Kamis, 17 Februari 2011

Pasar Malam Besar (1) Merayakan Kenangan, Menyeruput Eksotisme

Lima puluh tahun sudah ajang tahunan Pasar Malam Besar di Malieveld, Den Haag, digelar. Inilah festival terbesar budaya Indisch.

MEMASUKI gerbang utama Pasar Malam Tong Tong seperti memasuki mesin waktu berbentuk lorong panjang. Di Malieveld, tak jauh dari Stasiun Sentral Den Haag, Belanda, ratusan orang menikmati sajian tahunan yang berhubungan dengan Belanda dan Indonesia, khususnya pengaruh kolonialisme dan budaya hibrid yang tercipta karenanya. Ini festival budaya Eurasian atau Indo (campuran Eropa-Indonesia) terbesar di dunia. Banyak orang menjulukinya “the grand old lady van de multiculturele festivals”. Festival ini digelar kali pertama pada 1959.

Saya mengunjungi festival ini pada  2008. Sepertinya tak cukup sehari untuk menikmati keseluruhan wahana dan atraksi di sana. Tersedia berbagai atraksi tradisional, mulai dari pencak silat, tarian, hingga angklung. Penyanyi seperti Anneke Gronloh, Daniel Sahuleka, dan Woeter Muller menghibur penonton. Juga Wieteke van Dort alias Tante Lien yang spesialis lagu-lagu Indisch serta ikon indo-rock Andy Tielman. Orang Indonesia yang sudah lama bermukim di Negeri Kincir Angin pun berburu hal-hal yang jarang ditemui di hari-hari biasa. Dodol duren. Empek-empek. Martabak telor. Guling. Sapu lidi. Pedagang barang khas Indonesia juga menjajakan wayang, batik, kebaya, rambutan, sawo, bengkoang,  jamu, sampai kue putu.

Ada empat wahana yang bisa dieksplorasi pengunjung: Indonesie-Paviljoen, Cultuurpaviljoen, Grand Pasar, dan Aloen-Aloen. Saat kali pertama masuk, nuansa Hindia Belanda terasa di Cultuurpaviljoen. Yang paling menarik adalah pameran foto De Njai, para perempuan yang didapuk menjadi pengurus rumah tangga seorang Belanda tanpa pernah diperistri secara sah. Ada pula Kooktheater bagi yang ingin menyaksikan praktik memasak masakan “eksotis” dari  Indonesia. Tak kalah penting, pameran musik di era kolonial, dari gamelan hingga keroncong, lengkap dengan peralatan dengarnya.

Pada bagian Paviliun Indonesia, kita bagai memasuki pasar Tanah Abang Jakarta dan Pasar Seni Sukawati di Bali. Berbagai benda khas Indonesia disajikan. Sedangkan di Grand Pasar ada Tong-Tong Podium yang mementaskan tari-tarian tradisional dan pertunjukan lainnya. Juga berbagai jajanan pasar dan minuman seperti cendol.

Aloen-Aloen agaknya menjadi puncak dari kegiatan ini. Di sana ada Bintang Theater, Tong-Tong Podium, dan Bibit-Theater, yang menjadi pusat seni pertunjukan. Dari musisi muda seperti Tjendol Surprise, musisi impor seperti Balawan & Batuan Etnic Fusion dan Slank, hingga kelompok langganan macam Krontjong Toegoe.

Setiap gang diberi nama tokoh-tokoh masa penjajahan. Di Indonesie-Paviljoen, misalnya, ada Multatuliplein, Raden Adjeng Kartinistraat, Miss Riboetstraat, dan  Ria Waranistraat. Sedangkan di gerbang masuk, nama-nama musisi semacam Bram Aceh, Guus Becker, Fred Belloni, Rogier Boon, dan Noes Cugnet, dipajang sebagai plat jalan.

Festival itu digelar di empat tenda utama superbesar di lahan seluas 22 ribu meter persegi. Tapi rasanya pengunjung masih merasa kesempitan, karena terlalu banyak yang datang dan lalu-lalang. Bagi generasi tua, baik dari Belanda atau Indonesia, yang sempat mengecap zaman kolonial, ajang ini adalah kesempatan merayakan masa lalu. Tak jarang ada reuni kecil-kecilan yang terjadi secara kebetulan. Kebanyakan generasi muda, atau dari negeri lain, menikmatinya sebagai eksotisme budaya Timur. Bagi warga Indonesia, termasuk mahasiswa, inilah ajang reuni re-Belanda sekaligus mencari uang saku tambahan. Dan bagi yang baru ke sana, akan tercengang-cengang sesuai selera dan minatnya.

“Hah, ada empek-empek?”

“Aduh, ada alat garukan, cuma dua perak…”

“Aih, pernik-pernik gelangnya lucu-lucu, satu euro dapat 5 lagi!”

“Keren! Tjendol Surprise dasyat main rock n’ roll, mana pakai bas betot lagi!”

“Busyet, lengkap banget informasi soal nyai!”

Riuh-rendah apresiasi dan antusiasme pengunjung terhadap budaya Indisch peninggalan masa kolonial sungguh mengharukan. Di satu sisi, orang Belanda begitu menghargai, bahkan cenderung mengeksploitasi, segala budaya dan benda masa itu –hal yang nyaris luput dari perhatian pejabat Indonesia di bidang seni budaya. Di sisi lain, tak terlihat rasa penyesalan atau bersalah terhadap tanah bekas jajahannya. Yang ada adalah perayaan. Termasuk “merayakan” nasib ratusan bahkan ribuan nyai yang dipajang di etalase dengan pembahasan yang dingin dan berjarak.

Mengutip Tarja Laine, pakar kajian film dan emosi yang mengajar di Universitas Amsterdam, budaya malu memang tak dikenal di Eropa Barat. Pasar Malam adalah Indonesia masa lalu (dan masa sekarang?) dari sudut pandang bekas kolonialnya. Sebuah ajang yang penting bagi sejarah kedua belah pihak tapi diperlakukan sebagai perayaan kenangan dan melestarikan eksotisme.

Festival ini seolah menahbiskan sebuah pandangan: “Ah, sayang kita tak menjajah negeri itu lagi. Kita sekarang hanya menikmati kenangan dan eksotismenya saja”. Dingin dan berjarak, tapi juga meriah dan penuh canda tawa.

Keluar dari Pasar Malam, sekitar pukul 23.00, bersamaan dengan para pedagang dan panitia ringkes-ringkes untuk menutup toko, saya teringat lagu Arm Den Haag (Den Haag yang Malang) dari Wieteke van Dort.

Den Haag yang malang, kasihan sekali kamu tak bisa melupakan
Suara keroncong dan gamelan.
Di sebuah restoran Indo terdengar pembicaraan dari setiap sudut:
Tempo dulu, tempo dulu, di negeri nan jauh itu.
Ah kasihan, semua sudah berakhir.
Den Haag Den Haag, kaulah sang janda dari Indie.
Kini kita bisa membuat makanan Indisch di rumah.
 
Sambal goreng, sayur lodeh, tahu petis.
Hanya tetangga kita yang tidak begitu suka.
Dan kita membeli tanaman tropis di sini juga.
Seperti, misalnya, kembang sepatu. Mereka menamakannya Hibiscus.
Hibiscus!  Dan Canna, Gerbera, Anggrek.
Tanaman itu berdiri di sini, di ruang keluarga.
Tapi tentu saja berbeda dari sana, dari tempat mereka di alam sana.
 
Dan akhirnya tanaman itu akan layu di dekat pemanas ruangan.
Tahukah Anda? Saya telah memajang lukisan besar di rumah.
Lukisan itu, tentu saja, menggambarkan Indie, ya aduh! Sangat indah! Indah!
Sawah hijau yang indah, pohon kelapa. Dan kerbau dengan kacung kecil dipunggungnya, ya?
Dan di sebelah kanan, sang paman dengan tujuh bebek kecil nan mungil mengikutinya.
Tapi, tahukah Anda? Lukisan itu tak mendapat banyak cahaya di sini.

Bagian kedua ada  DI SINI
penerjemah lirik: Deasy Simanjuntak
[EKKY IMANJAYA/alumnus Universiteit van Amsterdam, bukunya Episode Amsterdam akan terbit]

Sumber: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-208-merayakan-kenangan-menyeruput-eksotisme-.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar