Rabu, 05 Januari 2011

Sejarah Gardu dalam Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan*

Resensi Buku:
Judul Buku    : Penjaga Memori; Gardu di Perkotaan Jawa
Penulis           : Abidin Kusno
Penerbit          : Ombak, Jogjakarta
Cetakan          : I, 2007
Tebal              : xv + 154 halaman

Oleh: Anas Hidayat

Hmmm.. gardu. Dalam kehidupan sehari-hari, gardu sangat sering kita jumpai di ujung jalan atau gang, namun jarang sekali kita perhatikan dan cermati, apalagi kita telisik kembali sejarah dan asal-usulnya. Kalau memang ada orang yang menelusuri sejarah gardu, sedemikian pentingkah gardu dalam kehidupan keseharian kita? Jika kita baca uraian Abidin kusno dalam buku ini, jawabannya adalah: ya. Dengan “mata poskolonial” yang jeli sekaligus tajam (mungkin hanya ada beberapa “mata” seperti ini di kalangan arsitektur Indonesia), Abidin mampu mengamati dan mengkaji jejak-rekam gardu di Jawa sejak awal genesis-nya di masa lalu hingga keadaannya yang sekarang. Gardu yang ketika kita lewati kita anggap bukan apa-apa dan mudah kita lupakan karena cuma sekadar pemanis jalan atau pelengkap perempatan, ternyata memiliki sejarah yang ikut mengiringi perkembangan peradaban kota-kota di Jawa selama berabad-abad.

Selama ini, dalam ranah kajian arsitektur, sebagaian besar obyek amatannya selalu berhubungan dengan karya-karya arsitektur masterpiece yang menjulang seperti Menara Petronas di Kuala Lumpur, megah seperti Gedung Putih di Washington DC dan monumental laksana Hagia Sophia di Konstantinopel (sekarang Istambul). Dibandingkan dengan adikarya yang demikian, gardu sungguh ibarat cuwilan kecil yang tak ada harganya. Sedangkan dalam perkuliahan arsitektur, gardu biasanya hanya menjadi tugas merancang bagi mahasiswa semester 1 atau 2 yang baru mengenal bentuk dan ruang. Ya, gardu memang hampir selalu sederhana, kecil dan kadang-kadang dibuat tidak permanen.

Namun, setelah dikaji secara mendalam oleh Abidin Kusno dalam bukunya ini, gardu ternyata merupakan wujud bangunan yang tidak main-main. Gardu menjadi saksi perkembangan kota-kota di Jawa, serta ikut mengalami evolusi dan revolusi dari jaman ke jaman. Abidin mengawali paparannya tentang gardu dengan melihat kembali fenomena posko PDI-Perjuangan pro-Megawati di tahun 1998. Di tahun itu, ada ribuan posko PDI-Perjuangan didirikan di seluruh kota di Jawa sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru yang mendukung PDI Surjadi. Tidak lupa, posko-posko PDI-Perjuangan itu memasang gambar-gambar Soekarno, semacam antitesis dari sosok Soeharto (yang waktu itu sudah hampir jatuh kekuasaannya).

Di era sebelumnya, di jaman Orde Baru pimpinan Soeharto, gardu biasa disebut pos Hansip atau Poskamling (Pos Keamanan Lingkungan) yang sebenarnya digunakan sebagai alat untuk memata-matai, mengontrol dan mendisiplinkan rakyat mulai tingkat nasional sampai ke tingkat RT (Rukun Tetangga).
Kemudian Abidin mundur jauh ke belakang dan menemukan bahwa gardu di Jawa sudah ada sejak sebelum kolonialisme Eropa. Saat itu gardu biasa dijumpai di dekat pintu masuk kediaman bangsawan atau orang terkemuka. Tujuan pembuatan gardu itu untuk menunjukkan kuasa raja sebagai pusat kosmos (jagad besar). Misalnya, sembilan pintu gerbang di Keraton Jogjakarta adalah simbol dari hawa sanga (sembilan lubang nafsu) yang ada pada diri manusia. Selanjutnya, pembentukan citra gardu yang cukup signifikan terjadi pada masa kolonialisme Belanda di jaman Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1805-1811). Daendels memperkenalkan pembagian teritorial dan batas-batas wilayah yang jelas. Dia juga membangun Groote Postweg (Jalan Pos Besar) sepanjang Pulau Jawa dari Anyer sampai Panarukan, yang tiap sembilan kilometer dibangun pos untuk memudahkan lalu-lintas dan pengawasan. Di sinilah muncul istilah gardu (rumah jaga) yang kemungkinan berasal dari bahasa Perancis: garde.

Di jaman pendudukan Jepang, gardu menjadi tempat untuk mengawasi, mendidik dan memobilisasi rakyat (dengan sistem tonarigumi, semacam Rukun Tetangga) agar Jepang bisa menang dalam Perang Asia Timur Raya melawan Sekutu. Dan di masa revolusi pasca kemerdekaan, gardu dijadikan pos pemeriksaan yang cukup ketat oleh milisi-milisi Indonesia untuk mengidentifikasi orang republiken dan non-republiken. Di samping itu, Abidin juga menyinggung tentang pengalaman masyarakat Tionghoa berkaitan dengan gardu. Sistem keamanan dengan ronda lingkungan (pao tjia) sudah diterapkan etnis Tionghoa di pesisir Jawa sejak abad ke 10. Etnis Tionghoa yang sering mendapat pengalaman kekerasan dalam sejarah perkotaan, membuat gardu sebagai upaya mempertahankan diri.
Penyajian sejarah gardu dengan gaya flashback yang tidak runtut (tidak sesuai urutan waktu) a la Abidin Kusno dalam buku ini memang cukup menarik karena kita bisa tahu dari mana penulis mendapatkan greget pertamanya dalam menulis, jadi semacam urutan prioritas saja yang ditekankan oleh penulis. Akan tetapi, bagi mereka yang terbiasa dengan buku sejarah yang runtut urutan waktunya, hal semacam ini mungkin sedikit mengganggu. Kita harus bisa mengurutkannya sendiri dalam pengertian kita, sehingga gambaran utuhnya tetap bisa tertangkap dengan jelas.

Format buku ini yang tidak terlampau tebal (hanya 150-an halaman) cukup menarik karena lebih merangsang minat baca dibandingkan buku-buku sejarah yang tebal (yang harus dibaca dengan serius pula). Uraiannya yang to the point dan tidak bertele-tele membuatnya gampang untuk dicerna, bahkan oleh mereka yang membaca santai sekali pun. Apalagi dengan adanya tampilan foto-foto unik gardu dari masa lalu yang nostalgik sampai yang kontemporer saat ini, bisa sedikit meringankan penat mata ketika membaca. Buku ini bisa dianggap sebagai buku sejarah arsitektur yang sosiologis sekaligus poskolonial, yang ingin pula menguak sejarah peradaban dan budaya kota-kota di Jawa dari sudut pandang sempalan (alternatif, bukan arus besar).
Gardu, si bangunan mungil di pojok-pojok persimpangan jalan, ternyata juga merupakan sosok “besar” yang ikut menyimpan memori kolektif masyarakat perkotaan di Indonesia, khususnya di Jawa. Sejarah gardu tidak berbeda jauh dengan sejarah hidup manusia, selalu punya banyak sisi, majemuk dan plural. Perannya selalu berubah-ubah seturut dengan dinamika kehidupan kota. Biarkan gardu menentukan masa depannya sendiri, entah peran apa lagi yang dipilihnya nanti. Kita hanya bisa menunggu.

*Diadaptasi dari judul Resensi Aslinya: Gardu, Sejak Daendels hingga Reformasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar