Kamis, 24 Maret 2011

Belajar dari Ki Hadjar

Oleh: BS Mardiatmadja

SANGAT menarik bahwa pada akhir Februari 1933 Ki Hadjar Dewantara sudah menulis tentang teroris dalam majalah Pusara. Waktu itu ia mengajak negara agar sesegera dan setegas mungkin mencegah perbuatan teror.

Tindakan teror ia temukan dalam orang yang merusak milik orang lain dan merasa lebih dicintai pemimpin negara karena terornya kepada orang lain tak dihukum sewajarnya.

Ketika Ki Hadjar mendapat gelar doktor honoris causa (19 Desember 1956), Prof Sardjito memuji keberaniannya melawan Pemerintah Belanda dengan tulisannya, ”Als ik een Nederlander was”: menghadapi perbedaan paham-paham dengan argumentasi, bukan dengan kekerasan.

Tak takut akan teror

Selanjutnya, Sardjito menunjukkan tekad Ki Hadjar untuk tak hanya menulis dan bicara, tetapi juga segera bekerja keras membangun Tamansiswa. Dalam pidato sambutannya, Ki Hadjar menunjukkan tak takut akan teror dan melontarkan kritik keras lagi terhadap pendidikan Belanda. Namun, dia mengatakan juga agar kita tak ikut memperbesar teror atau ketakutan di kalangan rakyat.

Selanjutnya, ia menolak membalas teror dengan teror dengan justru mengatakan, ”Jangan sampai anak-anak Belanda di antara kita tidak mendapat pengajaran dan pendidikan. Kita harus bersama-sama mencari kebenaran.”

Kedua cendekiawan nasionalis ini menolak memencilkan lawan politik dan musuh militer. Mereka malah membuka peluang agar terus-menerus berbagi kemerdekaan dan bersama mencari kebenaran hidup. Betapa mereka itu berbeda dengan sejumlah pembesar negara saat ini: mau membungkam lawan politik atau orang yang berbeda keyakinan atau agama dengan membekukan aliran atau meminggirkan pihak lawan.

Rupanya bagi Sardjito dan Ki Hadjar, pembinaan dan pendidikan dalam masyarakat membuka kesempatan hidup bersama bagi orang yang bermusuhan, beda pendapat, dan lain keyakinan. Mere- ka tidak melawan teror dengan teror, tak mau pula membiarkan teror menghantui rakyat. Mereka melawan teror tidak dengan kekerasan, tetapi dengan argumentasi, dan memfasilitasi rakyat membuka komunikasi. Itu terjadi puluhan tahun silam saat republik ini hampir lahir dan sesudahnya ketika Indonesia masih muda.

Dalam suatu pertemuan di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia belum lama ini, Prof Musdah Mulia mengkritik orang-orang yang katanya atas dasar agama melakukan kekerasan, tak hanya dengan menghancurkan milik orang lain, juga dengan menciptakan aturan dan perda yang memerkosa hak asasi rakyat kecil dan minoritas. Pada kesempatan lain, Komnas HAM prihatin dengan kurangnya usaha pejabat tertentu memfasilitasi komunikasi antar-rakyat, malah memberi contoh bahwa mereka tak mampu berkomunikasi serta takut kritik. Di Wahid Institute, belum lama ini terdengar seruan, cukup banyak pemikir dan pemerhati masyarakat menyesalkan pejabat yang memberi kesan takut kepada perusuh dan malah merangkul orang-orang yang membuat teror bagi orang lain.

Lalu, terciptalah teror-teror baru berupa perda-perda yang membuat orang ngeri karena perbedaan pendapat dan perbedaan keyakinan sudah dikriminalkan. Dalam banyak diskusi dirasakan seakan-akan mubazirlah inisiatif Habibie membuka iklim terbuka di dunia politik kita dan terlupakanlah upaya Gus Dur menciptakan persaudaraan ketika memimpin negara ini.

Ada kesan kuat pemimpin negara dan aparatnya tak jelas-jelas melindungi korban keganasan fisik, malah mengalah terhadap teror mental sekelompok kecil orang dalam suatu republik yang oleh Obama dikatakan sebagai teladan toleransi ketika berkunjung di UI, Depok.

Kehilangan orientasi

Agaknya banyak bagian bangsa ini kehilangan orientasi dalam bernegara dan menyelesaikan perbedaan paham. Banyak hal mau ditutupi dengan koalisi sementara yang sangat beraroma kepentingan politis jangka pendek dan bukannya diarahkan oleh prinsip bernegara yang teguh dan berjangka panjang. Dilupakan bahwa kita punya Pancasila yang deretan sila-silanya bermuara pada keadilan sosial.

Keadilan sosial justru mau menguatkan keadilan legal (yang kerap lumpuh seperti di Indonesia saat ini), keadilan distributif (yang dirusak oleh monopoli dagang dan perekonomian yang orientasinya ke modal besar), dan keadilan komutatif (yang terbukti hanya memenangkan mereka yang kuat secara fisik, ekonomis, ataupun politis). Sebab, dalam keadilan sosial diupayakan agar kelompok atau komunitas kecil(-kecil) tetap terlindungi di tengah keganasan rebutan kuasa dan kejayaan.

Bila diskusi sekitar Agustus 1945 dicermati benar-benar, dialognya tidaklah mengenai agama, tetapi mengenai persaudaraan di antara siapa pun yang mau menjadi bagian republik muda ini.

Sekian banyak perundingan ditujukan untuk merangkul siapa pun yang mau bergabung dengan para inisiator proklamasi kemerdekaan. Tak satu pun kelompok—sekecil apa pun—yang tak difasilitasi untuk bergabung. Di balik rumusan Bhinneka Tunggal Ika tersembunyi bukan sekadar strategi politik dan militer, melainkan juga sikap kemanusiaan mendalam. Itulah sebab dari kehadiran sila ”peri kemanusiaan” dalam rangkaian dengan ”persatuan bangsa Indonesia dan musyawarah”.

Ketika kemudian menjadi menteri yang mengurusi persekolahan demi pencerdasan anak-anak bangsa, Ki Hadjar ikut memastikan sekolah kecil tak hancur karena perubahan politik dan ekonomi. Juga sesudah tak lagi jadi menteri, ia memperjuangkan subsidi bagi sekolah kecil.

Dengan demikian, terdidiklah rakyat dan para pejabat agar berpendirian bahwa dalam negara ini siapa pun disambut dengan tangan terbuka untuk jadi warga negara dan diperlakukan setara dengan orang lain justru kalau kecil dan lemah.

Implikasinya harus tampak dalam UU, peraturan pemerintah, perda, dan penegakan keadilan. Aparat pemerintah tak pernah boleh gentar menghadapi kekerasan kelompok apa pun: membela si kecil yang diancam harta, apalagi nyawanya. Ada sesuatu yang amat diperlukan warga lemah: ketika makanan mahal, rumah rusak, lampu tak tersedia, keamanan rapuh, di situlah warga kecil mengorientasikan hidupnya kepada Tuhan.

Keyakinan atau agama yang tak dapat direduksikan pada upacara dan ajaran (yang memang terasa perlu saat tenang) adalah orientasi dasar manusia paling mendasar. Mukadimah UUD 1945 jelas memahami hal itu, tetapi tidak oleh sejumlah pejabat masa kini. Padahal, justru dalam hal itulah para pendiri negara kita berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh dunia, yang dalam PBB memaklumkan hak-hak asasi manusia.

Seyogianya negara kita tak dibuat terpencil dari pergaulan internasional karena perilaku dan cara kerja segelintir pejabat yang hanya akan punya waktu terbatas dalam mengabdi bangsa.

Ki Hadjar sudah mengajarkan orientasi bangsa yang jelas.

BS Mardiatmadja, Rohaniwan

Sumber: Kompas, Sabtu, 19 Maret 2011

Jumat, 11 Maret 2011

JEJAK SINGKAT ABDUR RAHMAN AWAD BASWEDAN

Harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang orang-orang Arab, 1 Agustus 1934. Abdur Rahman Awad Baswedan memang peranakan Arab, walau lidahnya pekat Jawa, bila berbicara. Dalam artikel itu terpampang foto Baswedan mengenakan blangkon. Karena ulahnya itu, orang-orang Arab -- ketika itu terjadi pertikaian antara kelompok Al Irsyad dan Rabitah Alawiyah -- berang padanya.

Ia mengimbau orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli. ''Di mana saya lahir, di situlah tanah airku,'' kata lelaki itu.
Oktober 1934, setelah pemuatan artikel yang menghebohkan itu, ia mengumpulkan para peranakan Arab di Semarang. Lalu berdirilah Partai Arab Indonesia (PAI), dan Baswedan diangkat sebagai ketua. Sejak itu ia tampil sebagai tokoh politik. Harian Matahari pun ditinggalkannya. Padahal, ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu. ''Demi perjuangan,'' katanya.

Baswedan kemudian mendapat rekan seperjuangan di Surabaya, Liem Koen Hian, peranakan Cina yang sependirian dengannya. Melalui harian Sin Tit Po, Liem menyerang pemerintah Belanda. Liem adalah pemimpin redaksi dan penanggung jawab Sin Tit Po. Baswedan menjadi penjaga pojoknya, dengan nama samaran Abun Awas. Kok bukan Abu Nawas?

Menurut Baswedan, Abu Nawas di Indonesia hanya dikenal sebagai tokoh yang cerdik dan jenaka. Padahal, tokoh itu juga seorang penyair besar. Sedangkan Baswedan menulis pojok, selain jenaka, juga tajam dan menyakitkan Belanda. Makanya, ia senang dengan nama Abun Awas daripada Abu Nawas.

Liem Koen Hian dan Baswedan sama-sama pedas bila menulis. Direkturnya pun menegur, karena ada peringatan dari pemerintah Belanda. Baswedan dan kawan-kawan akhirnya memilih keluar daripada berkompromi dengan Belanda, padahal ia baru setahun di sana.
Ia memang wartawan tangguh. Bekerja bukan untuk gaji. Di Sin Tit Po ia mendapat 75 gulden -- waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden. Toh ia tetap keluar dan memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr. Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Karena itu, Soebagio I.N., dalam buku Jagat Wartawan, memilih Baswedan sebagai salah seorang dari 111 perintis pers nasional yang tangguh dan berdedikasi.

Judul diadaptasi dari sumber informasi DISINI
UPDATE:
TIDAK sempat merampungkan autobiografinya, Abdur Rahman Awad
Baswedan meninggal dunia, dalam usia 78 tahun, pada Maret 1986.
Biografi Beliau kemudian ditulis oleh Suratmin (Yogyakarta) dan ....coming son

Pada tanggal 09. Maret 2011 Seminar tentang Peranan AR. Baswedan dalam Merajut Keindonesiaan dilasanakan di Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dengan Pembicara: Dr. Anhar Gonggong (UI Jakarta), Purnawan Basundoro (Kandidat Doktor di UGM) dan Drs. Hasan Bahanan (UNTAG Surabaya)

Etnis Arab merupakan salah satu golongan yang ikut meramaikan perdagangan dan aktivitas ekonomi di Indonesia selama berabad-abad. Dalam perkembangannya orang-orang Arab mudah beradaptasi dan dihormati golongan pribumi, antara lain karena alasan kesamaan agama. Salah satu tokoh keturunan Arab yang turut ambil bagian dalam proses sejarah politik Indonesia adalah Abdul Rahman (A.R.) Baswedan, yang dilahirkan di Kampung Ampel, Surabaya, 9 September 1908 dan wafat tanggal 16 Maret 1986 di Jakarta.

Karya dan perjuangan A.R Baswedan dalam konteks sejarah di Indonesia yang layak diapresiasi adalah. Pertama, di kalangan internal komunitasnya Baswedan telah berjuang menyatukan komunitas Arab dan agar mereka menjadi bagian integral dari rakyat Indonesia, tanpa sekat seperti yang dilakukan oleh penjajah. Ditegaskannya, Indonesia adalah ibu pertiwi keturunan Arab. Kedua, Baswedan telah ikut berjuang secara politik melalui Partai Arab Indonesia (PAI) yang didirikannya di tahun 1934, maupun jalur pers untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia atas dasar persatuan dan kesatuan. Ketiga, di tingkat nasional, Baswedan telah memainkan peran penting dalam mengobarkan semangat nasionalisme, untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka dan bebas dari penjajahan sebagaimana tercantum dalam garis perjuangan politik PAI. Keempat, di ranah diplomasi, Baswedan ternyata juga turut memperjuangkan pengakuan diplomatik yang pertama bagi Republik Indonesia, yakni dari Kerajaan Mesir di tahun 1947.
Sehubungan dengan 25 tahun wafatnya A.R. Baswedan, maka Yayasan Nabil menggandeng Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, mengadakan Seminar Nasional bertemakan “A.R.Baswedan: Sejarah dan Perannya dalam Merajut ke-Indonesia-an”, agar nilai-nilai kejuangan beliau dapat diaktualisasikan bagi kehidupan kebangsaan dewasa ini. Acara akan diadakan pada hari Rabu, 9 Maret 2011 pukul 09-13.00 WIB di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya Lt 2, Kampus B, Universitas Airlangga Suarabaya. Adapun para pembicara adalah: Dr. Anhar Gonggong (Sejarawan dan Dosen di Universitas Atma Jaya, Jakarta); Drs. Hasan Bahanan (Pemerhati Sejarah Komunitas Arab, Dosen di Universitas Sultan Agung Surabaya) dan Purnawan Basundoro (Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dan Kandidat Doktor dalam Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada). Dari pihak keluarga, direncanakan akan hadir pula Anies Baswedan, Ph.D yang juga adalah Rektor Universitas Paramadina, untuk memberikan sambutan.

Yayasan Nation Building (NABIL) adalah sebuah lembaga sosial yang didirikan bulan September 2006 oleh Drs Eddie Lembong, dengan tujuan utama ikut berperan serta secara aktif dalam Pembangunan Bangsa (Nation Building). Partisipasi tersebut diwujudkan dalam pelbagai kegiatan diantaranya mengembangkan dan menyebarkan doktrin Penyerbukan Silang Antar Budaya (Cross Cultural Fertilization), meningkatkan dan meneguhkan pluralisme dan multikulturalisme, meningkatkan hubungan baik antar etnik serta kegiatan lainnya yang ditujukan untuk pembangunan Bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik dan bermartabat.

Kamis, 17 Februari 2011

Pasar Malam Besar (1) Merayakan Kenangan, Menyeruput Eksotisme

Lima puluh tahun sudah ajang tahunan Pasar Malam Besar di Malieveld, Den Haag, digelar. Inilah festival terbesar budaya Indisch.

MEMASUKI gerbang utama Pasar Malam Tong Tong seperti memasuki mesin waktu berbentuk lorong panjang. Di Malieveld, tak jauh dari Stasiun Sentral Den Haag, Belanda, ratusan orang menikmati sajian tahunan yang berhubungan dengan Belanda dan Indonesia, khususnya pengaruh kolonialisme dan budaya hibrid yang tercipta karenanya. Ini festival budaya Eurasian atau Indo (campuran Eropa-Indonesia) terbesar di dunia. Banyak orang menjulukinya “the grand old lady van de multiculturele festivals”. Festival ini digelar kali pertama pada 1959.

Saya mengunjungi festival ini pada  2008. Sepertinya tak cukup sehari untuk menikmati keseluruhan wahana dan atraksi di sana. Tersedia berbagai atraksi tradisional, mulai dari pencak silat, tarian, hingga angklung. Penyanyi seperti Anneke Gronloh, Daniel Sahuleka, dan Woeter Muller menghibur penonton. Juga Wieteke van Dort alias Tante Lien yang spesialis lagu-lagu Indisch serta ikon indo-rock Andy Tielman. Orang Indonesia yang sudah lama bermukim di Negeri Kincir Angin pun berburu hal-hal yang jarang ditemui di hari-hari biasa. Dodol duren. Empek-empek. Martabak telor. Guling. Sapu lidi. Pedagang barang khas Indonesia juga menjajakan wayang, batik, kebaya, rambutan, sawo, bengkoang,  jamu, sampai kue putu.

Ada empat wahana yang bisa dieksplorasi pengunjung: Indonesie-Paviljoen, Cultuurpaviljoen, Grand Pasar, dan Aloen-Aloen. Saat kali pertama masuk, nuansa Hindia Belanda terasa di Cultuurpaviljoen. Yang paling menarik adalah pameran foto De Njai, para perempuan yang didapuk menjadi pengurus rumah tangga seorang Belanda tanpa pernah diperistri secara sah. Ada pula Kooktheater bagi yang ingin menyaksikan praktik memasak masakan “eksotis” dari  Indonesia. Tak kalah penting, pameran musik di era kolonial, dari gamelan hingga keroncong, lengkap dengan peralatan dengarnya.

Pada bagian Paviliun Indonesia, kita bagai memasuki pasar Tanah Abang Jakarta dan Pasar Seni Sukawati di Bali. Berbagai benda khas Indonesia disajikan. Sedangkan di Grand Pasar ada Tong-Tong Podium yang mementaskan tari-tarian tradisional dan pertunjukan lainnya. Juga berbagai jajanan pasar dan minuman seperti cendol.

Aloen-Aloen agaknya menjadi puncak dari kegiatan ini. Di sana ada Bintang Theater, Tong-Tong Podium, dan Bibit-Theater, yang menjadi pusat seni pertunjukan. Dari musisi muda seperti Tjendol Surprise, musisi impor seperti Balawan & Batuan Etnic Fusion dan Slank, hingga kelompok langganan macam Krontjong Toegoe.

Setiap gang diberi nama tokoh-tokoh masa penjajahan. Di Indonesie-Paviljoen, misalnya, ada Multatuliplein, Raden Adjeng Kartinistraat, Miss Riboetstraat, dan  Ria Waranistraat. Sedangkan di gerbang masuk, nama-nama musisi semacam Bram Aceh, Guus Becker, Fred Belloni, Rogier Boon, dan Noes Cugnet, dipajang sebagai plat jalan.

Festival itu digelar di empat tenda utama superbesar di lahan seluas 22 ribu meter persegi. Tapi rasanya pengunjung masih merasa kesempitan, karena terlalu banyak yang datang dan lalu-lalang. Bagi generasi tua, baik dari Belanda atau Indonesia, yang sempat mengecap zaman kolonial, ajang ini adalah kesempatan merayakan masa lalu. Tak jarang ada reuni kecil-kecilan yang terjadi secara kebetulan. Kebanyakan generasi muda, atau dari negeri lain, menikmatinya sebagai eksotisme budaya Timur. Bagi warga Indonesia, termasuk mahasiswa, inilah ajang reuni re-Belanda sekaligus mencari uang saku tambahan. Dan bagi yang baru ke sana, akan tercengang-cengang sesuai selera dan minatnya.

“Hah, ada empek-empek?”

“Aduh, ada alat garukan, cuma dua perak…”

“Aih, pernik-pernik gelangnya lucu-lucu, satu euro dapat 5 lagi!”

“Keren! Tjendol Surprise dasyat main rock n’ roll, mana pakai bas betot lagi!”

“Busyet, lengkap banget informasi soal nyai!”

Riuh-rendah apresiasi dan antusiasme pengunjung terhadap budaya Indisch peninggalan masa kolonial sungguh mengharukan. Di satu sisi, orang Belanda begitu menghargai, bahkan cenderung mengeksploitasi, segala budaya dan benda masa itu –hal yang nyaris luput dari perhatian pejabat Indonesia di bidang seni budaya. Di sisi lain, tak terlihat rasa penyesalan atau bersalah terhadap tanah bekas jajahannya. Yang ada adalah perayaan. Termasuk “merayakan” nasib ratusan bahkan ribuan nyai yang dipajang di etalase dengan pembahasan yang dingin dan berjarak.

Mengutip Tarja Laine, pakar kajian film dan emosi yang mengajar di Universitas Amsterdam, budaya malu memang tak dikenal di Eropa Barat. Pasar Malam adalah Indonesia masa lalu (dan masa sekarang?) dari sudut pandang bekas kolonialnya. Sebuah ajang yang penting bagi sejarah kedua belah pihak tapi diperlakukan sebagai perayaan kenangan dan melestarikan eksotisme.

Festival ini seolah menahbiskan sebuah pandangan: “Ah, sayang kita tak menjajah negeri itu lagi. Kita sekarang hanya menikmati kenangan dan eksotismenya saja”. Dingin dan berjarak, tapi juga meriah dan penuh canda tawa.

Keluar dari Pasar Malam, sekitar pukul 23.00, bersamaan dengan para pedagang dan panitia ringkes-ringkes untuk menutup toko, saya teringat lagu Arm Den Haag (Den Haag yang Malang) dari Wieteke van Dort.

Den Haag yang malang, kasihan sekali kamu tak bisa melupakan
Suara keroncong dan gamelan.
Di sebuah restoran Indo terdengar pembicaraan dari setiap sudut:
Tempo dulu, tempo dulu, di negeri nan jauh itu.
Ah kasihan, semua sudah berakhir.
Den Haag Den Haag, kaulah sang janda dari Indie.
Kini kita bisa membuat makanan Indisch di rumah.
 
Sambal goreng, sayur lodeh, tahu petis.
Hanya tetangga kita yang tidak begitu suka.
Dan kita membeli tanaman tropis di sini juga.
Seperti, misalnya, kembang sepatu. Mereka menamakannya Hibiscus.
Hibiscus!  Dan Canna, Gerbera, Anggrek.
Tanaman itu berdiri di sini, di ruang keluarga.
Tapi tentu saja berbeda dari sana, dari tempat mereka di alam sana.
 
Dan akhirnya tanaman itu akan layu di dekat pemanas ruangan.
Tahukah Anda? Saya telah memajang lukisan besar di rumah.
Lukisan itu, tentu saja, menggambarkan Indie, ya aduh! Sangat indah! Indah!
Sawah hijau yang indah, pohon kelapa. Dan kerbau dengan kacung kecil dipunggungnya, ya?
Dan di sebelah kanan, sang paman dengan tujuh bebek kecil nan mungil mengikutinya.
Tapi, tahukah Anda? Lukisan itu tak mendapat banyak cahaya di sini.

Bagian kedua ada  DI SINI
penerjemah lirik: Deasy Simanjuntak
[EKKY IMANJAYA/alumnus Universiteit van Amsterdam, bukunya Episode Amsterdam akan terbit]

Sumber: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-208-merayakan-kenangan-menyeruput-eksotisme-.html

Pasar Malam Besar Berawal dari Gerakan Perlawanan (2)

Negeri Kincir Angin mulanya tak menerima mereka sepenuhnya, juga meminta mereka melupakan negeri seberang.

ISTILAH Pasar Malam sudah tak asing di telinga warga Belanda, bahkan sudah masuk dalam kamus Bahasa Belanda Van Dale. Berbicara tentang sejarah Pasar Malam Besar berarti juga bicara tentang budaya Indo. Ras Indo, atau Indies Eurosian secara sederhana berarti anak campuran antara darah Barat dan Timur, Eropa dan Asia. Tak sedikit yang beribu seorang nyai, yang artinya dia lahir sebagai anak di luar perkawinan sah. Ada juga yang keturunan Tentara Kerajaan Hindia-Belanda (KNIL) yang berganti warga negara, seperti ayah The Tielman Brothers. Ada warga Belanda murni yang lahir di Nusantara. Ada orang Indonesia asli yang menikah dengan orang Belanda atau statusnya disamakan dengan orang Eropa oleh pemerintah kolonial kala itu. Merekalah Indische Nederlanders.

Selain di Indonesia, keturunan ini juga hadir di Malaysia (Cristang), Sri Langka (burghers), dan Goa. Juga di Afrika, misalnya di Cape Verde. Komunitas ini pun, dari 1945 hingga pertengahan 1960-an, menyebar ke Belanda. Den Haag menjadi kota tujuan utama, karena merupakan kota administrasi sementara kaum Indo ini adalah ambtenaar. Lainnya menyebar ke berbagai negara seperti Kanada, Australia, dan Amerika Serikat. Sekadar catatan, komunitas Indo terbesar di luar Belanda adalah California dengan jumlah sekitar 35 ribu orang yang hidup di Los Angeles –di antaranya Eddie dan Alex van Halen.

Terminologi “Indis” berasal dari Nederlandsch Indie (Hindia Belanda), negara jajahan Belanda di wilayah Nederlandsch Oost Indie, yang membedakannya dari Nederlandsch West Indie, (Suriname dan Curascao). Kata ini juga acap disamakan dengan Indo.

Berdirinya Pasar Malam Besar pada 1959 diotaki oleh Tjalie Robinson alias Vincent Mahieu, seorang intelektual Indo dan sastrawan terkenal. Pria berdarah Belanda-Inggris-Jawa ini bernama asli Jan Boon. Kala itu, 1950-an, terjadi migrasi besar-besaran komunitas Indo ke Belanda. Di Indonesia, suasana memanas, dan memaksa mereka berhijrah. Namun Negeri Kincir Angin pun tak betul-betul menerima mereka. Kerajaan Belanda mengeluarkan aturan tentang asimilasi dan menghimbau kaum Indies melupakan sejarah negeri seberangnya. Robinson menolak kebijakan itu, dan bersama rekan-rekannya sesama keturunan campuran Indonesia-Belanda, ia membentuk Indies Cultural Circle. Salah satu pencapaiannya adalah terselenggaranya Pasar Malam Besar.

Idenya untuk nostalgia Pasar Malam Gambir yang rutin diadakan di Lapangan Banteng, Batavia. Saat itu, acaranya masih sekadar pertemuan, makan, dan musik, dan pengunjung boleh menyumbangkan dana untuk melestarikan budaya hibrida mereka selama tiga hari. Merekalah yang melestarikan bahasa Pecok (juga dieja sebagai Petjo atau Petjoh) –bahasa yang digunakan kaum Indisch (Indo Eropa) pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, yang awalnya berasal dari Hindia Belanda. Menurut Wikipedia, bahasa campur-campur ini diperkirakan menghilang pada akhir abad ke-21. Bahasa kaum Indo adalah campuran antara bahasa Belanda, Melayu, Betawi, dan Jawa. Dari tata bahasa, ia mengikuti bahasa Melayu, sedangkan dari leksikon, bahasa ini merujuk bahasa Belanda.

Nama Tong Tong diambil dari nama institusi yang didirikan Robinson. Awalnya adalah majalah Onze Brug (Jembatan Kami) yang dia ambil-alih oleh Robinson dari Grote Indische Feestavond, pada 1958  dan diganti dengan Tong Tong. Fokus Onze Brug yang berorientasi pada Papua Nieuw Guinea diganti dengan kisah dan pengalaman warga Indo di Belanda. Belakangan, setelah Robinson wafat pada 1974, majalah ini diambil-alih oleh istrinya, Lilian Ducelle, dan diganti namanya menjadi Moesson, yang masih terbit hingga hari ini. Pada 1955 ia harus meninggalkan Belanda dan mengembara karena aktivitasnya mempertahankan budaya Indies dan karenanya melawan aturan asimilasi Belanda. Tapi ia tetap berjuang. Majalah Tong Tong itulah basis utamanya, yang tersebar ke seluruh negeri, tempat kaum Indo berdiaspora. Kelak, pada 1961, Robinson melanglang buana ke Spanyol dan lantas pada 1963 ke Amerika Serikat untuk mengembangkan dan melestarikan budaya Indies.

Pada 2003 Ratu Beatrix membuka Pasar Malam Besar, dan itu artinya pengakuan resmi kerajaan akan budaya campuran itu. Pada 2007, Pasar Malam Besar dianugerahi Grand Prix 2007 untuk ajang nasional terbaik, dan layak disejajarkan dengan Festival Film Internasional Rotterdam, North Sea Jazz, dan Oerol.

Di awal pendirian, kaum Indies memposisikan diri sebagai korban. Mereka membuat acara untuk sekadar berkumpul. Kini, Pasar Malam Besar hanya sekadar untuk menyeruput eksotisme budaya diaspora dari bekas negara jajahannya.

[EKKY IMANJAYA/alumnus Universiteit van Amsterdam, bukunya Episode Amsterdam akan terbit]

Sumber Link: http://ekkyij.multiply.com/journal/item/171/Pasar_Malam_Besar_2Berawal_dari_Gerakan_Perlawanan