Minggu, 05 Desember 2010

Resensi Buku: Mangan Ora Mangan Sing Penting Kumpul*

Karya:  Umar Kayam (Budayawan UGM, Pemeran Sukarno dalam Film Janur Kuning)

 Ketika hendak pulang dari Amerika Serikat ke Jakarta, Umar Kayam menaiki sebuah pesawat milik maskapai asing, dengan lama perjalanan sekitar 15 jam. Suatu saat ketika jam makan telah datang, beliau ditawari masakan sejenis ayam goreng ala Amerika. Tentunya hal tersebut sangat familiar bagi beliau yang sering ke Amerika.

Namun, yang bikin menariknya, dalam paket ayam goreng tersebut ada beberapa jenis saos yang bisa dipilih. Antara lain, saos California, saos Cina, saos Rusia serta saos-saos berkelas atas lainnya. Dan yang terakhir terdapat saos ala Indonesia. Lha dalah, ternyata saos-saos macam yang dijual di Pulau Bali, atau saos-saos yang lumrah ditemui di Indonesia, dengan rasa yang mungkin tidak jauh berbeda. Inilah yang bikin kaget Umar Kayam. “Bangga juga rasanya saos Indonesia dapat Go Internasional” Kelakarnya.

Inilah salah satu ulasan beliau dalam catatan-catatan “Mangan ora Mangan sing penting Kumpul”, sebagian besar menceritakan pengalaman-pengalam annya dalam menapaki kehidupan di hari tuanya. Mayoritas menceritakan kehidupan pemerintahan rumah tangganya di dua negara, Yogyakarta dan Jakarta. Tokoh utamanya adalah beliau sendiri serta ajudannya yang setia, Mr. Rigen. Seorang pembantu rumah tangga yang dianggap sebagai keluarganya sendiri.

Sekilas buku ini terkesan sia-sia untuk ditulis, namun beliau menyisipkan berbagai petuah-petuah kehidupan dalam ranah adigang, adigung tata cara jawa.
Seperti bagaimana tepa sliro dengan tetangga sebelah, pedagang langganan serta pembantu rumah tangga sendiri.

Salah satu cerita yang sering muncul adalah ketika Pak Joyo, seorang penjual penggeng ayam –semacam ayam opor- menawari Pak Umar Kayam serta Mr. Rigen membeli. Kadang obrolan-obrolan yang ditulis mengesankan wong cilik yang sedang berbicara masalah negara dalam sudut pandang mereka. Sudut pandang masyarakat strata bawah.

Pak Mboten mundhut?”
Mboten, sedang defisit keuangan..”
Alah, defisit nopo niku pak? Jajanan teseh kathah niki… enten sate, penggeng ayam lan liya-liyane…
Nah, niku. Uang saya sering panjenengan grogoti agar membeli Penggeng Ayam jadi kurang itu yang namanya defisit. Bolong!”
Nek bolong mbok ditambal, ngutang mawon geh”

Begitulah beberapa dialog yang saya sarikan dengan kata-kata saya sendiri, tak jauh beda dengan yang aslinya. Buku tersebut hampir 80% berisikan kosakata-kosakata bahasa jawa yang mencerminkan proses keluhuran penghayatan budaya.

Suatu kali, seorang teman. Seorang anak Sunda yang lama tinggal di Garut, saya tawari untuk membaca buku ini. Dia hanya tertawa kecil, menyatakan bahwa kalau buku ini berbahasa Indonesia maka akan dibacanya. Namun, apabila anda setelah membaca buku ini dan diberi saran untuk menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Saya yakin anda akan menolak, karena di dalam kosakata-kosakata bahasa Jawa tersebut terdapat esensi-esensi cerita. Intisari sesungguhnya cerita tersebut. Demikianlah ulasan terhadap sebuah buku yang ditulis budayawan Umar Kayam

*Subandi Rianto, Penulis adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

1 komentar:

  1. terima kasih resensinya, semoga bisa dibaca oleh banyak orang di seluruh dunia.

    BalasHapus