yang berdasarkan Islam, tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini adalah tradisi bangsa Mesir dan tidak dapat diabaikan,” kata Nokrashi seperti dikutip oleh AR Baswedan. 

Duta Besar Belanda itu pun meninggalkan Perdana Menteri Nokrashi dengan rasa kecewa. Perjanjian persahabatan antara Mesir dengan Indonesia pun berhasil ditandatangani hari itu antara Menteri Muda Luar Negeri Indonesia Haji Agus Salim dengan Nokrashi Pasha dalam kapasitas sebagai Menteri Luar Negeri Mesir.  Penandatanganan tersebut disaksikan oleh AR Baswedan selaku Menteri Muda Penerangan Indonesia, Rasjidi dan  Dr. Nazir Dt. Pamoentjak dari pihak Indonesia. Abdul Mun’im dan Sekjen Kemlu Mesir Dr. Kamil dari pihak pemerintah Mesir.

Dengan penandatangan perjanjian persahabatan yang sekaligus menandai pengakuan Mesir secara legal terhadap kedaulatan Republik Indonesia itu maka lengkaplah persyaratan formal berdirinya sebuah negara. Secara de facto dan de jure persyaratan pengakuan dari negara lain atas eksistensi Republik Indonesia tercapai dengan kesepakatan tersebut. Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia.

Hubungan Mesir dengan Indonesia semakin erat ketika Bung Karno menginisiasi gerakan Non-blok, yang menggalang kekuatan dunia ketiga di Asia-Afrika untuk bersama-sama menghalau potensi perang dunia ketiga antara blok barat (Amerika) dengan blok timur (Uni Soviet). Adalah Gammal Abdul Naser, Presiden Mesir yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Sukarno. Penampilan Bung Karno yang selalu berkopiah memberikan kesan tersendiri bagi rakyat Mesir pada zamannya sehingga setiap kali ada warga Indonesia yang berkunjung ke sana dan mengenakan kopiah maka sontak warga Mesir akan menyebut nama “Sukarno!”. 

Kini Mesir dilanda huru-hara. Rakyat ingin membebaskan diri dari kekuasan Hosni Mubarak yang telah duduk di tampuk kekuasaan selama 30 tahun lebih. Apa yang terjadi di sana mengingatkan kita pada apa yang terjadi di Jakarta Mei 1998. Dan Soeharto, yang ditumbangkan pada tahun itu, melakukan kunjungan kenegaraannya terakhir ke Kairo, Mesir. Dari Mesir, Republik Indonesia mengawali jejaknya dan dari Mesir pula rezim kediktatoran Soeharto mengakhiri langkahnya. Kini Mesir menanti akan ke mana garis nasib sejarah membawanya.
*Repost dari: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-419-mesir-dan-kemerdekaan-indonesia.html

Selasa, 01 Februari 2011

CATATAN BUDAYA FERNANDO ROSA

Budaya



I cannot get over the hybridity of language here. 'Fakultas Ilmu Budaya', says the large sign above the entrance door as I walk in to get to the department. Fakultas is Latin, ilmu is Arabic, and budaya is Sanskrit. Even if a classical philologist had been asked to create such a language, I doubt he would have been able to come up with anything so interesting. Faculdade de Ciências da Cultura. The greatest thing about it however is that people are usually totally unself-conscious about their language. Namely, they accept it as it is, not as a philological construction.

I particularly love budaya. It is such a nice-sounding term. It rhymes with Surabaya too. Budaya Surabaya. In fact, I am housed in what is in fact Pusat Budaya Jawa Timur (or something like that). They have made dvds showing local culture all over East Jawa. Last night I watched a couple of them. It is such an incredibly creolized world of Hindu and Islamic and local influences. It is so vital too. In reality, Surabaya is a sea port with a large hinterland that has been historically much more significant than the city itself. The dean of the Fakultas - who differently to other members of the faculty is from here - explained to me that Surabaya is in fact a city where people used to have very humdrum ambitions: being a becak or taxi driver, or a mechanic for motorbikes for instance. The people who went to university here were all from Kediri and other towns inland. These had a higher social standing than Surabayans. In fact, this is the hinterland of the old Majapahit kingdom (and one or two successor states as well, especially Mataram), so Surabaya has for many centuries now played the role of intermediary between the prestigious places in the interior and the vast outside world with which it has had connections. In fact, the local language reflects that: there is a bahasa Surabayo, with heavy Javanese and Malay influence, a kind of hybrid language if I am to believe my colleagues. It is used in local television and, I assume, also in radio broadcasts. There is even a dictionary of it. I would love to look into it, as it must have evidence in its vocabulary of many of its connections to the very extensive Indian Ocean world where Surabaya emerged centuries ago. I wonder whether there are marginally more Portuguese words in it, for instance, than in standard Bahasa Indonesia, or perhaps more Chinese ones. I also wonder about the links between Bahasa Surabayo and Bahasa Betawi. I ask the dean about Semarang, the third important Javanese large port on the north coast (the port of the old principalities in Central Jawa, in fact). It is yet another world, however, and apparently one that is less heterogeneous - and therefore to me somewhat less appealing - than either Jakarta or Surabaya. I wonder however whether it might not perhaps also have its own language just as its two sisters.

Right to the north of Surabaya - now in fact only half an hour away across Indonesia's longest bridge - lies Madura. Not a hinterland, as it is a much smaller island, but all the same another place that is closely linked to Surabaya just as the comparatively vast interior of East Jawa. Everybody has told me - in fact, even warned me - that Madura is a different world altogether though it is close by. It is peculiar that what is in fact almost the end of Jawa - and therefore the beginning of a frontier space - is also one of its most culturally vibrant and ancient regions. Just to the east lies Bali, another world of its own (and a slightly larger island than Singapore, I am told), and then Lombok and the rest of Nusa Tenggara and Eastern Indonesia. I know the geography, of course, but it is the first time it really makes sense to me in a very direct and personal way. It is for instance more than a little intriguing that Surabaya lies so close to both Bali and Madura and yet it is another place altogether. The reputedly very Islamic character of Madura as well as the very Hindu one of Bali also make for an interesting contrast. We could think of Surabaya and Jawa Timur perhaps as an intermediary area where all kinds of influences and creolized worlds have come up between the two poles of a strong Islamic society and a strongly Hindu one. As a matter of fact, I find East Jawa even more intriguing than the Central Javanese heartland I have arrived from a couple of days ago.

The contrast with Malaysia's port cities is also very intense to me. Surabaya is a far cry from Penang and Melaka, and not only because it is clearly larger than both. I try to reason with myself that this is not only another part of Nusantara, it is in fact another sea too: not the Straits and the Sea of Andaman any more, but the Sea of Jawa, in fact a small ocean in itself surrounded by (is) lands on almost all sides. This is also a place that is much less colonial than either of its West Malaysian counterparts. Its history stretches back much farther than the fourteenth century, for instance, when it seems to have been already a very lively and bustling seaport. The first reference to it seems to be almost as a matter of course in a Chinese record of the first half of the thirteenth century (the Chinese were often the first chroniclers of places in Nusantara). It is therefore older than Melaka. Of course, colonialism has shaped and reshaped it more than once (the Dutch took it in the mid-eighteenth century) as the old Dutch colonial architecture still extant shows in abundance. My first link to Surabaya was through reading Bumi Manusia in Rio de Janeiro a long time ago (first in the Dutch translation and then, painfully slowly and never completely but only in excerpts, in the Indonesian original. There is still to this day no Brazilian translations of any of Pram's works as far as I know, though some of them have been translated in Portugal. Portuguese books in Brasil are, though not a rarity, not necessarily common either, especially if they are literary translations. They are hideously expensive and the distribution network for them is quite poor). Johny in fact points out to me the former MULO school - a Dutch colonial school originally - where Minke, Pram's main character in Bumi Manusia, is supposed to have studied. Minke was in fact built on a real life character of the time. That was Surabaya but a hundred years ago or more. Minke was in love with an Indo - a mixed woman - born of a Javanese woman and a Dutchman. Of course, that being colonial Jawa, the relationship never advanced, and his beloved was sent to the Netherlands so as to get away from the dangers of miscegenation in the colony. I find this literary imagining of the impossibility of real mixing quite interesting as it comes through the presence of a character that is in fact mixed. Surabaya is portrayed therefore, we could venture, as the place where the Dutch and Javanese both mixed and did not mix.

This colonial ambiguity of mixing and not mixing is perhaps also mirrored in the fact that Surabaya, as an Indonesian postcolonial city, is somehow less heterogeneous than either Melaka or Penang. The image of mixing and unmixing however is  mostly only present in Melaka, but it is nonetheless a very powerful presence there: it is linked to the orang Portugis, the Chitties, the Peranakan, to name but three communities that are still very much visible there. I don't know how to think about Melaka and Surabaya comparatively. It seems very tricky. They are both in a way colonial trading posts, but Surabaya's link to both Majapahit and Mataram were so strong and so important that they must have shaped the port to a fairly large degree. The interior of the Peninsula is of course another territory altogether. After the fall of Melaka, the closest sultanate must have been today's Negeri Sembilan (in case it already existed back then), a largely Minang polity under Bugis leadership. That is however a far cry from either Majapahit and Mataram and even from any remains that must have survived the demise of either. Therefore, though both Melaka and Surabaya have had important maritime connections that have largely shaped them into what they now are, their interiors were vastly different in terms of size and demography. In fact, it is little wonder that they now are very disparate postcolonial cities. Also, intringuingly, the Arabs - so important in Penang but so comparatively little visible in Melaka - seem to have been much more active and numerous in Surabaya. In fact, this last is historically probably the easternmost important port in the whole of Nusantara with such a large Arab community, Aceh being of course the westernmost port (and Penang is just across the Straits from Aceh). Aceh was also the first port of call in Nusantara for steamships coming from Europe, and Surabaya the very last.

Surabaya can also be seen as the last major important southern and eastern harbour for Chinese coming from Fukkien or the Pearl River Delta. In this sense, though of course maritime connections stretched well beyond Surabaya in all kinds of directions, both in pre-colonial and colonial times, this is the very last harbour-cum-metropolis for people coming from Europe, Western Asia, and China. Interestingly but revealingly, differently to both Penang and Melaka, there is no visible Indian community here (though as elsewhere in Jawa there must be lots of Indian clothes shops owned by Indians). The Indian influence here is actually much more visible in the interior, and is therefore Indic, not Indian. Surabaya in this way can be seen as a point at which the important Indic past of Jawa would be watered down by Arab, Chinese and colonial influences of various kinds, whereas in the interior the Indic-derived but in fact largely local culture could be kept to a greater degree. Of course, I am reading the situation here from the perspective of my poor historical knowledge: I doubt for instance that there ever was a pristine, Hindu Javanese or later Islamic kingdom in the interior in contrast to a very creole, very heterogenous coastal harbour such as Surabaya. Only I have been much better trained - also because I am a Brazilian scholar - to look at creole cultures of colonial origin than look at them in settings that are not necessarily colonial. Therefore, East Jawa's interior is much more difficult for me than Surabaya. However, Surabaya can also seem deceptively simple in comparison to its interior when in fact it is not. I just don't know how to read this counterpoint made up of 'cosmopolitan' port city and 'indigenous' polity in a creative way. That the interior of Jawa, the interior of Peninsular Malaysia, and the vast interior of Brasil and South Africa arre very different places also doesn't help much: namely I have trained my gaze to look at things that are difficult to compare and hard to theorize about in a connected way. Brasil and South Africa therefore seem to me somehow closer to each other in that regard, whereas Peninsular Malaysia and East Jawa are closer to each other than either of them is to either Brasil or South Africa. However, as all this is very much virgin territory in terms of a connected reading of different histories, I am not sure how to further my argument here.

In Yogya however it has become clear to me that reading the Javanese principalities as indigenous polities is in fact a very problematic way of looking at them that is full of pitfalls. Reading them however as mostly colonial constructs is equally complicated. They are to me however societies of colonial origin just as my own, even though nobody would readily agree with me if I put both Brasil and Jawa together. Only, their origins and colonial history is different so they now seem to be incommensurable with anything Brazilian almost by definition. That incommensurability however is largely rooted in the historical gaze that I cast at them, and is therefore not necessarily a quality that they possess in themselves - say, a Javanese essence that makes them different (as the historical-philological mode has taught us to look at them). In fact, looking at Central Jawa as a Brazilian scholar (and as a Brazilian scholar who also happens to be very much an individual scholar with a specific trajectory and therefore not only a member of a nation-state) I feel puzzled. That is because everything seems at the same very new to me and also strangely familiar as I also come from another former colonial society.

This happens in fact happens to me all the time in Jawa: for instance, the student who was my guide for a time in Surabaya took me to a local public hospital to visit one of his cousins who had been operated. People were lying on the floor on matts and the general look of the place was fairly poor. He asked me whether I had seen a hospital such as that one in Brasil. In fact I have, though now hospitals there generally look somewhat better than what was before my eyes. He seemed slightly surprised when I said Brazilian hospitals could be similar to a Javanese public hospital. I was not. My skin may be white and I may be wealthier but in fact I also come from a postcolonial society. In fact, I have even more than once used a public hospital in Brasília that at the time was probably not much better than the one I have just visited in Surabaya. I remember I was fairly disappointed at the general shoddiness of the place though the treatment I got there at the time was in fact not bad at all.

I therefore don't know how to describe, theorize, and think through difference here. Our precolonial histories are supposed to be incommensurable, our colonial pasts vastly different and our postcolonial presents at variance. And, of course, our languages mutually inaccessible as well as incomprehensible. Yet I have learned Bahasa Indonesia in Rio, not in Holland, let alone in Indonesia. In fact, Sukarno opened an Indonesian embassy in Rio already in the 1950s - and it put forth pamphlets and booklets about Indonesia in Brazilian Portuguese; that was also when the famous chinês da Barra, a wealthy Chinese immigrant from Indonesia, arrived in the city and built an entire neighbourhood in a then godforsaken place out of town that has become virtually another city, namely, Barra da Tijuca. Rio is also the place where exactly one hundred years ago Lima Barreto wrote and published one of the most famous short stories in Brazilian literature, namely, O homem que sabia falar javanês, namely Seorang pria yang bisa berbicara basa Jawi. Of course, the man in the story could not really speak Javanese. I consider him however my intellectual ancestor - namely, both Lima and his character.


Sumber: http://melakabrasil.blogspot.com/2011_01_30_archive.html