Selasa, 07 Desember 2010

Aktivitas Ekonomi Orang-orang Cina di Kota Surabaya 1870-1930

Oleh: Drs. Suhartoko, M. Hum**

Masuknya modal swasta asing sejak 1870 menandai pelaksanaan perekonomian liberal di Hindia Belanda, khususnya di Jawa. Pengusaha asing menanamkan modalnya di bidang perkebunan yang menuntut lahan yang luas dan penyediaan fasilitas infrastruktur yang memadai seperti komunikasi dan jaringan jalan. Kesempatan kerjapun terbuka bagi berbagai etnis seperti Arab, Cina, Eropa, dan Timur Asing lainnya.

Hal yang sama juga terjadi di Surabaya, sehingga perkembangan kota Surabaya dan perluasan industri perkebunan sebagai dampak liberalisasi ekonomi makin meluas di kota tersebut. Etnis Cina pun tertarik untuk datang ke Surabaya untuk merebut kesempatan ekonomi yang baru tebuka itu. Sudah menjadi salah satu ciri khas etnis Cina dalam memperluas aktivitas ekonominya, yakni orang Cina akan datang ke suatu tempat jika ditemukan aktivitas ekonomi di daerah itu.[1]

Studi tentang masyarakat Cina di Indonesia cukup menarik untuk dihadirkan karena eksistensi etnis ini telah ikut mewarnai perkembangan sejarah ekonomi dan mengisi struktur sosial masyarakat Indonesia. Tinjauan historis terhadap keberadaan etnis Cina menjadi menarik, karena etnis ini dipahami sebagai salah satu etnis yang berperan penting dalam mewarnai perkembangan ekonomi Indonesia. Kedatangan orang-orang Cina yang sudah berlangsung lama tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga berdampak pada bidang lainnya seperti sosial, budaya, politik, dan sebagainya. Peran ekonomi etnis Cina makin penting ketika pemerintah Hindia Belanda memberikan kelonggaran kebijakan bagi etnis Cina untuk menguasai aspek-aspek ekonomi tertentu seperti perdagangan, pemborongan, pajak, dan penyewaan tanah. Selain itu, pembelian tanah dan penyewaan tanah juga dilakukan oleh etnis Cina untuk mendukung perluasan aktivitas ekonominya.

Perhatian terhadap keberadaan dan peran etnis Cina dalam bentuk penelitian di bidang ekonomi, sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa penulis dari dalam dan luar negeri diantaranya Leonard Blusse (1986)[2], Peter Cary (1985)[3], Johanes Widodo (1988)[4], Retno Winarni (1999)[5], dan Harlem Siahaan[6]. Bahkan sebagian studi yang menyangkut lokalitas perkotan dan dinamika sosial ekonomi, keberadaan dan keterlibatan etnis Cina selalu dihadirkan, seperti studi Putri Agus Wijayati (1998).[7]


Ahli sejarah yang meneliti tentang etnis Cina seperti yang disebutkan di atas sebenarnya dengan jelas memperlihatkan bahwa studi mengenai etnis Cina dan dinamika aktivitasnya belum semua terungkap, termasuk menghasilkan temuan yang berbeda.[8] Hal itu dapat dilihat dari lokasi dan jangkauan studi yang tidak merata. Studi itu lebih difokuskan pada daerah pusat-pusat perdagangan seperti Batavia, Surabaya, Semarang, Cirebon, dan Surakarta. Perhatian dan temuan studi itupun sangat beragam mengenai aktivitas dan dinamika perubahan yang mengikutinya. Oleh karena itu, studi lanjutan mengenai etnis itu masih memungkinkan untuk dilakukan. Dalam kerangka itu pula, penelitian mengenai aktivitas ekonomi orang-orang Cina di Surabaya ini dilakukan guna mengisi kekosongan studi yang dilakukan terhadap etnis Cina di Surabaya, khususnya pada periode setelah lahirnya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870.

Penelitian ini juga didasari oleh alasan mendasar yakni tidak adanya studi mengenai etnis Cina di Surabaya periode abad XIX. Studi yang dilakukan mengenai etnis Cina di Surabaya lebih berfokus pada awal abad XX sampai awal kemerdekaan seperti yang dilakukan oleh Anjarwati.[9] Oleh karena itu, penelitian ini makin dirasa perlu untuk dilakukan guna mengisi kekosongan penelitian pada periode abad XIX, sehingga kontinuitas dan pemahaman terhadap keberadaan dan sejarah etnis Cina di Indonesia, khususnya di Surabaya beserta dinamika perubahan yang terjadi dan yang mengikutinya dapat diketahui secara menyeluruh. Etnis Cina di Indonesia sudah lama datang dan terlibat lebih jauh dalam sejarah sosial dan ekonomi, khususnya di kota-kota bandar/dagang, seperti di Surabaya, Cirebon, dan Batavia.[10]

*************II************* 
Secara historis, aktivitas ekonomi orang-orang Cina abad XVIII merupakan kontinuitas dari peranan yang cukup lama. Pada abad XIX, kelompok masyarakat Cina memainkan peranan yang amat penting artinya dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Perdagangan yang berlangsung melalui pelabuhan yang terletak di sekitar pelabuhan Surabaya merupakan sumber pendapatan penting tahunan bagi Kerajaan Jawa, khususnya Mataram. Dalam hal ini, peranan orang Cina dalam memobilisasi sumber ekonomi itu jauh lebih dominan dibanding orang-orang pribumi. Orang-orang Cina berhasil menguasai perdagangan ekspor, seperti beras dan kayu jati. Orang-orang Cina juga melakukan aktivitas yang sama di setiap kota pelabuhan utama dan kota-kota perdagangan yang terletak dipinggir sungai-sungai bersama-sama dengan para pedagang pribumi.

Orang-orang Cina di Indonesia sebagian besar sebagai pedagang selama berabad-abad. Sejak tahun 1619, orang-orang Cina sudah menjadi bagian penting dari perekonomian Batavia dan kota-kota pantai lainnya di Nusantara. Orang-orang Cina di sana aktif sebagai pedagang dan tukang yang terampil, penggiling tebu, dan pengusaha toko.[1] Pada periode yang sama, penduduk Cina juga mendiami daerah-daerah pusat aktivitas dagang yang maju, seperti di kawasan sekitar Madura.[2] Orang-orang Cina pada umumya bekerja di sektor ekonomi.[3] Di pedalaman Jawa, orang-orang Cina menjadi pengrajin, dan pemborong pajak.[4]

Proses migrasi orang-orang Cina ke Indonesia pada masa kolonial mengalami peningkatan  yang pesat. Hal ini memaksa Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menerapkan kuota (pembatasan) bagi para migran. Secara demografis, kedatangan orang-orang Cina di kota-kota besar termasuk Surabaya menimbulkan permasalahan-permasalahan berupa penambahan jumlah penduduk, yang akan meluas ke persoalan lain seperti sosial ekonomi, politik, dan masalah kriminalitas. Hanya saja kedatangan orang-orang Cina ke Nusantara pada tahun 1720, VOC melakukan pembatasan. 

Pembatasan itu menunjukan bahwa VOC juga tidak selamanya bersikap baik pada orang-orang Cina. Pembantaian terhadap orang-orang Cina di Batavia pada tahun 1740-an merupakan bukti bahwa VOC tidak cukup mampu melindungi orang-orang Cina. Pada tahun 1743 kebijakan berubah ketika Gubernur Jenderal  van Imhoff mengeluarkan kebijakan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas pada orang-orang Cina. Dampak kebijakan ini adalah keadaan ekonomi orang-orang Cina mulai membaik memasuki awal abad XIX.[5]

Pada kenyataannya orang-orang Cina lebih bersifat eksklusifisme.[6] Ciri khas ini disebabkan oleh perlakuan pemerintah kolonial yang juga melegalkan dan memposisikan orang-orang Cina berbeda dengan penduduk pribumi, dari perlakuan ekonomi, orang-orang Cina juga sering diprioritaskan untuk menjalakan usaha ekonomi tertentu seperti pemborongan, sehingga pada perkembangan selanjutnya menimbulkan kecemburuan sosial.    

Perkembangan kota Surabaya hingga tahun 1930 salah satunya diwarnai oleh penduduk yang heterogen. Di antara penduduk yang datang ke wilayah itu terdiri dari berbagai etnis, baik yang berasal dari dalam Indonesia maupun dari luar negeri. Ada yang berasal dari Arab, Eropa, Cina, Moor, India, dan Persia. Etnis itu datang ke Surabaya dengan membawa kepentingan secara berbeda-beda. Etnis itu juga kemudian mendirikan perkampungan sebagai tempat tinggalnya di kota Surabaya.
             
Wilayah Surabaya dibagi tiga distrik, yakni distrik Surabaya, Jabakota, dan Gunungkendeng. Afdeling Surabaya dijadikan sebagai pusat pemerintahan, sehingga kondisi itu telah mendorong berbagai etnis lain untuk tinggal di kota Surabaya. Seiring dengan penetapan kota Surabaya sebagai pusat kota, maka Surabaya banyak didatangi oleh para pedagang dari berbagai negara, termasuk etnis dari Arab, Cina, Eropa, dan India, sehingga Surabaya menjadi ramai dan kota semakin berkembang.

Penduduk afdeling Surabaya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1930 jumlah kepadatan itu meningkat dari 193.492 jiwa pada tahun 1920 menjadi 342.439 jiwa pada tahun 1930, sehingga terjadi peningkatan sebesar 79,98 %. Jadi, rata-rata angka pertumbuhan penduduk sebesar 6,99 % per tahunnya terjadi di kota Surabaya seperti ditunjukan pada tabel di atas.[1] Sebagian besar pertambahan pen­duduk disebabkan oleh faktor migrasi yang masuk ke kota Surabaya Jumlah migrasi masuk bagi orang asing diperkirakan mencapai 6,41 kali  jumlah kelahiran, yaitu 11.263 jiwa, sedangkan migrasi keluar hanya separuhnya, yaitu 5.899.[2] Angka-angka ini tentu­nya menjadi lebih besar pada penduduk pribumi.

Peraturan maupun hukum yang berlaku terhadap orang-orang Cina tidak sama dengan yang berlaku terhadap pribumi sebagai bangsa jajahan. Pemerintah Hindia Belanda menempatkan orang-orang Cina pada lapisan sosial dan mendapat perlakukan tertentu. Orang-orang Cina  dengan pribumi diciptakan oleh dalam suatu pelapisan sosial tertentu. Orang-orang Cina di tempatkan dalam daerah yang disebut “pecinan’.[3] Di daerah itu orang-orang Cina diberi kebebasan untuk memelihara adat-istiadat leluhurnya, membangun pusat perdagangan, dan pemerintah kolonial Belanda mengangkat pemuka masyarakatnya yang disebut “kapiten”.[4] Sebagai kaum minoritas, orang-orang Cina pada hakekatnya menginginkan interaksi yang lebih longgar untuk menghilangkan dikotomi  antara pribumi dan nonpribumi. Sebaliknya, bagi orang pribumi senantiasa dihantui oleh ketakutan terjadinya dominasi Cina terhadap kaum pribumi.

Sepanjang pantai pulau Jawa, masyarakat pedagang Cina telah mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang penting.  Di daerah itu telah terjadi sejumlah perkawinan antara orang-orang Cina dengan penduduk pribumi setempat, sehingga pada perkembangannya, orang-orang Cina di Indonesia ada yang disebut dengan Cina totok dan Cina peranakan.  Kebanyakan orang-orang Cina peranakan yang lahir dari perkawinan dengan penduduk pribumi memeluk agama Islam dan belajar bahasa lokal  (Jawa) sebagai media untuk memudahkan komunikasi dalam masyarakatnya.[5] Aktivitas dari kedua golongan itulah yang menjadi perhatian utama penelitian ini.

Posisi Surabaya sebagai kota pedagangan dapat dijelaskan dengan teori pusat pertumbuhan. Teori itu menyatakan bahwa apabila suatu daerah terletak di daerah yang aman, mudah dijangkau, memiliki sumber daya ekonomi yang memadai, dan mempunyai lingkungan dasar yang baik untuk menunjang aktivitas ekonomi, maka daerah itu akan maju dibanding dengan daerah yang sumber dayanya terbatas.[6] Surabaya dalam hal ini memenuhi unsur teori itu karena memiliki daerah hiterland yang memiliki sumber daya ekonomi dan pemerintahan untuk mengendalikan dan menjaga keamanan daerah itu.

Para migran Cina yang ada di Jawa, khususnya di Surabaya berasal dari propinsi Hokian (daerah Cina Selatan).[7] Orang-orang Cina yang dikenal di Indonesia adalah Cina totok dan Cina peranakan. Yusiu Liem mengatakan bahwa Cina totok disebut juga sing-kek (pendatang baru) yaitu orang-orang Cina sebagai migran ke Indonesia.[8]  Adapun yang dimaksud  dengan sebutan peranakan adalah orang-orang Cina yang hidup beberapa generasi di Indonesia. Ada suatu kemungkinan bahwa dikotomi Cina totok dan peranakan itu bukan didasarkan atas asal usul dan tempat kelahiran. Sebenarnya dari segi kultural yang dianut etnis Cina masih dapat dibedakan antara Cina totok dan Cina peranakan. 

Umumnya orang-orang Cina totok masih tetap berpegang pada ikatan budaya leluhurnya serta berorientasi ke budaya yang ada di negerinya (Cina). Pada masyarakat Cina peranakan menganut budaya campuran, banyak yang berpendidikan Barat. Karakteritas struktural pada masyarakat Cina yang berhubungan dengan dikotomi Cina totok dan peranakan. Hal lain juga yang mempermudah identifikasi identitas etnis Cina peranakan dan totok adalah agama yang dianut. Masyarakat Cina totok masih tetap mempertahankan keyakinannya pada kepercayaan tradisionalnya yaitu yang disebut taoisme, kungfusianisme, dan Budhisme. ketiga kepercayaan ini disebut Sam-Kao (tiga agama).[9] Ntuk Cina peranakan sebagian besar sudah berubah agama seperti agama kristen katolik, Islam, dan agama Kristen Protestan.

Sam-Kao (kepercayaan terhadap tiga agama) menjadi dasar keyakinan dan pemikiran masyarakat Cina, terutama terhadap ajaran Konfusius. Ajaran ini sangat berpengaruh dalam perilaku kehidupan masyarakat Cina, baik Cina totok maupun Cina peranakan. Ajaran ini dianggap mampu memberi tekanan pada kohesi sosial, rasa solidaritas sesama orang-orang Cina serta menciptakan pengelompokan secara ekonomi. Keterikatan dari tiga elemen normatif filosofis tersebut dianut oleh masyarakat Cina totok sebagai pedoman dalam perilaku kehidupan. Orang-orang Cina totok mendasarkan pada ajaran kongfusius yang mengutamakan tentang ajaran moralitas, menciptakan suatu tradisi yaitu suatu kesetiaan terhadap keluarga dan negaranya.[10]   

Sikap seperti itu sangat dominan pada orang-orang Cina totok dalam rangka pembentukan clan-clan pengusaha Cina. Ajaran agama Sam-Kao sangat dihayati oleh masyarakat Cina khususnya orang-orang Cina totok, sebab ajaran ini dapat dijadikan sebagai penangkal unsur-unsur budaya baru. Kesetiaan terhadap keluarga atau clan seperti yang telah dianjurkan oleh ajaran konfusius sangat dipatuhi oleh orang-orang Cina totok dalam rangka pengelompokan-pengelompokan ekonomis yang sangat dominan dan untuk mengimbangi persaingan individual.[11]
Cina peranakan lebih berorientasi pada sektor ekonomi di kota. Hal ini berlangsung di Jawa, khususnya Jawa Timur sepanjang abad XIX sampai awal abad XX. Perubahan itu antara lain disebabkan oleh merosotnya peranan politik, ekonomi, dan sosial komunitas Cina di Surabaya.[12] Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Jawa Timur, telah memicu aktivitas ekonomi orang-orang Cina khususnya Cina peranakan tidak lagi menjadi kuli. Orang-orang Cina peranakan ingin meningkatkan derajatnya lebih tinggi dengan melepaskan pandangan filsafat atau kepercayaan nenek moyangnya. Orang-orang Cina peranakan lebih mudah menerima budaya baru berupa peradaban Eropa agar mendapatkan kemungkinan terjadinya perluasan sektor usaha baru.

Orang-orang Cina yang lahir di Jawa dan sudah tidak mengenali tanah leluhurnya, umumny sangat antusias untuk dapat mengembangkan usahanya di bidang pertanian dan perkebunan-perkebunan. Perubahan mobilitas status orang-orang Cina peranakan menjadi warga golongan Timur Asing merupakan kelas-kelas sosial yang didambakan dalam struktur perbedaan warna kulit (segregasi sosial).
 
Kaum imigran Cina yang datang dari daratan Tiongkok kemudian menetap di Jawa dan di Jawa Timur, baik sebagai warga negara asing maupun yang beralih warga negara menjadi warga negara Nederlandsch Oost-Indië. Kaum imigran ini umumnya disebut dengan istilah Cina totok. Generasi Cina yang hidup turun temurun Indonesia dan sebagian telah mengalami asimilasi baik antar etnis Cina (umunya generasi hasil perkawinan ini sudah tidak kenal tanah leluhurnya), maupun yang melakukan asimilasi dengan kaum pribumi. Generasi Cina keturunan ini kemudian disebut Cina peranakan.
 

*******III*****

Sejarah ekonomi Indonesia selama masa sebelum kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara ternyata diwarnai oleh adanya aktivitas ekonomi orang-orang Cina. Orang-orang Cina datang ke Indonesia menggunakan jung mengarungi perairan Nusantara menuju pulau rempah-rempah Maluku pada abad XV dengan maksud untuk berdagang. Dalam kaitan itu, apa yang dikatakan oleh Skinner bahwa kehadiran orang Cina tidak semata-mata disebabkan oleh adanya faktor inter di daerah asalnya berupa perang dan konflik, kelaparan, dan tantangan alam yang tidak cukup memberikan pemenuhan kebutuhan masyarakatnya, tetapi lebih karena adanya peluang ekonomi baru yang terbuka di daerah baru yang ditemukan. Pada konteks yang sama, dapat dipahami bahwa selama periode penelitian (1870-1930), perkembangan kota Surabaya yang muncul sebagai daerah industri dan perdagangan yang ramai ikut menjadi faktor penarik orang-orang Cina untuk hidup menetap, berdagang, dan melakukan aktivitas ekonomi lainnya di Surabaya hingga ke  pelosok pedesaan.

Penerapan UU Agraria pada tahun 1870 yang antara lain hanya membolehkan orang-orang Cina dan Eropa ternyata dimanfaatkan sebagai jembatan untuk masuk ke pedesaan guna mengukuhkan posisi orang-orang Cina sebagai pedagang perantara. Posisi itu juga telah menempatkan orang-orang Cina sebagai pedagang pengumpul dan memainkan peranan penting dalam proses suply barang dagang kepada etnis lainnya.
Perkembangan kota Surabaya sebagai kota industri dan perdagangan bagi bahan baku industri telah memberikan  peluang  bagi berkembangnya  aktivitas  perekonomian  orang-orang  Cina. Oleh karena itu, kondisi sosial ekonomi yang demikian menjadi peluang bagi perkembangan aktivitas ekonomi orang-orang Cina di Surabaya. Aktivitas perdagangan orang-orang Cina di Surabaya mengalami peningkatan seiring dengan adanya perubahan teknologi terutama dalam bidang pertanian. Tumbuhnya pabrik gula dan munculnya ekonomi di luar sektor pertanian  merupakan salah satu instrumen penarik yang dimanfaatkan oleh orang-orang Cina untuk datang dan mengembangkan ekonominya di Surabaya.

Pembangunan jaringan jalan dan jembatan semakin memperlancar mobilitas ekonomi orang-orang Cina.  Orang-orang Cina tampil sebagai pihak yang paling dinamis dan cerdik dalam persaingan. Kondisi itu berlangsung hingga tanda-tanda depresi ekonomi mulai terasa (1927). Kondisi sosial juga sangat mendukung untuk berkembangnya aktivitas orang-orang Cina di Surabaya, antara lain tumbuhnya lapisan-lapisan rnasyarakat yang semakin memperlebar dikotomi kota dan desa. Demikian halnya perkembangan segregasi kota memberi dampak pada lemahnya kesatuan komunitas pribumi, akan tetapi semakin memperkuat komunitas orang-orang Cina dengan aktivitas perekonomiannya. 

Keadaan ini dapat dibuktikan dengan adanya kepercayaan Pemerintah Hindia Belanda yang diberikan kepada orang-orang Cina untuk mengelola sumber-sumber ekonomi yang   sebelumnya  ditangani  oleh pemerintah Hindia Belanda. Para pedagang Cina itu sering melakukan perdagangan ekspor-impor melalui pelabuhan Surabaya. Dalam skala besar orang-orang Cina itu juga mengelola perkebunan-perkebunan tebu dan diperbolehkan oleh pemerintah kolonial untuk mendirikan pabrik gula. Berbagai hak monopoli telah dikuasainya antara lain pajak pasar, pemborong kayu jati, pemborong rumah gadai dan rumah judi serta kongsi dagang yang sifatnya sangat rahasia yaitu kongsi bandar opium.
 
Periode tahun 1920-an menjadi periode penting bagi ekonomi orang-orang Cina. Pada periode ini, orang-orang Cina ikut terlibat dalam politik. Hal ini selain berkaitan dengan posisi orang-orang Cina yang selama berabad-abad terpinggirkan oleh kebijakan politik kolonial, tetapi secara ekonomi orang-orang Cina justru dipercaya untuk mengelola sumber-sumber ekonomi penting. Kedudukan ekonomi orang-orang Cina pada periode 1920-an sampai tahun 1930 dapat dikatakan sudah cukup kuat. 

Hal ini dapat dilihat dari beragamnya jenis aktivitas sosial ekonomi orang-orang Cina. Pendirian sekolah dan penerbitan surat kabar serta masuknya orang-orang Cina ke dalam politik Indonesia menjadi bukti kuatnya posisi ekonomi orang-orang Cina di Hindia Belanda. Posisi itu juga semakin memperkuat usaha dagang Cina dalam bentuk persekutuan Cina di Surabaya yang ditandai dengan munculnya organisasi atau unit-unit usaha yang dikenal dengan istilah kongsi dan yayasan yang mengelola urusan kematian dan perkawinan

[1]Verslag van den toestand der Gemeente Soerabaia Ge­du­ren­de het Jaar 1929 (Weltevreden-Soerabaia: N.V Koninklijke Boek­handel en Drukkerijen G. Koff & Co), hlm. 12.
[2] Ibid. hlm. 13.
[3]Hampir seluruh kota-kota utama atau perdagangan di Indonesia ditemukan kampung cina atau istilah polpulernya Pecinan. Penghuni kampung ini sebagian besar adalah orang-orang Cina. Hariyo P, 1994, Ibid.
[4]istilah kapiten juga dapat ditemukan di dalam elite komunitas Arab. Hal yang sama juga terjadi di dalam komunitas Cina. Hariyo P, 1994, Ibid. Artono, Perkembangan Komunitas Arab di Kota Surabaya, 1900 – 1942, Tesis, (Yogyakarta: Pascasarjana UGM, 2003); Mona Lohanda, The Kapiten Cina of Batavia, 1837–1942: A History of Chinesse Establishment in Colonial Society (Jakarta: Djambatan, 2001)  hlm. 1-3.    
[5]Peter Carey, op, cit., hlm. 15.
[6]Soegijanto Soegijoko, “Growth Centered Development Within the Framework of Prevailing  Development Policies in Indonesia”, in; UNCRD, Grouwth Pole Strategy and Regional Development in Asia (Nagoya: UNCRD, 1976), hlm. 6
[7]W.P. Groenevelt. Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources (Jakarta, C.V. Bhatara 1960), hlm. 7
[8]Yusiu Liem, Prasangka terhadap Etnis Cina (Jakarta, Jambatan, 2000), hlm. 10
[9]Ibid
[10]H.G, Creel, Alam Pikiran Cina (terj. Soejono Soemargono) (Yogyakarta, Tiara Wacana., 1990), hlm. 33
[11]Nani Handoko. T., dkk., Penguasa ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa (Yogyakarta, Kanisius,1996), hlm. 7
[12]Proses defeodaliosasi menandai runtuhnya pengaruh kerajaan-kerajaan tradisional di Jawa dan digantikan oleh dominasi birokrasi pemerintah kolonial serta tumbuhnya struktur perekonomian yang kapitalistik akan berakibat dalam masalah sosial.

[1]Johanes Widodo, Chinesse Setttlement in a Changing City, an Architectural Study of the Urban Chinese Settlemen in Semarang, Indonesia (Belgium: Katholike Universitiet Leuven, 1988).
[2] F.A. Sutjipto, “Kota-kota Pantai di sekitar Selat Madura Abad XVII sampai Medio Abad XIX”, Disertasi (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1983), hlm. 328.
[3]Ibid. hlm. 329
[4]Tengku Lukman Sinar, The Grouth of Chinese Coolie in East Sumatra from Middleman to Economic Magnetic (Kertas kerja seminar sejarah di Leiden 1980).
[5]The Siauw Giap, “The Socio-Economic Role of the Chinese in Indonesia 1820-1940”, dalam Angus Madison dan Gé Prince (ed.), Economic Growth in Indonesia 1820 – 1940 (Dordrecht-Holland: Foris Publication, 1989), hlm. 159.   
[6]Eksklusivisme ini dimaksudkan sebagai faham atau sikap ingin memisahkan diri dari yang lain, yaitu suatu  kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat. Hariyo P., Kultur Cina dan Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), hlm. 10.



[1]G. William Skinner, “The Chinese Minority”, in; Ruth T. MacVey (ed.) Indonesia, (New Haven: Southeast Asia Study, Yale University Press, 1967), hlm. 97 – 117.  
[2]Leonard Blusse, Strange Company, Chinese Settlers, Mestizo Women and the Dutch in VOC Batavia, (Dordrecht-Holland, Riverson USA, Foris Publication, 1986).
[3]Peter Cary, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825 (Jakarta: Pustaka Asset, 1985).
[4]Johanes Widodo, Chinesse Setttlement in a Changing City, an Architectural Study of the Urban Chinese Settlemen in Semarang, Indonesia (Belgium: Katholike Universitiet Leuven, 1988).
[5]Retno Winarni, “Aktivitas Ekonomi Perdagangan Orang-orang Cina di Pantai Utara Timur Jawa pada abad 18 awal abad 19” Tesis S-2 Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1997
[6]Harlem Siahaan, “Kolonisasi dan Kongsi Cina di Kalimantan Barat, Pembentukan dan Perkembangannya, 1772 – 1854”, Tesis, (Yogyakarta: Pascasarjana UGM, 1994).
[7]Putri Agus Wijayati,  “Tanah Dan Sistem Perpajakan Kolonial di Karesidenan Besuki awal abad 19”, Tesis S-2 Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1998.
[8]Penelitian Harlem Siahaan tentang aktivitas etnis Cina di Kalimantan Barat sangat jauh berbeda dengan aktivitas etnis Cina di tempat lain seperti Batavia dan Semarang. Di Kalimantan Barat orang-orang Cina sebagian besar berprofesi sebagai petani dan pengolah tanah, sedangkan di Batavia dan Semarang kebanyakan orang-orang Cina berprofesi sebagai pedagang. Harlem Siahaan, op. cit., hlm. 7; Leonard Blusse, op. cit., hlm. 12. 
[9]Andjarwati Noordjanah, “Komunitas Tionghoa di Surabaya dalam Tiga Jaman, 1900 – 1946”, Skripsi (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 1998).  
[10]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar