Minggu, 05 Desember 2010

Memaknai Penulis(an) Sejarah*

Oleh: M Faishal Aminuddin (Alumni Prodi Ilmu Sejarah Unair)
Berita “penyerbuan” elemen anti komunis ke gedung Graha Pena beberapa waktu lalu bisa dimengerti. Namun yang mengagetkan adalah insiden pembakaran buku yang dilakukan oleh kelompok tersebut.

Dalam ruang berdemokrasi yang memberikan jaminan atas kebebasan berpendapat, tulisan Dahlan Iskan tentang Soemarsono, salah satu tokoh Madiun Affair 1948, sah-sah saja. Dahlan hanya mencatat apa yang dia dengar dari sosok kontroversial yang masih hidup tersebut. Dalam kaidah jurnalistik, tidak ada yang salah karena model penulisan biografis semacam itu tidak perlu terlalu jauh di klarifikasi. Tetapi sangat terbuka diperdebatkan.

Demikian juga misalnya, hak professor sejarah Aminuddin Kasdi yang ikut dalam demonstrasi tersebut. Dia menulis buku “G30S/PKI, Bedah Caesar Dewan Revolusi Indonesia” yang tentu saja mewakili perspektif anti-komunis.

Yang menjadi tanda tanya besar adalah keterlibatan sejarawan kita dalam pembakaran buku Soemarsono “Revolusi Agustus” tersebut. Sebagai sejarawan, dia harus menjaga sikap obyektivitas. Kalaupun trauma pribadinya tidak mampu menahan desakan subyektif dari dalam dirinya, minimal kelompoknya tidak membakar buku.

Menilik tulisan berseri Dahlan tentang Soemarsono, sebagai orang yang pernah belajar sejarah, saya merasa itu sangat menantang. Tulisan yang mengalir dan membuka cakrawala baru bagi perdebatan fakta sejarah. Soemarsono ditampilkan tanpa aib, sangat heroik dan menjadi saksi kunci dalam peristiwa 10 November.

Tentu, tulisan Dahlan jauh dan bukanlah tulisan sejarah (historiografi). Dia hanya menyajikan versi lain sejarah lisan. Sama halnya dengan buku pledoi atau memoar Soemarsono yang mengungkap kebenaran sejarahnya sebagai pribadi. Seharusnya, kemunculan fakta-fakta sejarah bisa menambah kritik dan membuka peluang bagi sejarawan untuk menelusuri dengan lebih dalam dan terang apa yang menjadi gelap di masa lalu.

Sejarah adalah klaim kebenaran. Sejarah juga dikatakan ditulis oleh para pemenang. Tulisan Dahlan dan memoir Soemarsono baru menemukan momentum saat ini. Fenomena yang hampir sama terjadi ketika Orde Baru dan para pionirnya menuliskan narasi sejarah mereka sendiri. Yang militeristik, heroism yang dipaksakan, communist phobia dan banyak manipulasi fakta disana-sini.

Demokrasi sekali lagi memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk menegaskan perbedaan. Mengapa kita masih bertahan hidup dalam masa lalu? Sementara masa sekarang sudah berbeda dan kita memang harus membuatnya berbeda dan menjadi lebih baik tentunya.

Jika melihat dari sisi sejarah, pencitraan Soemarsono sebagai tokoh kunci yang menggerakkan peristiwa Surabaya di bulan November 1945 tampak terlalu berlebihan. Kita perlu bertanya, seberapa besar anggota Pemuda Republik Indonesia (PRI) waktu itu? Bagaimana dengan peranan resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh NU melalui figur K.H Hasyim Asy’ari?

Demikian juga ketika kita bertanya mengenai “tuduhan” Aminuddin Kasdi pada Soemarsono bahwa dia adalah sosok jahat yang membunuh para kiai, pembantaian sumur Soco, kematian Gubernur Suryo, meninggalknya penghuni Pesantren Modern Takran (www.hidayatullah.com). Senyampang orangnya masih hidup, mengapa itu tidak ditanyakan pada Soemarsono saja?.

Pihak redaksi Jawa Pos yang diwakili oleh Pimred Leak Koestiya, sudah memberikan jawaban yang semestinya “sejarah, meski dibelokkan atau dibengkokkan, ia akan tetap bermuara dalam kebenarannya sendiri” (Jawa Pos 3 september 2009). Tapi kadangkali, ada pemahaman lain bahwa kebenaran sejarah dan kehadirannya di ruang publik harus diperebutkan.

Siapa yang Bijak?

Profesor Aminuddin Kasdi, pasti meresapi betul kalimat filsuf-sejarawan Spanyol George Santayana “Siapa yang tidak pernah belajar dari sejarah, maka dia akan melakukan kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya”. “kita jangan mau digigit ular untuk kedua kali” demikian bunyi salah satu protes ajakan yang disampaikan kelompok demonstran anti-komunis.

Semangat untuk memperbaiki keadaan, dengan belajar sejarah harus dilakukan dengan dewasa. Lepaskan segala macam dendam kesumat, perangi kata-kalimat dalam kesaksian atau narasi sejarah yang dibuat oleh orang yang tidak sepaham dengan kita. Tapi harap dicatat baik-baik, perangilah dengan elegan, dengan buku sejarah yang bemutu. Kesaksian yang benar dan perkuatlah dengan bukti-bukti.

Jika perang dipahami sebagai sebuah pesan emosional, maka tidak ada artinya keberadaan kita sebagai manusia. Kita akan dengan sangat tega membiarkan tetangga kita, sanak saudara kita mati kelaparan atau hidup terlunta-lunta di negeri orang ketika dia mengalami stigma sebagai eks komunis.

Protes memang harus ditradisikan. Demonstrasi juga mesti dilakukan dalam koridor kebijaksanaan. Saya sangat mendukung apa yang dilakukan oleh eksponen anti-komunis terhadap tulisan mengenai Soemarsono. Tapi langkah itu menjadi cacat dengan insiden pembakaran buku. Itu cara yang dilakukan oleh penakluk barbar. Orang bijak tidak pernah membakar buku!
Sumber: http://www.facebook.com/topic.php?uid=76117497419&topic=9111 atau Klik Di sini
*Diadaptasi dari Judul Asli Orang Bijak Tak Bakar Buku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar