Kamis, 24 Maret 2011

Belajar dari Ki Hadjar

Oleh: BS Mardiatmadja

SANGAT menarik bahwa pada akhir Februari 1933 Ki Hadjar Dewantara sudah menulis tentang teroris dalam majalah Pusara. Waktu itu ia mengajak negara agar sesegera dan setegas mungkin mencegah perbuatan teror.

Tindakan teror ia temukan dalam orang yang merusak milik orang lain dan merasa lebih dicintai pemimpin negara karena terornya kepada orang lain tak dihukum sewajarnya.

Ketika Ki Hadjar mendapat gelar doktor honoris causa (19 Desember 1956), Prof Sardjito memuji keberaniannya melawan Pemerintah Belanda dengan tulisannya, ”Als ik een Nederlander was”: menghadapi perbedaan paham-paham dengan argumentasi, bukan dengan kekerasan.

Tak takut akan teror

Selanjutnya, Sardjito menunjukkan tekad Ki Hadjar untuk tak hanya menulis dan bicara, tetapi juga segera bekerja keras membangun Tamansiswa. Dalam pidato sambutannya, Ki Hadjar menunjukkan tak takut akan teror dan melontarkan kritik keras lagi terhadap pendidikan Belanda. Namun, dia mengatakan juga agar kita tak ikut memperbesar teror atau ketakutan di kalangan rakyat.

Selanjutnya, ia menolak membalas teror dengan teror dengan justru mengatakan, ”Jangan sampai anak-anak Belanda di antara kita tidak mendapat pengajaran dan pendidikan. Kita harus bersama-sama mencari kebenaran.”

Kedua cendekiawan nasionalis ini menolak memencilkan lawan politik dan musuh militer. Mereka malah membuka peluang agar terus-menerus berbagi kemerdekaan dan bersama mencari kebenaran hidup. Betapa mereka itu berbeda dengan sejumlah pembesar negara saat ini: mau membungkam lawan politik atau orang yang berbeda keyakinan atau agama dengan membekukan aliran atau meminggirkan pihak lawan.

Rupanya bagi Sardjito dan Ki Hadjar, pembinaan dan pendidikan dalam masyarakat membuka kesempatan hidup bersama bagi orang yang bermusuhan, beda pendapat, dan lain keyakinan. Mere- ka tidak melawan teror dengan teror, tak mau pula membiarkan teror menghantui rakyat. Mereka melawan teror tidak dengan kekerasan, tetapi dengan argumentasi, dan memfasilitasi rakyat membuka komunikasi. Itu terjadi puluhan tahun silam saat republik ini hampir lahir dan sesudahnya ketika Indonesia masih muda.

Dalam suatu pertemuan di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia belum lama ini, Prof Musdah Mulia mengkritik orang-orang yang katanya atas dasar agama melakukan kekerasan, tak hanya dengan menghancurkan milik orang lain, juga dengan menciptakan aturan dan perda yang memerkosa hak asasi rakyat kecil dan minoritas. Pada kesempatan lain, Komnas HAM prihatin dengan kurangnya usaha pejabat tertentu memfasilitasi komunikasi antar-rakyat, malah memberi contoh bahwa mereka tak mampu berkomunikasi serta takut kritik. Di Wahid Institute, belum lama ini terdengar seruan, cukup banyak pemikir dan pemerhati masyarakat menyesalkan pejabat yang memberi kesan takut kepada perusuh dan malah merangkul orang-orang yang membuat teror bagi orang lain.

Lalu, terciptalah teror-teror baru berupa perda-perda yang membuat orang ngeri karena perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan sudah dikriminalkan. Dalam banyak diskusi dirasakan seakan-akan mubazirlah inisiatif Habibie membuka iklim terbuka di dunia politik kita dan terlupakanlah upaya Gus Dur menciptakan persaudaraan ketika memimpin negara ini.

Ada kesan kuat pemimpin negara dan aparatnya tak jelas-jelas melindungi korban keganasan fisik, malah mengalah terhadap teror mental sekelompok kecil orang dalam suatu republik yang oleh Obama dikatakan sebagai teladan toleransi ketika berkunjung di UI, Depok.

Kehilangan orientasi

Agaknya banyak bagian bangsa ini kehilangan orientasi dalam bernegara dan menyelesaikan perbedaan paham. Banyak hal mau ditutupi dengan koalisi sementara yang sangat beraroma kepentingan politis jangka pendek dan bukannya diarahkan oleh prinsip bernegara yang teguh dan berjangka panjang. Dilupakan bahwa kita punya Pancasila yang deretan sila-silanya bermuara pada keadilan sosial.

Keadilan sosial justru mau menguatkan keadilan legal (yang kerap lumpuh seperti di Indonesia saat ini), keadilan distributif (yang dirusak oleh monopoli dagang dan perekonomian yang orientasinya ke modal besar), dan keadilan komutatif (yang terbukti hanya memenangkan mereka yang kuat secara fisik, ekonomis, ataupun politis). Sebab, dalam keadilan sosial diupayakan agar kelompok atau komunitas kecil(-kecil) tetap terlindungi di tengah keganasan rebutan kuasa dan kejayaan.

Bila diskusi sekitar Agustus 1945 dicermati benar-benar, dialognya tidaklah mengenai agama, tetapi mengenai persaudaraan di antara siapa pun yang mau menjadi bagian republik muda ini.

Sekian banyak perundingan ditujukan untuk merangkul siapa pun yang mau bergabung dengan para inisiator proklamasi kemerdekaan. Tak satu pun kelompok—sekecil apa pun—yang tak difasilitasi untuk bergabung. Di balik rumusan Bhinneka Tunggal Ika tersembunyi bukan sekadar strategi politik dan militer, melainkan juga sikap kemanusiaan mendalam. Itulah sebab dari kehadiran sila ”peri kemanusiaan” dalam rangkaian dengan ”persatuan bangsa Indonesia dan musyawarah”.

Ketika kemudian menjadi menteri yang mengurusi persekolahan demi pencerdasan anak-anak bangsa, Ki Hadjar ikut memastikan sekolah kecil tak hancur karena perubahan politik dan ekonomi. Juga sesudah tak lagi jadi menteri, ia memperjuangkan subsidi bagi sekolah kecil.

Dengan demikian, terdidiklah rakyat dan para pejabat agar berpendirian bahwa dalam negara ini siapa pun disambut dengan tangan terbuka untuk jadi warga negara dan diperlakukan setara dengan orang lain justru kalau kecil dan lemah.

Implikasinya harus tampak dalam UU, peraturan pemerintah, perda, dan penegakan keadilan. Aparat pemerintah tak pernah boleh gentar menghadapi kekerasan kelompok apa pun: membela si kecil yang diancam harta, apalagi nyawanya. Ada sesuatu yang amat diperlukan warga lemah: ketika makanan mahal, rumah rusak, lampu tak tersedia, keamanan rapuh, di situlah warga kecil mengorientasikan hidupnya kepada Tuhan.

Keyakinan atau agama yang tak dapat direduksikan pada upacara dan ajaran (yang memang terasa perlu saat tenang) adalah orientasi dasar manusia paling mendasar. Mukadimah UUD 1945 jelas memahami hal itu, tetapi tidak oleh sejumlah pejabat masa kini. Padahal, justru dalam hal itulah para pendiri negara kita berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh dunia, yang dalam PBB memaklumkan hak-hak asasi manusia.

Seyogianya negara kita tak dibuat terpencil dari pergaulan internasional karena perilaku dan cara kerja segelintir pejabat yang hanya akan punya waktu terbatas dalam mengabdi bangsa.

Ki Hadjar sudah mengajarkan orientasi bangsa yang jelas.

BS Mardiatmadja, Rohaniwan

Sumber: Kompas, Sabtu, 19 Maret 2011

Jumat, 11 Maret 2011

JEJAK SINGKAT ABDUR RAHMAN AWAD BASWEDAN

Harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang orang-orang Arab, 1 Agustus 1934. Abdur Rahman Awad Baswedan memang peranakan Arab, walau lidahnya pekat Jawa, bila berbicara. Dalam artikel itu terpampang foto Baswedan mengenakan blangkon. Karena ulahnya itu, orang-orang Arab -- ketika itu terjadi pertikaian antara kelompok Al Irsyad dan Rabitah Alawiyah -- berang padanya.

Ia mengimbau orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli. ''Di mana saya lahir, di situlah tanah airku,'' kata lelaki itu.
Oktober 1934, setelah pemuatan artikel yang menghebohkan itu, ia mengumpulkan para peranakan Arab di Semarang. Lalu berdirilah Partai Arab Indonesia (PAI), dan Baswedan diangkat sebagai ketua. Sejak itu ia tampil sebagai tokoh politik. Harian Matahari pun ditinggalkannya. Padahal, ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu. ''Demi perjuangan,'' katanya.

Baswedan kemudian mendapat rekan seperjuangan di Surabaya, Liem Koen Hian, peranakan Cina yang sependirian dengannya. Melalui harian Sin Tit Po, Liem menyerang pemerintah Belanda. Liem adalah pemimpin redaksi dan penanggung jawab Sin Tit Po. Baswedan menjadi penjaga pojoknya, dengan nama samaran Abun Awas. Kok bukan Abu Nawas?

Menurut Baswedan, Abu Nawas di Indonesia hanya dikenal sebagai tokoh yang cerdik dan jenaka. Padahal, tokoh itu juga seorang penyair besar. Sedangkan Baswedan menulis pojok, selain jenaka, juga tajam dan menyakitkan Belanda. Makanya, ia senang dengan nama Abun Awas daripada Abu Nawas.

Liem Koen Hian dan Baswedan sama-sama pedas bila menulis. Direkturnya pun menegur, karena ada peringatan dari pemerintah Belanda. Baswedan dan kawan-kawan akhirnya memilih keluar daripada berkompromi dengan Belanda, padahal ia baru setahun di sana.
Ia memang wartawan tangguh. Bekerja bukan untuk gaji. Di Sin Tit Po ia mendapat 75 gulden -- waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden. Toh ia tetap keluar dan memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr. Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Karena itu, Soebagio I.N., dalam buku Jagat Wartawan, memilih Baswedan sebagai salah seorang dari 111 perintis pers nasional yang tangguh dan berdedikasi.

Judul diadaptasi dari sumber informasi DISINI
UPDATE:
TIDAK sempat merampungkan autobiografinya, Abdur Rahman Awad
Baswedan meninggal dunia, dalam usia 78 tahun, pada Maret 1986.
Biografi Beliau kemudian ditulis oleh Suratmin (Yogyakarta) dan ....coming son

Pada tanggal 09. Maret 2011 Seminar tentang Peranan AR. Baswedan dalam Merajut Keindonesiaan dilasanakan di Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dengan Pembicara: Dr. Anhar Gonggong (UI Jakarta), Purnawan Basundoro (Kandidat Doktor di UGM) dan Drs. Hasan Bahanan (UNTAG Surabaya)

Etnis Arab merupakan salah satu golongan yang ikut meramaikan perdagangan dan aktivitas ekonomi di Indonesia selama berabad-abad. Dalam perkembangannya orang-orang Arab mudah beradaptasi dan dihormati golongan pribumi, antara lain karena alasan kesamaan agama. Salah satu tokoh keturunan Arab yang turut ambil bagian dalam proses sejarah politik Indonesia adalah Abdul Rahman (A.R.) Baswedan, yang dilahirkan di Kampung Ampel, Surabaya, 9 September 1908 dan wafat tanggal 16 Maret 1986 di Jakarta.

Karya dan perjuangan A.R Baswedan dalam konteks sejarah di Indonesia yang layak diapresiasi adalah. Pertama, di kalangan internal komunitasnya Baswedan telah berjuang menyatukan komunitas Arab dan agar mereka menjadi bagian integral dari rakyat Indonesia, tanpa sekat seperti yang dilakukan oleh penjajah. Ditegaskannya, Indonesia adalah ibu pertiwi keturunan Arab. Kedua, Baswedan telah ikut berjuang secara politik melalui Partai Arab Indonesia (PAI) yang didirikannya di tahun 1934, maupun jalur pers untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia atas dasar persatuan dan kesatuan. Ketiga, di tingkat nasional, Baswedan telah memainkan peran penting dalam mengobarkan semangat nasionalisme, untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka dan bebas dari penjajahan sebagaimana tercantum dalam garis perjuangan politik PAI. Keempat, di ranah diplomasi, Baswedan ternyata juga turut memperjuangkan pengakuan diplomatik yang pertama bagi Republik Indonesia, yakni dari Kerajaan Mesir di tahun 1947.
Sehubungan dengan 25 tahun wafatnya A.R. Baswedan, maka Yayasan Nabil menggandeng Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, mengadakan Seminar Nasional bertemakan “A.R.Baswedan: Sejarah dan Perannya dalam Merajut ke-Indonesia-an”, agar nilai-nilai kejuangan beliau dapat diaktualisasikan bagi kehidupan kebangsaan dewasa ini. Acara akan diadakan pada hari Rabu, 9 Maret 2011 pukul 09-13.00 WIB di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya Lt 2, Kampus B, Universitas Airlangga Suarabaya. Adapun para pembicara adalah: Dr. Anhar Gonggong (Sejarawan dan Dosen di Universitas Atma Jaya, Jakarta); Drs. Hasan Bahanan (Pemerhati Sejarah Komunitas Arab, Dosen di Universitas Sultan Agung Surabaya) dan Purnawan Basundoro (Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dan Kandidat Doktor dalam Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada). Dari pihak keluarga, direncanakan akan hadir pula Anies Baswedan, Ph.D yang juga adalah Rektor Universitas Paramadina, untuk memberikan sambutan.

Yayasan Nation Building (NABIL) adalah sebuah lembaga sosial yang didirikan bulan September 2006 oleh Drs Eddie Lembong, dengan tujuan utama ikut berperan serta secara aktif dalam Pembangunan Bangsa (Nation Building). Partisipasi tersebut diwujudkan dalam pelbagai kegiatan diantaranya mengembangkan dan menyebarkan doktrin Penyerbukan Silang Antar Budaya (Cross Cultural Fertilization), meningkatkan dan meneguhkan pluralisme dan multikulturalisme, meningkatkan hubungan baik antar etnik serta kegiatan lainnya yang ditujukan untuk pembangunan Bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik dan bermartabat.

Kamis, 17 Februari 2011

Pasar Malam Besar (1) Merayakan Kenangan, Menyeruput Eksotisme

Lima puluh tahun sudah ajang tahunan Pasar Malam Besar di Malieveld, Den Haag, digelar. Inilah festival terbesar budaya Indisch.

MEMASUKI gerbang utama Pasar Malam Tong Tong seperti memasuki mesin waktu berbentuk lorong panjang. Di Malieveld, tak jauh dari Stasiun Sentral Den Haag, Belanda, ratusan orang menikmati sajian tahunan yang berhubungan dengan Belanda dan Indonesia, khususnya pengaruh kolonialisme dan budaya hibrid yang tercipta karenanya. Ini festival budaya Eurasian atau Indo (campuran Eropa-Indonesia) terbesar di dunia. Banyak orang menjulukinya “the grand old lady van de multiculturele festivals”. Festival ini digelar kali pertama pada 1959.

Saya mengunjungi festival ini pada  2008. Sepertinya tak cukup sehari untuk menikmati keseluruhan wahana dan atraksi di sana. Tersedia berbagai atraksi tradisional, mulai dari pencak silat, tarian, hingga angklung. Penyanyi seperti Anneke Gronloh, Daniel Sahuleka, dan Woeter Muller menghibur penonton. Juga Wieteke van Dort alias Tante Lien yang spesialis lagu-lagu Indisch serta ikon indo-rock Andy Tielman. Orang Indonesia yang sudah lama bermukim di Negeri Kincir Angin pun berburu hal-hal yang jarang ditemui di hari-hari biasa. Dodol duren. Empek-empek. Martabak telor. Guling. Sapu lidi. Pedagang barang khas Indonesia juga menjajakan wayang, batik, kebaya, rambutan, sawo, bengkoang,  jamu, sampai kue putu.

Ada empat wahana yang bisa dieksplorasi pengunjung: Indonesie-Paviljoen, Cultuurpaviljoen, Grand Pasar, dan Aloen-Aloen. Saat kali pertama masuk, nuansa Hindia Belanda terasa di Cultuurpaviljoen. Yang paling menarik adalah pameran foto De Njai, para perempuan yang didapuk menjadi pengurus rumah tangga seorang Belanda tanpa pernah diperistri secara sah. Ada pula Kooktheater bagi yang ingin menyaksikan praktik memasak masakan “eksotis” dari  Indonesia. Tak kalah penting, pameran musik di era kolonial, dari gamelan hingga keroncong, lengkap dengan peralatan dengarnya.

Pada bagian Paviliun Indonesia, kita bagai memasuki pasar Tanah Abang Jakarta dan Pasar Seni Sukawati di Bali. Berbagai benda khas Indonesia disajikan. Sedangkan di Grand Pasar ada Tong-Tong Podium yang mementaskan tari-tarian tradisional dan pertunjukan lainnya. Juga berbagai jajanan pasar dan minuman seperti cendol.

Aloen-Aloen agaknya menjadi puncak dari kegiatan ini. Di sana ada Bintang Theater, Tong-Tong Podium, dan Bibit-Theater, yang menjadi pusat seni pertunjukan. Dari musisi muda seperti Tjendol Surprise, musisi impor seperti Balawan & Batuan Etnic Fusion dan Slank, hingga kelompok langganan macam Krontjong Toegoe.

Setiap gang diberi nama tokoh-tokoh masa penjajahan. Di Indonesie-Paviljoen, misalnya, ada Multatuliplein, Raden Adjeng Kartinistraat, Miss Riboetstraat, dan  Ria Waranistraat. Sedangkan di gerbang masuk, nama-nama musisi semacam Bram Aceh, Guus Becker, Fred Belloni, Rogier Boon, dan Noes Cugnet, dipajang sebagai plat jalan.

Festival itu digelar di empat tenda utama superbesar di lahan seluas 22 ribu meter persegi. Tapi rasanya pengunjung masih merasa kesempitan, karena terlalu banyak yang datang dan lalu-lalang. Bagi generasi tua, baik dari Belanda atau Indonesia, yang sempat mengecap zaman kolonial, ajang ini adalah kesempatan merayakan masa lalu. Tak jarang ada reuni kecil-kecilan yang terjadi secara kebetulan. Kebanyakan generasi muda, atau dari negeri lain, menikmatinya sebagai eksotisme budaya Timur. Bagi warga Indonesia, termasuk mahasiswa, inilah ajang reuni re-Belanda sekaligus mencari uang saku tambahan. Dan bagi yang baru ke sana, akan tercengang-cengang sesuai selera dan minatnya.

“Hah, ada empek-empek?”

“Aduh, ada alat garukan, cuma dua perak…”

“Aih, pernik-pernik gelangnya lucu-lucu, satu euro dapat 5 lagi!”

“Keren! Tjendol Surprise dasyat main rock n’ roll, mana pakai bas betot lagi!”

“Busyet, lengkap banget informasi soal nyai!”

Riuh-rendah apresiasi dan antusiasme pengunjung terhadap budaya Indisch peninggalan masa kolonial sungguh mengharukan. Di satu sisi, orang Belanda begitu menghargai, bahkan cenderung mengeksploitasi, segala budaya dan benda masa itu –hal yang nyaris luput dari perhatian pejabat Indonesia di bidang seni budaya. Di sisi lain, tak terlihat rasa penyesalan atau bersalah terhadap tanah bekas jajahannya. Yang ada adalah perayaan. Termasuk “merayakan” nasib ratusan bahkan ribuan nyai yang dipajang di etalase dengan pembahasan yang dingin dan berjarak.

Mengutip Tarja Laine, pakar kajian film dan emosi yang mengajar di Universitas Amsterdam, budaya malu memang tak dikenal di Eropa Barat. Pasar Malam adalah Indonesia masa lalu (dan masa sekarang?) dari sudut pandang bekas kolonialnya. Sebuah ajang yang penting bagi sejarah kedua belah pihak tapi diperlakukan sebagai perayaan kenangan dan melestarikan eksotisme.

Festival ini seolah menahbiskan sebuah pandangan: “Ah, sayang kita tak menjajah negeri itu lagi. Kita sekarang hanya menikmati kenangan dan eksotismenya saja”. Dingin dan berjarak, tapi juga meriah dan penuh canda tawa.

Keluar dari Pasar Malam, sekitar pukul 23.00, bersamaan dengan para pedagang dan panitia ringkes-ringkes untuk menutup toko, saya teringat lagu Arm Den Haag (Den Haag yang Malang) dari Wieteke van Dort.

Den Haag yang malang, kasihan sekali kamu tak bisa melupakan
Suara keroncong dan gamelan.
Di sebuah restoran Indo terdengar pembicaraan dari setiap sudut:
Tempo dulu, tempo dulu, di negeri nan jauh itu.
Ah kasihan, semua sudah berakhir.
Den Haag Den Haag, kaulah sang janda dari Indie.
Kini kita bisa membuat makanan Indisch di rumah.
 
Sambal goreng, sayur lodeh, tahu petis.
Hanya tetangga kita yang tidak begitu suka.
Dan kita membeli tanaman tropis di sini juga.
Seperti, misalnya, kembang sepatu. Mereka menamakannya Hibiscus.
Hibiscus!  Dan Canna, Gerbera, Anggrek.
Tanaman itu berdiri di sini, di ruang keluarga.
Tapi tentu saja berbeda dari sana, dari tempat mereka di alam sana.
 
Dan akhirnya tanaman itu akan layu di dekat pemanas ruangan.
Tahukah Anda? Saya telah memajang lukisan besar di rumah.
Lukisan itu, tentu saja, menggambarkan Indie, ya aduh! Sangat indah! Indah!
Sawah hijau yang indah, pohon kelapa. Dan kerbau dengan kacung kecil dipunggungnya, ya?
Dan di sebelah kanan, sang paman dengan tujuh bebek kecil nan mungil mengikutinya.
Tapi, tahukah Anda? Lukisan itu tak mendapat banyak cahaya di sini.

Bagian kedua ada  DI SINI
penerjemah lirik: Deasy Simanjuntak
[EKKY IMANJAYA/alumnus Universiteit van Amsterdam, bukunya Episode Amsterdam akan terbit]

Sumber: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-208-merayakan-kenangan-menyeruput-eksotisme-.html

Pasar Malam Besar Berawal dari Gerakan Perlawanan (2)

Negeri Kincir Angin mulanya tak menerima mereka sepenuhnya, juga meminta mereka melupakan negeri seberang.

ISTILAH Pasar Malam sudah tak asing di telinga warga Belanda, bahkan sudah masuk dalam kamus Bahasa Belanda Van Dale. Berbicara tentang sejarah Pasar Malam Besar berarti juga bicara tentang budaya Indo. Ras Indo, atau Indies Eurosian secara sederhana berarti anak campuran antara darah Barat dan Timur, Eropa dan Asia. Tak sedikit yang beribu seorang nyai, yang artinya dia lahir sebagai anak di luar perkawinan sah. Ada juga yang keturunan Tentara Kerajaan Hindia-Belanda (KNIL) yang berganti warga negara, seperti ayah The Tielman Brothers. Ada warga Belanda murni yang lahir di Nusantara. Ada orang Indonesia asli yang menikah dengan orang Belanda atau statusnya disamakan dengan orang Eropa oleh pemerintah kolonial kala itu. Merekalah Indische Nederlanders.

Selain di Indonesia, keturunan ini juga hadir di Malaysia (Cristang), Sri Langka (burghers), dan Goa. Juga di Afrika, misalnya di Cape Verde. Komunitas ini pun, dari 1945 hingga pertengahan 1960-an, menyebar ke Belanda. Den Haag menjadi kota tujuan utama, karena merupakan kota administrasi sementara kaum Indo ini adalah ambtenaar. Lainnya menyebar ke berbagai negara seperti Kanada, Australia, dan Amerika Serikat. Sekadar catatan, komunitas Indo terbesar di luar Belanda adalah California dengan jumlah sekitar 35 ribu orang yang hidup di Los Angeles –di antaranya Eddie dan Alex van Halen.

Terminologi “Indis” berasal dari Nederlandsch Indie (Hindia Belanda), negara jajahan Belanda di wilayah Nederlandsch Oost Indie, yang membedakannya dari Nederlandsch West Indie, (Suriname dan Curascao). Kata ini juga acap disamakan dengan Indo.

Berdirinya Pasar Malam Besar pada 1959 diotaki oleh Tjalie Robinson alias Vincent Mahieu, seorang intelektual Indo dan sastrawan terkenal. Pria berdarah Belanda-Inggris-Jawa ini bernama asli Jan Boon. Kala itu, 1950-an, terjadi migrasi besar-besaran komunitas Indo ke Belanda. Di Indonesia, suasana memanas, dan memaksa mereka berhijrah. Namun Negeri Kincir Angin pun tak betul-betul menerima mereka. Kerajaan Belanda mengeluarkan aturan tentang asimilasi dan menghimbau kaum Indies melupakan sejarah negeri seberangnya. Robinson menolak kebijakan itu, dan bersama rekan-rekannya sesama keturunan campuran Indonesia-Belanda, ia membentuk Indies Cultural Circle. Salah satu pencapaiannya adalah terselenggaranya Pasar Malam Besar.

Idenya untuk nostalgia Pasar Malam Gambir yang rutin diadakan di Lapangan Banteng, Batavia. Saat itu, acaranya masih sekadar pertemuan, makan, dan musik, dan pengunjung boleh menyumbangkan dana untuk melestarikan budaya hibrida mereka selama tiga hari. Merekalah yang melestarikan bahasa Pecok (juga dieja sebagai Petjo atau Petjoh) –bahasa yang digunakan kaum Indisch (Indo Eropa) pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, yang awalnya berasal dari Hindia Belanda. Menurut Wikipedia, bahasa campur-campur ini diperkirakan menghilang pada akhir abad ke-21. Bahasa kaum Indo adalah campuran antara bahasa Belanda, Melayu, Betawi, dan Jawa. Dari tata bahasa, ia mengikuti bahasa Melayu, sedangkan dari leksikon, bahasa ini merujuk bahasa Belanda.

Nama Tong Tong diambil dari nama institusi yang didirikan Robinson. Awalnya adalah majalah Onze Brug (Jembatan Kami) yang dia ambil-alih oleh Robinson dari Grote Indische Feestavond, pada 1958  dan diganti dengan Tong Tong. Fokus Onze Brug yang berorientasi pada Papua Nieuw Guinea diganti dengan kisah dan pengalaman warga Indo di Belanda. Belakangan, setelah Robinson wafat pada 1974, majalah ini diambil-alih oleh istrinya, Lilian Ducelle, dan diganti namanya menjadi Moesson, yang masih terbit hingga hari ini. Pada 1955 ia harus meninggalkan Belanda dan mengembara karena aktivitasnya mempertahankan budaya Indies dan karenanya melawan aturan asimilasi Belanda. Tapi ia tetap berjuang. Majalah Tong Tong itulah basis utamanya, yang tersebar ke seluruh negeri, tempat kaum Indo berdiaspora. Kelak, pada 1961, Robinson melanglang buana ke Spanyol dan lantas pada 1963 ke Amerika Serikat untuk mengembangkan dan melestarikan budaya Indies.

Pada 2003 Ratu Beatrix membuka Pasar Malam Besar, dan itu artinya pengakuan resmi kerajaan akan budaya campuran itu. Pada 2007, Pasar Malam Besar dianugerahi Grand Prix 2007 untuk ajang nasional terbaik, dan layak disejajarkan dengan Festival Film Internasional Rotterdam, North Sea Jazz, dan Oerol.

Di awal pendirian, kaum Indies memposisikan diri sebagai korban. Mereka membuat acara untuk sekadar berkumpul. Kini, Pasar Malam Besar hanya sekadar untuk menyeruput eksotisme budaya diaspora dari bekas negara jajahannya.

[EKKY IMANJAYA/alumnus Universiteit van Amsterdam, bukunya Episode Amsterdam akan terbit]

Sumber Link: http://ekkyij.multiply.com/journal/item/171/Pasar_Malam_Besar_2Berawal_dari_Gerakan_Perlawanan

Sabtu, 12 Februari 2011

Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah Nasional / Internasional Tahun 2011

Kepada Yth.:
1. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri
2. Koordinator Kopertis Wilayah I s.d. XII
di seluruh Indonesia

Diberitahukan dengan hormat bahwa Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dalam tahun 2011 akan menyelenggarakan pelatihan penulisan artikel ilmiah. Kegiatan ini dibagi ke dalam beberapa kategori:
1. Penulisan Artikel berdasarkan Tesis dan Disertasi Pascasarjana yang dinyatakan lulus sesudah tanggal
    1 Januari 2007.
2. Penulisan Artikel berdasarkan Hasil Penelitian Hibah Penelitian Ditjen Dikti yang penelitiannya diselesaikan
    sesudah tanggal 1 Januari 2007.
3. Penulisan Artikel berdasarkan Skim Penelitian Lain.

Untuk tiap-tiap kategori dibedakan dalam artikel untuk berkala internasional (harus dalam Bahasa Inggris) dan untuk berkala nasional terakreditasi (dalam Bahasa Indonesia).

Program pelatihan penulisan artikel ilmiah ini dimaksudkan sebagai upaya dalam rangka meningkatkan kemampuan para dosen/peneliti perguruan tinggi dalam melakukan penulisan artikel ilmiah yang memenuhi standar baku yang seharusnya dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Peserta adalah Dosen Perguruan Tinggi dilingkungan Kementerian Pendidikan Nasional;
2. Peserta belum pernah mengikuti kegiatan sejenis dari Ditjen Dikti dan bukan Profesor;
3. Peserta telah menyiapkan naskah hasil penelitian dalam bentuk artikel ilmiah baik sendiri maupun
    kelompok untuk diterbitkan dalam berkala ilmiah;
4. Naskah tersebut disiapkan sesuai dengan petunjuk penulisan artikel pada berkala yang dituju;
5. Menuliskan nama berkala yang dituju dan melampirkan petunjuk pada penulis/guide for authors berkala
    yang bersangkutan;
6. Bagi peserta yang naskahnya berasal dari Tesis dan Disertasi maka Tesis dan Disertasi harus dibawa;
7. Pelamar harus memasukkan surat pernyataan dan biodata dengan format terlampir;
8. Pelamar harus menyertakan data isian (softcopy) menggunakan cd dengan format diunduh dari
    website http://dikti.kemdiknas.go.id;
9. Seluruh berkas dibendel dengan memakai sampul karton manila warna biru;
10. Lamaran yang tidak memenuhi ketentuan 1 sampai 9 tidak akan dipertimbangkan untuk diseleksi lebih lanjut.
11. Peserta yang lolos seleksi akan diberi tahu dengan surat undangan dari Direktur Penelitian dan
     Pengabdian kepada Masyarakat Ditjen Dikti;
12. Seluruh biaya pelatihan ditanggung oleh DP2M Ditjen Dikti.

Berkenaan dengan hal tersebut mohon bantuan Saudara pimpinan perguruan tinggi negeri untuk dapat menyampaikan kepada calon peserta di lingkungannya masing-masing dan kepada koordinator perguruan tinggi swasta mohon bantuannya untuk dapat memberitahukan kepada perguruan tinggi swasta wilayahnya masing-masing.

Berkas lamaran pelatihan penulisan artikel ilmiah yang diusulkan untuk dipertimbangkan keikutsertaannya dalam program ini harus sudah diterima selambat-lambatnya :

Artikel Nasional         : 28 Februari 2011 pukul 16.00 WIB
Artikel Internasional   : 29 April 2011 pukul 16.00 WIB

dengan alamat:

Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional
Gedung D Ditjen DIKTI Lt. 4
Jl. Pintu Satu, Senayan, Jakarta 10270
Telp.(021) 57946100; Faks. (021) 5731846

Atas perhatian dan kerja sama yang dilimpahkan kami mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 26 Januari 2011
Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat

ttd

Suryo Hapsoro Tri Utomo
NIP  19560901 198503 1 003

Sumber link: http://dikti.kemdiknas.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1853:pelatihan-penulisan-artikel-ilmiah-nasional-internasional-tahun-2011&catid=68:berita-pengumuman&Itemid=160

Jumat, 11 Februari 2011

BREAKING NEWS

MENGUCAPKAN SELAMAT 
KEPADA: DRS. MURYADI, M.AP.

Telah LULUS dalam Studi di Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya. 

Admin dan Managemen Departemen Ilmu Sejarah

Rabu, 09 Februari 2011

Polisi Zaman Kumpeni

Oleh : BONNIE TRIYANA, Majalah Historia

Cuma ada tiga polisi jujur di negeri ini: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng.

 DALAM canda yang dilontarkan Gus Dur itu tersimpan kritik pedas bahwa kejujuran di tubuh organisasi kepolisian telah hilang dan menjadi barang langka. Benarkah demikian?
Belakangan ini polisi sedang menghadapi cobaan terberat sepanjang keberadaannya di Republik ini. Perkara Susno Duadji, rekening gendut, hingga yang paling beken Gayus Halomoan Tambunan membuat lembaga kepolisian mendapat sorotan dari masyarakat. Kasak-kusuk tentang kinerja polisi pun sudah beredar luas dari mulut ke mulut dan kuping ke kuping, menyisakan sejumput ragu atas kinerja lembaga kepolisian.
Beberapa ungkapan kekecewaan dan plesetan sindiran terhadap kinerja polisi kerap mewarnai perbincangan di warung kopi: “kehilangan rumah” saat mengurus motor yang dicuri atau KUHP, Kasih Uang Habis Perkara. Begitulah citra polisi di mata masyarakat. Penuh rekayasa dan manipulasi. Bagaimana sebenarnya peran polisi di dalam sejarah? Apakah benar polisi selalu identik dengan rekayasa dan segala tuduhan miring?
Marieke Bloembergen, sejarawan yang bekerja sebagai peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV) di Leiden, Belanda, menulis sebuah buku tebal tentang rekam jejak polisi di Hindia Belanda. Dalam buku terjemahan dari bahasa Belanda setebal 500 halaman lebih itu Marieke membeberkan sejarah polisi di Hindia Belanda sejak awal pembentukannya pada 1897 sampai keruntuhan negara kolonial pada 1942.
Menurut Marieke, polisi di Hindia Belanda merupakan produk langsung dari ketakutan dan kepedulian. Sejak 1870 masyarakat Eropa mulai membanjiri dan menetap di Hindia Belanda. Mereka merasa was-was karena bagaimana pun mereka tinggal di sebuah negeri asing di mana masyarakat di sekeliling mereka punya budaya dan pemahaman lain atas komunitas kulit putih.
Perlawanan kaum pribumi terhadap otoritas kolonial sebagaimana terjadi pada 1888 di Banten dan sebelumnya pada 1854 menjadi catatan tersendiri buat pemerintah kolonial untuk mendirikan sebuah organisasi kepolisian modern untuk menjaga kepentingan dan keberadaan mereka di Hindia Belanda. Kemunculan politik etis dan terciptanya golongan elit pribumi yang menginisiasi gerakan nasionalisme di Hindia Belanda mendorong pemerintah kolonial lebih aktif memodernisasi kepolisiannya. Selain sebagai penjaga keamanan juga untuk “mewujudkan gagasan bahwa urusan keamanan adalah bagian penting dari kewajiban (penyelenggaraan) negara sekalipun dengan segala cara tetap ingin mempertahankan status quo kolonial,” tulis Marieke dalam bukunya.
Pemerintah kolonial pun memikirkan fungsi sosial lain dari kepolisian. Ia harusnya mampu menjaga ketertiban masyarakat; memastikan masyarakat tetap patuh pada peraturan pemerintah; dan memuaskan kebutuhan masyarakat akan rasa aman.
Kepolisian di Hindia Belanda dibentuk sebagai tanggapan dari negeri induk terhadap persoalan bagaimana memelihara dan menjaga keamanan di negara koloni. Ironisnya, ketika lembaga kepolisian ini dibentuk, tak ada seorang pribumi pun yang dimintai masukan tentang bagaimana seharusnya kepolisian bekerja. Menurut Marieke, ketika 1930 anggota kepolisian mencapai jumlah terbesarnya, yakni 54 ribu personel, 96 persen di antaranya justru berasal dari golongan pribumi. Sebagian besar dari mereka, kecuali anak bupati yang diberi previlese sebagai petinggi polisi, menempati posisi sebagai anggota terendah dalam struktur kepolisian yang hierarkis.
Film Si Pitung (1970), disutradarai Nawi Ismail, menggambarkan situasi yang mendekati kebenaran, di mana kepala polisi yang diperankan Hamid Arif adalah seorang Belanda sementara anak buahnya terdiri dari pribumi berkulit sawomatang. Meneer Belanda kepala polisi itu menggunakan perpanjangan tangan kolonial lain, yakni Demang Meester, untuk menangkap Pitung yang dianggap selalu meresahkan masyarakat kulit putih di Betawi yang dipersonifikasi sebagai komunitas penjajah yang menebarkan ketidakadilan pada rakyat jelata.
Semenjak tahun 1830-an upaya negara kolonial untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam sistem ekonomi imperialis mulai berkembang. Satu dekade setelah Perang Jawa, investasi asing mulai masuk dan berwujud dalam berbagai macam industri perkebunan dan pertambangan. Pemerintah kolonial harus memastikan kalau pihak swasta penanam modal itu menadapatkan perlindungan dan jaminan keamanan dari segala gangguan yang bisa sewaktu-waktu datang dari kelompok pribumi.
Memang pada 1860, pejabat tinggi kolonial di Hindia Belanda melontarkan kritik pedas pada kinerja kepolisian yang tak sanggup memelihara keamanan dan ketertiban di kalangan masyarakat. Menanggapi kritik demikian pemerintah kolonial pun mendirikan sebuah komisi kepolisian yang memiliki tugas menelaah dan mencari jalan keluar agar ada perbaikan pada mutu kerja kepolisian.
Apa yang terjadi pada zaman itu mengingatkan kita pada pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang didirikan pada 1 Juni 2006. Tugas Kompolnas pun mirip-mirip dengan komisi kepolisian yang dibentuk pada zaman kolonial, yakni berupaya meningkatkan kinerja kepolisian Indonesia melalui masukan dan saran kepada Presiden RI.
Pada zaman kolonial, sebagaimana temuan Marieke, ternyata polisi pun ambil urusan menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah. Perintah gubernur kepada polisi itu didahului oleh sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP) yang melihat telah banyak dosa yang dibuat para pejabat tinggi karena menjalankan aktivitas homoseksual. Kepolisian kolonial pun menebar agen reserse untuk menangkap homoseksual dan memenjarakan mereka. Menurut Marieke, cara kepolisian kolonial memberantas homoseksualitas tak jauh berbeda dari cara mereka memberantas komunisme yang melakukan pemberontakan pada 1926.
Negara Hindia Belanda digambarkan sejarawan Henk Schulte Nordholdt sebagai negara yang penuh dengan kekerasan. Karena itu, guna memajukan kepentingan ekonomi dan kekuasaan politiknya, negara kolonial ini praktis membutuhkan polisi sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang bisa secara aktif menjalankan kebijakan dan menegakkan “rust en orde” atau keamanan dan ketertiban. Polisi di era kolonial pada kenyataannya telah merambah ke fungsi lain, dari sekadar memberikan rasa aman kepada komunitas Eropa dan masyarakat hingga mencakup persoalan politik dan polisi moral.  Peran yang luas dan menggurita itu membuat sejarawan Harry Poeze menyebut Hindia Belanda sebagai negara polisi (politiestaat).
Penelitian sejarawan alumnus Universiteit van Amsterdam itu berhasil memberikan gambaran yang jelas tentang asal-usul lembaga kepolisian modern di Hindia Belanda sekaligus memberikan dasar pengetahuan holistik untuk memahami bentuk dan kinerja kepolisian Indonesia di masa sekarang. Penelitiannya, yang telah diterbitkan menjadi buku Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (Penerbit Buku Kompas, 2011), merupakan jalan masuk yang lempang bagi sarjana dan peneliti yang hendak menelusuri sekaligus menelaah lembaga kepolisian dari beragam perspektif keilmuan.

Sumber Link: http://haerilhalim.wordpress.com/2011/01/20/polisi-zaman-kumpeni-by-bonnie-triyana-majalah-historia/

 

Sabtu, 05 Februari 2011

Mesir dan Kemerdekaan Indonesia*

 Oleh: BONNIE TRIYANA

Tak jauh dari Tahrir Square, pusat demonstrasi rakyat Mesir, terdapat jalan Ahmed Sokarno. Bagaimana hubungan Mesir dengan Indonesia di masa lalu?

Kairo, 10 April 1947. Seorang petugas imigrasi bertubuh tinggi tegap dengan kumis melintang menghadang empat pria berpakaian kumal, bersandal-sepatu lusuh yang memasuki pintu bandara. Petugas itu mengerenyitkan dahinya saat memeriksa paspor yang disodorkan empat pria tadi. Heran. Paspor yang diserahkan tak berbentuk buku kecil sebagaimana umumnya melainkan secarik kertas lecek dengan sejumlah keterangan kalau empat pria itu datang dari sebuah Republik bernama Indonesia.

Belum habis rasa heran petugas itu, salah seorang yang bertubuh kecil, berkumis dan mengenakan kopiah meluncurkan keterangan, “Mision diplomatique, dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia,” katanya. Lelaki tua itu adalah Haji Agus Salim, the grand old man Republik Indonesia, Menteri Muda Luar Negeri sekaligus pemimpin delegasi.  

Tapi keterangan Agus Salim hanya ditanggapi kerutan kening, kepala miring dan bahu yang diangkat, tanda kebingungan yang belum tuntas. Matanya masih menatap keempat orang tadi. Sejurus kemudian dia bertanya, “Are you Moslem?” “Yes” jawab mereka berempat serentak, kemudian mereka saling bertatapan dan sontak menertawai tingkah mereka sendiri.  “Well, then, Ahlan wa Sahlan, Welcome!” saut petugas yang sedari tadi bertampang dingin.

Tanpa panjang urusan lagi, keempat pria delegasi Indonesia yang terdiri dari Haji Agus Salim, AR Baswedan, Mr. Nazir Pamoentjak dan Rasjidi (kemudian menjadi Prof. Dr) melenggang menuju ruang tunggu di mana sejumlah mahasiswa Indonesia dan Sekjen Liga Arab Azzam Pasha telah menunggu kedatangan mereka.

Perjalanan ke Mesir tersebut merupakan kunjungan balasan dari pihak Indonesia setelah sebelumnya Muhammad Abdul Mun’im, Konsul Jenderal Mesir di Bombay (sekarang Mumbay, India) datang ke Yogyakarta pada 13–16 Maret 1947. Menurut AR Baswedan dalam artikelnya di buku Seratus Tahun Agus Salim mengisahkan kunjungan Mun’im itu untuk mewakili negerinya dan membawa pesan dari Liga Arab yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Mun’im datang ditemani Ketut Tantri (Muriel Pearson), perempuan Amerika yang banyak membantu perjuangan rakyat Indonesia di masa revolusi.

Pada 15 Maret 1947, bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Mesir yang ke-23, demikian AR Baswedan mencatat, “Mun’im menghadap Presiden Sukarno (untuk) menyampaikan pesan-pesan dari Liga Arab,” kata dia pada tulisan yang sama. Pesan itu merupakan hasil keputusan sidang Dewan Liga Arab yang diselenggarakan pada 18 November 1946 yang menganjurkan seluruh anggota Liga Arab mengakui kedaulatan Republik Indonesia berdasarkan ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan. .

Sebuah versi menyebutkan solidaritas negara anggota Liga Arab tersebut dimotori oleh gerakan Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir. Gerakan persaudaraan muslim tersebut didirikan oleh Hassan Al-Banna, pemikir sekaligus tokoh pembebasan yang getol menentang kolonialisme Inggris di Mesir dan aktif menggalang persaudaraan di kalangan umat muslim.

Mengetahui kedatangan delegasi Indonesia yang disiarkan luas oleh suratkabar Mesir, Duta Besar Belanda di Mesir berupaya keras menggagalkan upaya Haji Agus Salim cum suis untuk menjalin perjanjian persahabatan antara Indonesia dengan Mesir. Dubes Belanda bersikukuh kalau Indonesia itu bukanlah sebuah Republik yang merdeka berdaulat melainkan masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Sehingga tindakan politik apapun yang mengatasnamakan Indonesia sebagai sebuah negara tidak Belanda akui, kecuali atas sepengetahuan dan membawa nama pemerintah Belanda.

Padahal delegasi Indonesia memiliki misi menggalang dukungan internasional untuk mengakui kemerdekaannya. Belanda menutup mata atas fakta kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, 17 Agutus 1945. Belanda bahkan menyebarkan opini bahwa Republik Indonesia yang baru berdiri itu merupakan hasil kolaborasi ekstrimis Republik dengan fasis Jepang. Pada pengujung 1945 pun beredar kabar Bung Karno dan Bung Hatta akan diadili sekutu sebagai penjahat perang.

Dengan kampanye pencitraan negatif oleh Belanda, maka pihak Republik berusaha mengimbanginya dengan mengirimkan misi diplomatik ke berbagai forum internasional dan negara. Sebelum mendarat di Kairo, Mesir, Haji Agus Salim serta delegasi Indonesia terlebih dulu menghadiri Inter-Asian Relation Conference di New Delhi, India, menggalang solidaritas dari negara-negara Asia yang peduli pada perjuangan bangsa Indonesia.

Menurut catatan AR Baswedan, perjanjian persahabatan antara Mesir dengan Indonesia ditandatangani pada 10 Juni 1947. Abdul Mun’im, konsul Mesir di Bombay yang beberapa bulan sebelumnya berkunjung ke Yogyakarta mengantarkan delegasi Indonesia untuk bertemu dengan Perdana Menteri Mesir Nokrashi Pasha yang juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Mesir.

Tepat pukul sembilan pagi seluruh delegasi Indonesia sudah tiba di kantor Kementrian Luar Negeri Mesir. Namun delegasi diminta untuk menunggu di ruang tamu padahal agenda pada jam itu sudah ditetapkan untuk penandatangan persahabatan Indonesia dengan pihak Mesir. Pihak delegasi tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam ruangan Perdana Menteri sampai 30 menit kemudian. “Sesudah setengah jam menunggu, kami melihat Duta Besar Belanda keluar dari kamar PM Nokrashi dengan wajah yang kecut, dan tergesa-gesa,” kenang AR. Baswedan.

Delegasi kemudian dipersilahkan masuk ke ruangan dan mendengar sendiri dari Nokrashi tentang apa yang terjadi antara dia dan Duta Besar Belanda di Mesir. Menurut Nokrashi, pihak Belanda yang diwakili oleh Duta Besarnya protes dan merasa keberatan dengan cara pemerintah Mesir memperlakukan delegasi Indonesia. Duta Besar Belanda mengingatkan Mesir tentang hubungan ekonomi Mesir dengan Belanda. Belanda juga mengancam akan menarik dukungannya terhadap Mesir terkait persoalan Palestina yang dibawa Mesir ke forum PBB.

Perdana Menteri Nokrashi atas nama bangsa Mesir tak gentar sedikit pun. Dia malah memberikan jawaban di luar dugaan Duta Besar Belanda. “Menyesal sekali kami harus menolak protes Tuan, sebab Mesir selaku negara berdaulat, dan sebagai negara yang berdasarkan Islam, tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Ini adalah tradisi bangsa Mesir dan tidak dapat diabaikan,” kata Nokrashi seperti dikutip oleh AR Baswedan. 

Duta Besar Belanda itu pun meninggalkan Perdana Menteri Nokrashi dengan rasa kecewa. Perjanjian persahabatan antara Mesir dengan Indonesia pun berhasil ditandatangani hari itu antara Menteri Muda Luar Negeri Indonesia Haji Agus Salim dengan Nokrashi Pasha dalam kapasitas sebagai Menteri Luar Negeri Mesir.  Penandatanganan tersebut disaksikan oleh AR Baswedan selaku Menteri Muda Penerangan Indonesia, Rasjidi dan  Dr. Nazir Dt. Pamoentjak dari pihak Indonesia. Abdul Mun’im dan Sekjen Kemlu Mesir Dr. Kamil dari pihak pemerintah Mesir.

Dengan penandatangan perjanjian persahabatan yang sekaligus menandai pengakuan Mesir secara legal terhadap kedaulatan Republik Indonesia itu maka lengkaplah persyaratan formal berdirinya sebuah negara. Secara de facto dan de jure persyaratan pengakuan dari negara lain atas eksistensi Republik Indonesia tercapai dengan kesepakatan tersebut. Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia.

Hubungan Mesir dengan Indonesia semakin erat ketika Bung Karno menginisiasi gerakan Non-blok, yang menggalang kekuatan dunia ketiga di Asia-Afrika untuk bersama-sama menghalau potensi perang dunia ketiga antara blok barat (Amerika) dengan blok timur (Uni Soviet). Adalah Gammal Abdul Naser, Presiden Mesir yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Sukarno. Penampilan Bung Karno yang selalu berkopiah memberikan kesan tersendiri bagi rakyat Mesir pada zamannya sehingga setiap kali ada warga Indonesia yang berkunjung ke sana dan mengenakan kopiah maka sontak warga Mesir akan menyebut nama “Sukarno!”. 

Kini Mesir dilanda huru-hara. Rakyat ingin membebaskan diri dari kekuasan Hosni Mubarak yang telah duduk di tampuk kekuasaan selama 30 tahun lebih. Apa yang terjadi di sana mengingatkan kita pada apa yang terjadi di Jakarta Mei 1998. Dan Soeharto, yang ditumbangkan pada tahun itu, melakukan kunjungan kenegaraannya terakhir ke Kairo, Mesir. Dari Mesir, Republik Indonesia mengawali jejaknya dan dari Mesir pula rezim kediktatoran Soeharto mengakhiri langkahnya. Kini Mesir menanti akan ke mana garis nasib sejarah membawanya.
*Repost dari: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-419-mesir-dan-kemerdekaan-indonesia.html

Selasa, 01 Februari 2011

CATATAN BUDAYA FERNANDO ROSA

Budaya



I cannot get over the hybridity of language here. 'Fakultas Ilmu Budaya', says the large sign above the entrance door as I walk in to get to the department. Fakultas is Latin, ilmu is Arabic, and budaya is Sanskrit. Even if a classical philologist had been asked to create such a language, I doubt he would have been able to come up with anything so interesting. Faculdade de Ciências da Cultura. The greatest thing about it however is that people are usually totally unself-conscious about their language. Namely, they accept it as it is, not as a philological construction.

I particularly love budaya. It is such a nice-sounding term. It rhymes with Surabaya too. Budaya Surabaya. In fact, I am housed in what is in fact Pusat Budaya Jawa Timur (or something like that). They have made dvds showing local culture all over East Jawa. Last night I watched a couple of them. It is such an incredibly creolized world of Hindu and Islamic and local influences. It is so vital too. In reality, Surabaya is a sea port with a large hinterland that has been historically much more significant than the city itself. The dean of the Fakultas - who differently to other members of the faculty is from here - explained to me that Surabaya is in fact a city where people used to have very humdrum ambitions: being a becak or taxi driver, or a mechanic for motorbikes for instance. The people who went to university here were all from Kediri and other towns inland. These had a higher social standing than Surabayans. In fact, this is the hinterland of the old Majapahit kingdom (and one or two successor states as well, especially Mataram), so Surabaya has for many centuries now played the role of intermediary between the prestigious places in the interior and the vast outside world with which it has had connections. In fact, the local language reflects that: there is a bahasa Surabayo, with heavy Javanese and Malay influence, a kind of hybrid language if I am to believe my colleagues. It is used in local television and, I assume, also in radio broadcasts. There is even a dictionary of it. I would love to look into it, as it must have evidence in its vocabulary of many of its connections to the very extensive Indian Ocean world where Surabaya emerged centuries ago. I wonder whether there are marginally more Portuguese words in it, for instance, than in standard Bahasa Indonesia, or perhaps more Chinese ones. I also wonder about the links between Bahasa Surabayo and Bahasa Betawi. I ask the dean about Semarang, the third important Javanese large port on the north coast (the port of the old principalities in Central Jawa, in fact). It is yet another world, however, and apparently one that is less heterogeneous - and therefore to me somewhat less appealing - than either Jakarta or Surabaya. I wonder however whether it might not perhaps also have its own language just as its two sisters.

Right to the north of Surabaya - now in fact only half an hour away across Indonesia's longest bridge - lies Madura. Not a hinterland, as it is a much smaller island, but all the same another place that is closely linked to Surabaya just as the comparatively vast interior of East Jawa. Everybody has told me - in fact, even warned me - that Madura is a different world altogether though it is close by. It is peculiar that what is in fact almost the end of Jawa - and therefore the beginning of a frontier space - is also one of its most culturally vibrant and ancient regions. Just to the east lies Bali, another world of its own (and a slightly larger island than Singapore, I am told), and then Lombok and the rest of Nusa Tenggara and Eastern Indonesia. I know the geography, of course, but it is the first time it really makes sense to me in a very direct and personal way. It is for instance more than a little intriguing that Surabaya lies so close to both Bali and Madura and yet it is another place altogether. The reputedly very Islamic character of Madura as well as the very Hindu one of Bali also make for an interesting contrast. We could think of Surabaya and Jawa Timur perhaps as an intermediary area where all kinds of influences and creolized worlds have come up between the two poles of a strong Islamic society and a strongly Hindu one. As a matter of fact, I find East Jawa even more intriguing than the Central Javanese heartland I have arrived from a couple of days ago.

The contrast with Malaysia's port cities is also very intense to me. Surabaya is a far cry from Penang and Melaka, and not only because it is clearly larger than both. I try to reason with myself that this is not only another part of Nusantara, it is in fact another sea too: not the Straits and the Sea of Andaman any more, but the Sea of Jawa, in fact a small ocean in itself surrounded by (is) lands on almost all sides. This is also a place that is much less colonial than either of its West Malaysian counterparts. Its history stretches back much farther than the fourteenth century, for instance, when it seems to have been already a very lively and bustling seaport. The first reference to it seems to be almost as a matter of course in a Chinese record of the first half of the thirteenth century (the Chinese were often the first chroniclers of places in Nusantara). It is therefore older than Melaka. Of course, colonialism has shaped and reshaped it more than once (the Dutch took it in the mid-eighteenth century) as the old Dutch colonial architecture still extant shows in abundance. My first link to Surabaya was through reading Bumi Manusia in Rio de Janeiro a long time ago (first in the Dutch translation and then, painfully slowly and never completely but only in excerpts, in the Indonesian original. There is still to this day no Brazilian translations of any of Pram's works as far as I know, though some of them have been translated in Portugal. Portuguese books in Brasil are, though not a rarity, not necessarily common either, especially if they are literary translations. They are hideously expensive and the distribution network for them is quite poor). Johny in fact points out to me the former MULO school - a Dutch colonial school originally - where Minke, Pram's main character in Bumi Manusia, is supposed to have studied. Minke was in fact built on a real life character of the time. That was Surabaya but a hundred years ago or more. Minke was in love with an Indo - a mixed woman - born of a Javanese woman and a Dutchman. Of course, that being colonial Jawa, the relationship never advanced, and his beloved was sent to the Netherlands so as to get away from the dangers of miscegenation in the colony. I find this literary imagining of the impossibility of real mixing quite interesting as it comes through the presence of a character that is in fact mixed. Surabaya is portrayed therefore, we could venture, as the place where the Dutch and Javanese both mixed and did not mix.

This colonial ambiguity of mixing and not mixing is perhaps also mirrored in the fact that Surabaya, as an Indonesian postcolonial city, is somehow less heterogeneous than either Melaka or Penang. The image of mixing and unmixing however is  mostly only present in Melaka, but it is nonetheless a very powerful presence there: it is linked to the orang Portugis, the Chitties, the Peranakan, to name but three communities that are still very much visible there. I don't know how to think about Melaka and Surabaya comparatively. It seems very tricky. They are both in a way colonial trading posts, but Surabaya's link to both Majapahit and Mataram were so strong and so important that they must have shaped the port to a fairly large degree. The interior of the Peninsula is of course another territory altogether. After the fall of Melaka, the closest sultanate must have been today's Negeri Sembilan (in case it already existed back then), a largely Minang polity under Bugis leadership. That is however a far cry from either Majapahit and Mataram and even from any remains that must have survived the demise of either. Therefore, though both Melaka and Surabaya have had important maritime connections that have largely shaped them into what they now are, their interiors were vastly different in terms of size and demography. In fact, it is little wonder that they now are very disparate postcolonial cities. Also, intringuingly, the Arabs - so important in Penang but so comparatively little visible in Melaka - seem to have been much more active and numerous in Surabaya. In fact, this last is historically probably the easternmost important port in the whole of Nusantara with such a large Arab community, Aceh being of course the westernmost port (and Penang is just across the Straits from Aceh). Aceh was also the first port of call in Nusantara for steamships coming from Europe, and Surabaya the very last.

Surabaya can also be seen as the last major important southern and eastern harbour for Chinese coming from Fukkien or the Pearl River Delta. In this sense, though of course maritime connections stretched well beyond Surabaya in all kinds of directions, both in pre-colonial and colonial times, this is the very last harbour-cum-metropolis for people coming from Europe, Western Asia, and China. Interestingly but revealingly, differently to both Penang and Melaka, there is no visible Indian community here (though as elsewhere in Jawa there must be lots of Indian clothes shops owned by Indians). The Indian influence here is actually much more visible in the interior, and is therefore Indic, not Indian. Surabaya in this way can be seen as a point at which the important Indic past of Jawa would be watered down by Arab, Chinese and colonial influences of various kinds, whereas in the interior the Indic-derived but in fact largely local culture could be kept to a greater degree. Of course, I am reading the situation here from the perspective of my poor historical knowledge: I doubt for instance that there ever was a pristine, Hindu Javanese or later Islamic kingdom in the interior in contrast to a very creole, very heterogenous coastal harbour such as Surabaya. Only I have been much better trained - also because I am a Brazilian scholar - to look at creole cultures of colonial origin than look at them in settings that are not necessarily colonial. Therefore, East Jawa's interior is much more difficult for me than Surabaya. However, Surabaya can also seem deceptively simple in comparison to its interior when in fact it is not. I just don't know how to read this counterpoint made up of 'cosmopolitan' port city and 'indigenous' polity in a creative way. That the interior of Jawa, the interior of Peninsular Malaysia, and the vast interior of Brasil and South Africa arre very different places also doesn't help much: namely I have trained my gaze to look at things that are difficult to compare and hard to theorize about in a connected way. Brasil and South Africa therefore seem to me somehow closer to each other in that regard, whereas Peninsular Malaysia and East Jawa are closer to each other than either of them is to either Brasil or South Africa. However, as all this is very much virgin territory in terms of a connected reading of different histories, I am not sure how to further my argument here.

In Yogya however it has become clear to me that reading the Javanese principalities as indigenous polities is in fact a very problematic way of looking at them that is full of pitfalls. Reading them however as mostly colonial constructs is equally complicated. They are to me however societies of colonial origin just as my own, even though nobody would readily agree with me if I put both Brasil and Jawa together. Only, their origins and colonial history is different so they now seem to be incommensurable with anything Brazilian almost by definition. That incommensurability however is largely rooted in the historical gaze that I cast at them, and is therefore not necessarily a quality that they possess in themselves - say, a Javanese essence that makes them different (as the historical-philological mode has taught us to look at them). In fact, looking at Central Jawa as a Brazilian scholar (and as a Brazilian scholar who also happens to be very much an individual scholar with a specific trajectory and therefore not only a member of a nation-state) I feel puzzled. That is because everything seems at the same very new to me and also strangely familiar as I also come from another former colonial society.

This happens in fact happens to me all the time in Jawa: for instance, the student who was my guide for a time in Surabaya took me to a local public hospital to visit one of his cousins who had been operated. People were lying on the floor on matts and the general look of the place was fairly poor. He asked me whether I had seen a hospital such as that one in Brasil. In fact I have, though now hospitals there generally look somewhat better than what was before my eyes. He seemed slightly surprised when I said Brazilian hospitals could be similar to a Javanese public hospital. I was not. My skin may be white and I may be wealthier but in fact I also come from a postcolonial society. In fact, I have even more than once used a public hospital in Brasília that at the time was probably not much better than the one I have just visited in Surabaya. I remember I was fairly disappointed at the general shoddiness of the place though the treatment I got there at the time was in fact not bad at all.

I therefore don't know how to describe, theorize, and think through difference here. Our precolonial histories are supposed to be incommensurable, our colonial pasts vastly different and our postcolonial presents at variance. And, of course, our languages mutually inaccessible as well as incomprehensible. Yet I have learned Bahasa Indonesia in Rio, not in Holland, let alone in Indonesia. In fact, Sukarno opened an Indonesian embassy in Rio already in the 1950s - and it put forth pamphlets and booklets about Indonesia in Brazilian Portuguese; that was also when the famous chinês da Barra, a wealthy Chinese immigrant from Indonesia, arrived in the city and built an entire neighbourhood in a then godforsaken place out of town that has become virtually another city, namely, Barra da Tijuca. Rio is also the place where exactly one hundred years ago Lima Barreto wrote and published one of the most famous short stories in Brazilian literature, namely, O homem que sabia falar javanês, namely Seorang pria yang bisa berbicara basa Jawi. Of course, the man in the story could not really speak Javanese. I consider him however my intellectual ancestor - namely, both Lima and his character.


Sumber: http://melakabrasil.blogspot.com/2011_01_30_archive.html

Rabu, 19 Januari 2011

Merajut Ke-Indonesiaan Kita

Oleh : Abdul Rahman Hamid
(Staf Jurusan Sejarah Universitas Hasanuddin, Makassar)



Pada kali pertama berkunjung ke Buton tahun 1999, bahkan hingga kini, saya mendengar perkataan bahwa “Buton bukan Indonesia”. Pasalnya, negeri ini tidak pernah dijajah oleh Belanda. Sehingga, dengan demikian, tidak memiliki pengalaman masa lalu yang sama dengan daerah-daerah lainnya untuk menjadi Indonesia. Lebih lanjut, Indonesia yang dihasilkan dari pergumulan pemikiran para pendirinya, pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, juga ditegaskan dalam diktum 3 Perjanjian Linggajati 1947, adalah wilayah bekas jajahan Belanda.

Wacana ini sangat menarik ditengah upaya keras pemerintah menyempurnakan Indonesia. Bagaimanapun, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam bahasa doktrinal tentara, sudah harga mati. Tetapi, meskipun demikian, Indonesia bukanlah pula barang jadi, atau simpul politik yang langsung diterima seratus persen oleh masyarakat yang kini menjadi keluarga politik Indonesia. Pada konteks inilah, peran penting dan nilai strategis pengungkapan sejarah sebagai fundamen dalam mengindonesia.

Endemisnya pemikiran tersebut tidak dapat ditolak begitu saja, atau diterima sepenuhnya, sebagai fakta ingatan kolektif masyarakat Buton yang masih hidup hari ini. Karena itulah, kita perlu bertamasya kembali pada relung-relung sejarahnya, terutama dalam kaitan hubungan diplomatik Negara Barata Buton dengan Belanda, berikut dinamika yang menyertainya.

Yang (masih) diingat
Pada abad ke-17, Buton pada masa Sultan La Elangi Dayanu Ikhsanuddin (1597-1633) pertama kali menandatangi kontrak politik abadi (Janji Baan) dengan Kompeni Belanda pada 5 Januari 1613. Dalam kontrak ini, Kompeni yang diwakili oleh Kapten Scotte berjanji akan membantu melindungi Buton dari segala ancaman musuh. Sebaliknya, Buton akan membantu Kompeni dalam perang (ke Solor) dan melindungi kepentingan pelayaran dan niaga maritimnya di Buton (Zahari 1977).

Tak heran, jika dalam buku Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda 1839-1848 (ANRI 1973) dikatakan, “Kerajaan ini [Buton] tergolong sahabat Belanda yang lama”. Pada kitab ini pula diungkap jasa Buton terhadap Belanda, antara lain, dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Atas jasa itu, Belanda membantu Buton mengatasi masalah gerakan pemberontakan di Kepulauan Tukang Besi (sekarang WAKATOBI) pada tahun 1848.

Pada abad ke-19, ketika Belanda berupaya membulatkan daerah jajahannya, melalui kebijakan Pax Neerlandica, dibuat tiga kategori wilayah kekuasanya di Sulawesi yaitu: (1) negeri-negeri yang langsung dibawah kekuasaan Belanda, (2) kerajaan-kerajaan yang tidak langsung dibawah pemerintahannya, dan (3) kerajaan-kerajaan yang merdeka. Dasar kategori terakhir adalah adanya ikatan khusus dengan Belanda. Buton dalam konteks itu merupakan kerajaan yang merdeka. Selain karena pernah menjadi sekutunya di abad ke-17, terutama dalam Perang Makassar (1666-1669), Sultan Buton Kaimuddin telah menandatangi Perjanjian Bungaya yang diperbaharui 1824. Karena itu, terhadap Kesultanan Buton, Belanda hanya menuntut pengakuan kedaulatannya.

Hubungan diplomatik tersebut dominan memproduksi ingatan kolektif masyarakat Buton hingga kini, sehingga tak jarang rumusan politik negara-bangsa (Indonesia) ditampiknya. Ironisnya, jika fondasinya adalah sejarah, proses panjang yang utuh dari kisah diplomatik itu dilupakan, yakni dinamika dan perubahan pola hubungan kedunya, hingga akhirnya Buton terintegrasi didalam kuasa pemerintah Hindia Belanda.

Yang (sudah) dilupakan

Satu tahun setelah Janji Baan 1613, seperti dikemukakan oleh Jan Pieters dalam kunjungannya ke Buton, Buton sudah tidak penting lagi bagi Belanda. Serdadu-serdadu Belanda dan delapan buah meriam yang ditempatkan di sana diangkut kembali pada tahun 1615. Hal itu menimbulkan reaksi dari Buton karena Belanda tidak menepati janjinya. Walhasil, Buton melakukan sejumlah penyerangan terhadap armada Belanda, antara lain, Kapal van de Fluit Velzen di Wawonii tahun 1635, atas perintah Sultan. Sebaliknya, Belanda dibawah pimpinan van Antonie Coen menyerang dan berhasil memporak-porandakan benteng pertahanan Buton di kawasan pesisir tahun 1638  .

Meskipun demikian, kepentingan Belanda atas (di) Buton tak kunjung surut. Dalam abad ke-19, kembali diukir janji politik dengan Buton di masa Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, tanggal 19 Februari 1824. Kali ini hubungan keduanya diasosiasikan dengan “Ayah-Anak”. Dalam hal ini, Belanda sebagai Ayah dan Buton selaku Anak. Keduanya saling membantu dan menghargai sesuai kedaulatan politiknya masing-masing. 

Tetapi, ketika Inggris mencapai langkah maju di Serawak 1845, dan ini dipandang dapat mempengaruhi keutuhan wilayah kuasannya, Belanda bergiat menguatkan simpul politiknya. Pada 28 Agustus 1873 dicapai perjanjian antara Sultan Buton Kaimuddin III dengan Belanda yang diwakili oleh A. Ligtvoet (ketika itu menjabat Sekretaris Urusan Dalam Negeri Hindia Belanda), bahwa Buton berada dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda. Dengan demikian, pudar sudah status politiknya sebagai kerajaan yang merdeka.
Asosiasi hubungan Ayah-Anak pun juga berubah menjadi “Tuan-Hamba”, atau antara yang berkuasa (Belanda) dan yang dikuasai (Buton). Rona hubungan ini dikukuhkan melalui Perjanjian Sultan Buton Muhammad Asyikin Aidil Rakhim (1906-1911) dengan Residen Belanda Brugman pada 8 April 1906; yang lebih dikenal dengan Perjanjian Asyikin-Brugman.

Sejak saat itu Buton, yang telah kehilangan pesona politiknya sebagai kerajaan merdeka dan berdaulat, terintegrasi penuh kedalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Bendera Belanda wajib dikibarkan, baik di darat maupu di laut. Buton juga tidak boleh mengadakan hubungan dengan kerajaan atau kekuatan asing lainnya, kecuali dengan atau atas persetujuan Belanda.

Menariknya, dalam abad ini tasawuf juga berkembang pesat di Buton (Yunus 1995), dengan tokoh utamanya adalah Sultan dan bangsawan keraton. Tampaknya, cara ini efekif dan menjadi alternatif dalam usaha memulihkan wibawa kesultanan lewat jalur agama, setelah tertutup katupnya di ranah politik pasca Perjanjian Asyikin-Brugman 1906, sehingga kesultanan tetap hidup sampai tahun 1960 (Schoorl 2003).

Dirajut Kembali

Deretan fakta tersebut jelas dan tegas menunjukkan bahwa Buton adalah bekas wilayah kuasa politik Belanda atau Hindia Belanda. Dengan demikian, meminjam pesan ilmiah Ernest Renan tentang dasar pembentukan negara-bangsa, Buton memilik roman masa lalu yang sama dengan daerah-daerah dan masyarakat lainnya sehingga menjadi anggota keluarga politik Indonesia. Apa pun dalilnya, bahwa “Buton bukan Indonesia”, tidak memiliki pijakan historis yang kuat. Paling banter dikatakan sebagai ingatan yang tercecer dan kini masih hidup dalam masyarakat Buton.

Akhir kata, perlu upaya penguatan ingatan sejarah bangsa, terutama dalam kaitan diplomatik Buton dengan Belanda, untuk merajuk kembali Indonesia. Tetapi, itu hanya dapat dicapai bila akses sumber sejarah dipermudah. Dan, cara berpikir dan laku bahwa sejarah Buton sulit diungkap, atau belum saatnya untuk diceritakan sudah seharusnya ditimbang kembali, jika tak mau generasi baru Buton kehilangan akar jatidirinya sebagai anak bangsa Indonesia, dan pada lakonnya sebagai aktor sosial ditengah komunitas global (globalisasi) dewasa ini. Semoga!

Selasa, 11 Januari 2011

Urbanisasi Pada Masa Awal Sejarah Jawa

Resensi atas artikel:
Jan Wissman Chhristie
"State Without Citi
es:Demographic Trends in Early Java" 

Terjadinya peningkatan populasi di pulau Jawa yang disurvey pertama kali oleh Raffles yakni 4,5 juta kemudian tahun 1900 pula disurvey lagi dengan jumlah penduduk mencapai 30 juta. Hal itu telah menyebabkan terjadinya ledakan pendududk. Ledakan penduduk yang oleh Jan Wissman Chirtie tidak mencakup seluruh wilayah pulau Jawa, namun hanya meliputi jawa rengah dan jawa timur. Chirtie melihat tentang ditribusi populasi di pulau Jawa yang berbeda. Distribusi populasi eliputi wilayah di daerah-daerah partikelir, dan faktor-faktor yang menyebakan urbanisasi.

Reid mengetakan bahwa populasi yang terjadi di tanah-tanah partikelir di Jawa Tengah dan Jawa Timur akaibat dari struktur ekonopmi koloniaol. Struktur ini dibangaun oleh kolonialisme di Asia tenggara pada abad 16 dan abad 17.hal itu disebabakan karena Asia Tenggara sudah menjadi daerah urbanisasi global. Tetapi Chirtie berpendapat bahwa pola pertumbuhan dan populasi di jawa tengah dan Jawa Timur sudah terjadi sebelum masa kolonial.

Menurut data Arkeologis, Jawa telah melakukan perdagangan barang tambang pada abad ke-3 sebeleum masehi dengan daerah di sebelah utara Vietnam. Pada masa perdangan pulau Jawa memiliki peranan penting sebagai daerah “Indianisasi”. Kemudian data yang diambil dari demografi Jawa sendiri memiliki potensi sebagai pengekspor tembaga, piring, dan batu sebagai sumber ekonomi masyarakat Jawa.
Dalam artikel Christie yang diterbitkan oleh Southeast Asia Program Publications at Cornell University membagai dalam tiga pokok bahasan.

Pertama, perkambpungan awal dan kecenderungan demografi. Pada abad ke-9 sampai abad ke-14 manusia jawa tinggal diadaerah yang subur terutama dekat dengan gunung berapi dan delta sungai. Sebelum thaun 929 dominasi kerjaan terletak di daerah gunung berapi di jawa tenfgah, kemudian akibat dari serangan dari Sriwijaya kekuasaan politik dipindahkan ke timur di delta Sungai Brantas. Pusat kekuasaan yang berda di delta sungai brantas melahirkan kerajaan seperti Kediri, Singosari, dan Majapahit.

Dalam perkembangan yang terjadi antara Jawa Tengah dan jawa Timur memiliki kesamaan dalam mobilitas pusat kekusaan. Seperti perpindahan kekuasaan kerajaan-kerajaan di jawa Timur. Kerajaan-kerajaan di Jawa Timur selalu melakukan perpindahan antara pegunungan di Mlanag sampai pada lembah sungai Brantas, lebih tepatnya di sekitar Trowulan. Perpindahan tersebut mengikuti perubahan yang terus-menerus terjadi. Sebagai contoh adalah perkembangan daerah Sima. Sima merupakan daerah yang dipromosikan dan mendapatkan perlkukan khusus mengenai pajak. Sima terbentuk karena perpindahan fungsi hutan menjadi persawahan yang dibatasi oleh jalur utama tau sungai. Kemudian Sima juga dijadikan tempat untuk membangun candi.

Kedua, perkampungan dan kominitas. Bahsan ini menganai perkembangan kampung yang dimulai dengan wnua, thani/karaman, duwan/duhan i dalem thani, paraduwan/paraduhan, dan desa tau dapur.
Wanua terbentuk dalam sebagai wilayah yang dibentuk oleh group-group pada masa awal pembukaan lahan. Group-group ini menetapkan batas-batas wilayah diantar group-group lainnya. Batas wilayah yang dibentuik merupakan batas lama seperti hutan, sungai, bukit, lembah dan sebagainya. Kemudian, wanua dipimpin oleh seorang landlord yang disebut sebagai karaman. Karaman sebagai pemimpin wanua dibantu oleh dewan pertimbangan yang disebut thani. Pada pertengahan abah ke-11 istilah thani diberikan bagi oranag yang memimpin duwan atau duhan, dusun kecil.  Kemudian istilah thani berubah ketika zaman Belanda dengan menggunakan istilah desa yang memiliki arti area.

Penggunaan istilah-istilah yang berbeda-beda dalam penyebutan suatu tempat yang hampir sama menunjukkan terdapat perkembangan. Penyebutan yang berbeda-beda karena area yang dicakup memiliki keluasan wilayah yang besar. Desa-desa tersebut akan membentuk sebuah kerajaan yang dijadikan sebagai tempat administrasi dan akomodasi dari setiap demografi yang berbeda untuk mengakomodasi segala kebutuhan.
Ketiga mengenai desentralisasi ekonomi. Desentralisasi ekonomi perlu dilandasi bahwa setiap derah memiliki sumber daya alam yang berbeda-beda, namun perlu adanya distribusi untuk mencukupi segala kebutuhan.

Ekonomi jawa sudah dibangun sejak lama. Jawa melakukan perdagangan tertuama dengan Cina. Perdangan yang dilakukan yakni perdagangan emas dan perak. Barang dagangan dari cina meliputi keramik dan sutra. Hal itu menjadi bukti bahwa sudah terdapat jalur. Jalur perdagangan yang sudah terbentuk membentuk sebuah jaringan yang dikenal dengan istilah bakul. Bakul merupakan orang yang membeli barang dari  petani kemudian dijual kepada konsumen dan menjual barang dari pasar satu ke pasar lainnya. Kemudian istilah bakul berkembang pada sekitar abad ke-10 dengan sebutan abangan bakulan atau abakul. Bakul dalam perdagangannya tidak ditentukan dengan ukuran jumlah, atau spesialisasi pasar. Bakul secara sederhan adalah orang yang mendistribusikan barang.

Pendistribusian barang dagangan inilah yang mengakibatkan terjadinya urbanisasi. Perlu digaris bawahi bahwa proses urbanisasi bukan suatu proses yang terjadi begitu saja namun urbanisasi terjadi karena pertumbahan penduduk dan ekonomi.

Sumber: http://sejarawan.wordpress.com/2009/06/26/resensi-atas-artikel-state-without-citiesdemographic-trends-in-early-java-oleh-jan-wissman-chhristie/

Rabu, 05 Januari 2011

Sejarah Gardu dalam Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan*

Resensi Buku:
Judul Buku    : Penjaga Memori; Gardu di Perkotaan Jawa
Penulis           : Abidin Kusno
Penerbit          : Ombak, Jogjakarta
Cetakan          : I, 2007
Tebal              : xv + 154 halaman

Oleh: Anas Hidayat

Hmmm.. gardu. Dalam kehidupan sehari-hari, gardu sangat sering kita jumpai di ujung jalan atau gang, namun jarang sekali kita perhatikan dan cermati, apalagi kita telisik kembali sejarah dan asal-usulnya. Kalau memang ada orang yang menelusuri sejarah gardu, sedemikian pentingkah gardu dalam kehidupan keseharian kita? Jika kita baca uraian Abidin kusno dalam buku ini, jawabannya adalah: ya. Dengan “mata poskolonial” yang jeli sekaligus tajam (mungkin hanya ada beberapa “mata” seperti ini di kalangan arsitektur Indonesia), Abidin mampu mengamati dan mengkaji jejak-rekam gardu di Jawa sejak awal genesis-nya di masa lalu hingga keadaannya yang sekarang. Gardu yang ketika kita lewati kita anggap bukan apa-apa dan mudah kita lupakan karena cuma sekadar pemanis jalan atau pelengkap perempatan, ternyata memiliki sejarah yang ikut mengiringi perkembangan peradaban kota-kota di Jawa selama berabad-abad.

Selama ini, dalam ranah kajian arsitektur, sebagaian besar obyek amatannya selalu berhubungan dengan karya-karya arsitektur masterpiece yang menjulang seperti Menara Petronas di Kuala Lumpur, megah seperti Gedung Putih di Washington DC dan monumental laksana Hagia Sophia di Konstantinopel (sekarang Istambul). Dibandingkan dengan adikarya yang demikian, gardu sungguh ibarat cuwilan kecil yang tak ada harganya. Sedangkan dalam perkuliahan arsitektur, gardu biasanya hanya menjadi tugas merancang bagi mahasiswa semester 1 atau 2 yang baru mengenal bentuk dan ruang. Ya, gardu memang hampir selalu sederhana, kecil dan kadang-kadang dibuat tidak permanen.

Namun, setelah dikaji secara mendalam oleh Abidin Kusno dalam bukunya ini, gardu ternyata merupakan wujud bangunan yang tidak main-main. Gardu menjadi saksi perkembangan kota-kota di Jawa, serta ikut mengalami evolusi dan revolusi dari jaman ke jaman. Abidin mengawali paparannya tentang gardu dengan melihat kembali fenomena posko PDI-Perjuangan pro-Megawati di tahun 1998. Di tahun itu, ada ribuan posko PDI-Perjuangan didirikan di seluruh kota di Jawa sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru yang mendukung PDI Surjadi. Tidak lupa, posko-posko PDI-Perjuangan itu memasang gambar-gambar Soekarno, semacam antitesis dari sosok Soeharto (yang waktu itu sudah hampir jatuh kekuasaannya).

Di era sebelumnya, di jaman Orde Baru pimpinan Soeharto, gardu biasa disebut pos Hansip atau Poskamling (Pos Keamanan Lingkungan) yang sebenarnya digunakan sebagai alat untuk memata-matai, mengontrol dan mendisiplinkan rakyat mulai tingkat nasional sampai ke tingkat RT (Rukun Tetangga).
Kemudian Abidin mundur jauh ke belakang dan menemukan bahwa gardu di Jawa sudah ada sejak sebelum kolonialisme Eropa. Saat itu gardu biasa dijumpai di dekat pintu masuk kediaman bangsawan atau orang terkemuka. Tujuan pembuatan gardu itu untuk menunjukkan kuasa raja sebagai pusat kosmos (jagad besar). Misalnya, sembilan pintu gerbang di Keraton Jogjakarta adalah simbol dari hawa sanga (sembilan lubang nafsu) yang ada pada diri manusia. Selanjutnya, pembentukan citra gardu yang cukup signifikan terjadi pada masa kolonialisme Belanda di jaman Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1805-1811). Daendels memperkenalkan pembagian teritorial dan batas-batas wilayah yang jelas. Dia juga membangun Groote Postweg (Jalan Pos Besar) sepanjang Pulau Jawa dari Anyer sampai Panarukan, yang tiap sembilan kilometer dibangun pos untuk memudahkan lalu-lintas dan pengawasan. Di sinilah muncul istilah gardu (rumah jaga) yang kemungkinan berasal dari bahasa Perancis: garde.

Di jaman pendudukan Jepang, gardu menjadi tempat untuk mengawasi, mendidik dan memobilisasi rakyat (dengan sistem tonarigumi, semacam Rukun Tetangga) agar Jepang bisa menang dalam Perang Asia Timur Raya melawan Sekutu. Dan di masa revolusi pasca kemerdekaan, gardu dijadikan pos pemeriksaan yang cukup ketat oleh milisi-milisi Indonesia untuk mengidentifikasi orang republiken dan non-republiken. Di samping itu, Abidin juga menyinggung tentang pengalaman masyarakat Tionghoa berkaitan dengan gardu. Sistem keamanan dengan ronda lingkungan (pao tjia) sudah diterapkan etnis Tionghoa di pesisir Jawa sejak abad ke 10. Etnis Tionghoa yang sering mendapat pengalaman kekerasan dalam sejarah perkotaan, membuat gardu sebagai upaya mempertahankan diri.
Penyajian sejarah gardu dengan gaya flashback yang tidak runtut (tidak sesuai urutan waktu) a la Abidin Kusno dalam buku ini memang cukup menarik karena kita bisa tahu dari mana penulis mendapatkan greget pertamanya dalam menulis, jadi semacam urutan prioritas saja yang ditekankan oleh penulis. Akan tetapi, bagi mereka yang terbiasa dengan buku sejarah yang runtut urutan waktunya, hal semacam ini mungkin sedikit mengganggu. Kita harus bisa mengurutkannya sendiri dalam pengertian kita, sehingga gambaran utuhnya tetap bisa tertangkap dengan jelas.

Format buku ini yang tidak terlampau tebal (hanya 150-an halaman) cukup menarik karena lebih merangsang minat baca dibandingkan buku-buku sejarah yang tebal (yang harus dibaca dengan serius pula). Uraiannya yang to the point dan tidak bertele-tele membuatnya gampang untuk dicerna, bahkan oleh mereka yang membaca santai sekali pun. Apalagi dengan adanya tampilan foto-foto unik gardu dari masa lalu yang nostalgik sampai yang kontemporer saat ini, bisa sedikit meringankan penat mata ketika membaca. Buku ini bisa dianggap sebagai buku sejarah arsitektur yang sosiologis sekaligus poskolonial, yang ingin pula menguak sejarah peradaban dan budaya kota-kota di Jawa dari sudut pandang sempalan (alternatif, bukan arus besar).
Gardu, si bangunan mungil di pojok-pojok persimpangan jalan, ternyata juga merupakan sosok “besar” yang ikut menyimpan memori kolektif masyarakat perkotaan di Indonesia, khususnya di Jawa. Sejarah gardu tidak berbeda jauh dengan sejarah hidup manusia, selalu punya banyak sisi, majemuk dan plural. Perannya selalu berubah-ubah seturut dengan dinamika kehidupan kota. Biarkan gardu menentukan masa depannya sendiri, entah peran apa lagi yang dipilihnya nanti. Kita hanya bisa menunggu.

*Diadaptasi dari judul Resensi Aslinya: Gardu, Sejak Daendels hingga Reformasi

TINJAUAN KRITIS TENTANG SEJARAH BANTEN

Resensi Buku
Karya: Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat
Djambatan, Jakarta, 1983, 400 halaman
DAERAH-DAERAH Nusantara dan Asia Tenggara umumnya memiliki kronik sejarah lokal dengan berbagai istilah: babad (Jawa), hikayat (Melayu), patturioloang (Makassar), prawatsat (Thai), bangsawatar (Kamboja), quoc-su (Vietnam), dan sebagainya. Penulisan kronik semacam itu umumnya bertujuan mempertinggi wibawa penguasa di mata rakyatnya, atau untuk memperoleh legitimasi bagi dinasti yang baru berkuasa. Fakta sejarah yang disajikan biasanya bercampur dengan dongeng dan mitos, sehingga kebenaran beritanya harus dikonfirmasikan dengan sumber sejarah yang lebih sahih.

Namun tradisi lokal itu tak dapat diabaikan sebagai salah satu sumber sejarah. Pada hakikatnya dongeng dan mitos sengaja ditambahkan untuk mengagungkan tokoh sejarah yang diceritakan. Jadi babad atau hikayat tersebut disusun berdasarkan fakta sejarah yang pernah terjadi. Adalah tugas para ahli untuk memisahkan fakta sejarah dari dongeng dan mitos yang membumbuinya.

Naskah Sajarah Banten, yang disusun tahun 1662-1663 dalam bentuk tembang macapat, merupakan obyek penelitian salah seorang putra terbaik Indonesia, Pangeran Aria Hoesein Djajadiningrat (1886-1960), sebagai disertasi doktor dalam bidang Bahasa dan Sastra Nusantara pada Universitas Leiden tahun 1913. Disertasi yang berjudul Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten itu dipromotori oleh Prof.Dr.Christiaan Snouck Hurgronje. Buku yang kini kita bicarakan adalah terjemahan disertasi itu, dalam rangka kerja sama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV).

Sayang sekali, panitia penerjemah tidak menganggap perlu mengenalkan pengarang kepada pembaca. Padahal generasi sekarang tidak banyak yang mengetahui peranan beliau. Perlu dicatat, buku ini telah menobatkan Hoesein Djajadiningrat sebagai putra Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor, dan sekaligus menyadarkan para ilmuwan Belanda masa itu bahwa kaum bumiputra mampu meraih jenjang tertinggi dunia ilmu pengetahuan asalkan diberi kesempatan.

Prof.Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat, putra bupati Serang, pernah menjadi anggota Raad van Indie (semacam dewan penasehat) di zaman Belanda, serta kepala Shumubu (semacam departemen agama) di zaman Jepang. Dia merupakan anggota Dokuritsu Junbi Cosakai yang menyusun UUD 1945. Di saat wafatnya, dia menjabat ketua Lembaga Kebudayaan Indonesia, di samping tugas guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Karangan-karangan Prof. Hoesein tersebar dalam berbagai bahasa, antara lain kamus Aceh-Belanda dan uraian tentang Islam di Indonesia dalam buku Kenneth W. Morgan, Islam the Straight Path, 1958.

Disertasi Prof. Hoesein terdiri atas empat bab. Pada Bab Pertama diuraikan isi Sajarah Banten. Bab Kedua menganalisis bagian yang tergolong fakta sejarah, dan Bab Ketiga mengupas bagian yang berupa legenda. Dalam Bab Keempat Prof. Hoesein menerangkan ciri pokok penulisan sejarah Jawa.

Gaya penulisan Sajarah Banten mengikuti tradisi asli bangsa Aria, yaitu menceritakan suatu kisah melalui percakapan antara dua orang tertentu. Bentuk semacam ini banyak dijumpai pada karya sastra klasik India dan Persia. Misalnya, cerita Mahabharata yang disusun dalam bentuk percakapan Waisampayana kepada Janamejaya. Kisah 1001 Malam digubah melalui percakapan putri Syahrazad kepada raja Syahriar. Demikian pula Sajarah Banten merupakan percakapan antara dua orang yang bernama Sandimaya dan Sandisastra.

Sajarah Banten yang meliputi 66 pupuh dibagi Prof. Hoesein menjadi dua bagian. Bagian pertama (pupuh 1-16) isinya mirip dengan Babad Tanah Jawi: menceritakan Kerajaan Galuh dan Majapahit, penyebaran Islam oleh Wali Songo, serta tumbuhnya kerajaan-kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram. Bagian kedua (pupuh 17-66) khusus menceritakan Kerajaan Banten pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf, Maulana Muhammad, Sultan Abulmafakhir, dan Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa). Diuraikan juga perluasan pengaruh Banten ke Sumatera bagian selatan, serta hubungan Banten dengan Mataram.

Yang dianalisis oleh Prof. Hoesein hanya bagian kedua Sajarah Banten—bagian yang berhubungan dengan negeri itu. Semua berita diuji kebenarannya dengan menggunakan sumber sejarah yang lain sebagai pembanding. Begitu cermatnya Prof. Hoesein meneliti pupuh demi pupuh, sehingga tidaklah aneh jika gelar doktor tahun 1913 itu beliau raih dengan pujian (cum laude).

Dengan menggunakan catatan Portugis dan Belanda mengenai Banten, serta membandingkannya terhadap tradisi lokal yang lain, Prof. Hoesein merekonstruksikan isi Sajarah Banten yang merupakan fakta sejarah: Penyebaran Islam di Jawa Barat dilakukan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanuddin. Kemudian Hasanuddin menjadi raja Banten yang pertama (1552-1570). Pada masa pemerintahan Maulana Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin, Banten menaklukkan Pakuan Pajajaran. Maulana Yusuf digantikan putranya, Maulana Muhammad (1580-1596), yang gagal menaklukkan Palembang. Penyerangan ke Palembang yang menyebabkan gugurnya Maulana Muhammad bertepatan dengan kedatangan orang Belanda yang pertama kali di pelabuhan Banten pada bulan Juni 1596.

Kemudian Banten diperintah putra Maulana Muhammad, Pangeran Ratu (1596-1651), dengan dibantu oleh Pangeran Arya Ranamanggala. Pada masa inilah Belanda merebut Jaketra (Jakarta) tahun 1619. Usaha Susuhunan Mataram untuk mengusir Belanda dari Jaketra tahun 1628-1629 menemui kegagalan. Pangeran Ratu mengutus duta kepada Sarip Jahed di Mekkah yang mewakili Sultan Rum (Turki) untuk meminta gelar sultan. Maka Pangeran Ratu memperoleh gelar Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir, raja di Jawa yang pertama kali memakai gelar sultan. Pada saat Sajarah Banten disusun tahun 1663, Banten diperinah oleh cucu Pangeran Ratu, Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa) yang sedang gigih melawan Belanda.

Prof. Hoesein juga menguraikan latar belakang isi Sajarah Banten yang tidak merupakan fakta sejarah. Misalnya, silsilah Sunan Gunung Jati dari Nabi Adam dan Nabi Muhammad, yang bertujuan memuliakan salah seorang Wali Songo, serta cerita pernikahan Maulana Hasanuddin dengan putri Pajajaran, yang tentu bertujuan memposisikan Banten sebagai kesinambungan dari kerajaan Hindu itu. Bukankah Demak juga menghubungkan diri dengan Majapahit?

Akan tetapi, tidak semua pendapat Prof. Hoesein tahan uji. Dalam disertasi ini Prof. Hoesein menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan dari Pasai. Identifikasi ini diamini oleh banyak ahli sejarah. Baru pada tahun 1957, sejarawan Belanda R.A. Kern mencoba menyangkal pendapat umum itu. Namun waktu itu argumentasinya belum cukup kuat.

Penyaman Sunan Gunung Jati dengan Faletehan (Fatahillah) terus berlangsung sampai ditemukannya naskah Purwaka Caruban Nagari pada tahun 1970 di Cirebon. Naskah yang ditulis abad ke-17 itu mengemukakan bahwa Faletehan menantu Sunan Gunung Jati. Faletehan atau Fatahillah, panglima Demak yang mendirikan kota Jakarta, berasal dari Pasai, dan nama aslinya Fadillah Khan. Adapun Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon dan salah seorang Wali Songo, merupakan keturunan Pajajaran, dan nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dan adalah Sunan Gunung Jati, bukan Fatahillah, yang merupakan ayah Maulana Hasanuddin dari Banten.

Terlepas dari masalah di atas, disertasi Prof. Hoesein Djajadiningrat ini layak dibaca oleh mereka yang berminat meneliti peninggalan tertulis nenek moyang kita yang sangat banyak itu. Hampir setiap daerah di tanah air kita memiliki catatan yang sejenis dengan Sajarah Banten, yang menanti penggarapan para ahli, guna mengisi kekosongan historiografi bangsa kita.***

Sumber: artikel ini diambil dari; http://irfananshory.blogspot.com/2007/04/resensi-buku-di-majalah-tempo.html