Jumat, 11 Maret 2011

JEJAK SINGKAT ABDUR RAHMAN AWAD BASWEDAN

Harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang orang-orang Arab, 1 Agustus 1934. Abdur Rahman Awad Baswedan memang peranakan Arab, walau lidahnya pekat Jawa, bila berbicara. Dalam artikel itu terpampang foto Baswedan mengenakan blangkon. Karena ulahnya itu, orang-orang Arab -- ketika itu terjadi pertikaian antara kelompok Al Irsyad dan Rabitah Alawiyah -- berang padanya.

Ia mengimbau orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli. ''Di mana saya lahir, di situlah tanah airku,'' kata lelaki itu.
Oktober 1934, setelah pemuatan artikel yang menghebohkan itu, ia mengumpulkan para peranakan Arab di Semarang. Lalu berdirilah Partai Arab Indonesia (PAI), dan Baswedan diangkat sebagai ketua. Sejak itu ia tampil sebagai tokoh politik. Harian Matahari pun ditinggalkannya. Padahal, ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu. ''Demi perjuangan,'' katanya.

Baswedan kemudian mendapat rekan seperjuangan di Surabaya, Liem Koen Hian, peranakan Cina yang sependirian dengannya. Melalui harian Sin Tit Po, Liem menyerang pemerintah Belanda. Liem adalah pemimpin redaksi dan penanggung jawab Sin Tit Po. Baswedan menjadi penjaga pojoknya, dengan nama samaran Abun Awas. Kok bukan Abu Nawas?

Menurut Baswedan, Abu Nawas di Indonesia hanya dikenal sebagai tokoh yang cerdik dan jenaka. Padahal, tokoh itu juga seorang penyair besar. Sedangkan Baswedan menulis pojok, selain jenaka, juga tajam dan menyakitkan Belanda. Makanya, ia senang dengan nama Abun Awas daripada Abu Nawas.

Liem Koen Hian dan Baswedan sama-sama pedas bila menulis. Direkturnya pun menegur, karena ada peringatan dari pemerintah Belanda. Baswedan dan kawan-kawan akhirnya memilih keluar daripada berkompromi dengan Belanda, padahal ia baru setahun di sana.
Ia memang wartawan tangguh. Bekerja bukan untuk gaji. Di Sin Tit Po ia mendapat 75 gulden -- waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden. Toh ia tetap keluar dan memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr. Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Karena itu, Soebagio I.N., dalam buku Jagat Wartawan, memilih Baswedan sebagai salah seorang dari 111 perintis pers nasional yang tangguh dan berdedikasi.

Judul diadaptasi dari sumber informasi DISINI
UPDATE:
TIDAK sempat merampungkan autobiografinya, Abdur Rahman Awad
Baswedan meninggal dunia, dalam usia 78 tahun, pada Maret 1986.
Biografi Beliau kemudian ditulis oleh Suratmin (Yogyakarta) dan ....coming son

Pada tanggal 09. Maret 2011 Seminar tentang Peranan AR. Baswedan dalam Merajut Keindonesiaan dilasanakan di Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dengan Pembicara: Dr. Anhar Gonggong (UI Jakarta), Purnawan Basundoro (Kandidat Doktor di UGM) dan Drs. Hasan Bahanan (UNTAG Surabaya)

Etnis Arab merupakan salah satu golongan yang ikut meramaikan perdagangan dan aktivitas ekonomi di Indonesia selama berabad-abad. Dalam perkembangannya orang-orang Arab mudah beradaptasi dan dihormati golongan pribumi, antara lain karena alasan kesamaan agama. Salah satu tokoh keturunan Arab yang turut ambil bagian dalam proses sejarah politik Indonesia adalah Abdul Rahman (A.R.) Baswedan, yang dilahirkan di Kampung Ampel, Surabaya, 9 September 1908 dan wafat tanggal 16 Maret 1986 di Jakarta.

Karya dan perjuangan A.R Baswedan dalam konteks sejarah di Indonesia yang layak diapresiasi adalah. Pertama, di kalangan internal komunitasnya Baswedan telah berjuang menyatukan komunitas Arab dan agar mereka menjadi bagian integral dari rakyat Indonesia, tanpa sekat seperti yang dilakukan oleh penjajah. Ditegaskannya, Indonesia adalah ibu pertiwi keturunan Arab. Kedua, Baswedan telah ikut berjuang secara politik melalui Partai Arab Indonesia (PAI) yang didirikannya di tahun 1934, maupun jalur pers untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia atas dasar persatuan dan kesatuan. Ketiga, di tingkat nasional, Baswedan telah memainkan peran penting dalam mengobarkan semangat nasionalisme, untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka dan bebas dari penjajahan sebagaimana tercantum dalam garis perjuangan politik PAI. Keempat, di ranah diplomasi, Baswedan ternyata juga turut memperjuangkan pengakuan diplomatik yang pertama bagi Republik Indonesia, yakni dari Kerajaan Mesir di tahun 1947.
Sehubungan dengan 25 tahun wafatnya A.R. Baswedan, maka Yayasan Nabil menggandeng Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, mengadakan Seminar Nasional bertemakan “A.R.Baswedan: Sejarah dan Perannya dalam Merajut ke-Indonesia-an”, agar nilai-nilai kejuangan beliau dapat diaktualisasikan bagi kehidupan kebangsaan dewasa ini. Acara akan diadakan pada hari Rabu, 9 Maret 2011 pukul 09-13.00 WIB di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya Lt 2, Kampus B, Universitas Airlangga Suarabaya. Adapun para pembicara adalah: Dr. Anhar Gonggong (Sejarawan dan Dosen di Universitas Atma Jaya, Jakarta); Drs. Hasan Bahanan (Pemerhati Sejarah Komunitas Arab, Dosen di Universitas Sultan Agung Surabaya) dan Purnawan Basundoro (Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dan Kandidat Doktor dalam Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada). Dari pihak keluarga, direncanakan akan hadir pula Anies Baswedan, Ph.D yang juga adalah Rektor Universitas Paramadina, untuk memberikan sambutan.

Yayasan Nation Building (NABIL) adalah sebuah lembaga sosial yang didirikan bulan September 2006 oleh Drs Eddie Lembong, dengan tujuan utama ikut berperan serta secara aktif dalam Pembangunan Bangsa (Nation Building). Partisipasi tersebut diwujudkan dalam pelbagai kegiatan diantaranya mengembangkan dan menyebarkan doktrin Penyerbukan Silang Antar Budaya (Cross Cultural Fertilization), meningkatkan dan meneguhkan pluralisme dan multikulturalisme, meningkatkan hubungan baik antar etnik serta kegiatan lainnya yang ditujukan untuk pembangunan Bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik dan bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar