Selasa, 21 Desember 2010

Potongan Sejarah Sumenep di bawah Pemerintahan Panembahan Notokusumo I (1762 – 1811) *

Oleh Nurbaity[1]
Perhatikanlah sejarah, untuk hari esokmu (Ahmad Mansur Suryanegara)
Madura dalam Kancah Perdagangan Nusantara
Perdagangan merupakan suatu hal yang amat penting bagi Asia Tenggara. Perdagangan, karena sifatnya yang khas, dapat dilakukan melalui lalu lintas laut dan mencakup jalur maritim antara Cina (pasaran internasional yang terbesar sepanjang catatan sejarah) dan pusat-pusat permukiman penduduk seperti India, Timur Tengah dan Eropa. Wilayah Asia Tenggara, yang dikenal sebagai wilayah bawah angin ini,  tentunya selalu terpengaruh oleh makin cepatnya perdagangan maritim internasional[2].

Pembicaraan mengenai perdagangan ini mencakup rentang waktu antara abad ke-14 hingga abad ke-17. Ada dua alasan untuk menyebut bahwa periode ini merupakan periode masa perdagangan. Pertama, “ledakan pasar pada abad ke-16 yang terus-menerus”, yang tidak hanya berpengaruh terhadap Eropa dan Laut Tengah sebelah timur, tetapi juga Cina, Jepang dan mungkin India dan merupakan masa ketika Asia Tenggara memainkan peranan yang sangat penting. Menurut Fernand Braudel, barang yang paling penting dalam perdagangan jarak jauh (di luar emas dan perak) ini mengandung makna yang besar bagi terbentuknya kapitalisme saudagar-lada, cengkeh dan pala yang berasal dari Asia Tenggara[3]. Kedua, selama periode ini para saudagar, penguasa, kota dan negara menempati bagian sentral dalam perdagangan yang berasal dari dan melalui wilayah mereka[4].

Jawa merupakan salah satu wilayah yang dilalui oleh perdagangan internasional tersebut dan memiliki peranan yang penting dalam perdagangan. Hal itu ditandai dengan perkapalan Jawa yang berkembang khususnya pada abad ke-15 M[5]. Berita dari orang Portugis pertama menceritakan bahwa orang Jawa sekitar tahun 1500 mendominasi perdagangan di perairan Indonesia, termasuk Melaka di sebelah barat dan Maluku di sebelah Timur[6].

Perdagangan ini menyebabkan banyak perubahan di Jawa[7]. Perdagangan ini menyeret kerajaan besar di Jawa seperti Majapahit untuk menaklukkan daerah-daerah pesisir untuk memperluas hegemoni perdagangan atas nama kesatuan Jawa[8]. Tak terkecuali adalah Madura sebagai daerah pesisir yang dari tahun 1100 sampai 1700 berturut-turut berada di bawah supremasi kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur dan negara-negara Islam pesisir yaitu Demak dan Surabaya, serta kerajaan Mataram di Jawa Tengah[9].

Dari sisi ekonomi, pulau Madura yang tandus sebenarnya tidak terlalu penting artinya bagi kerajaan Hindu dan negara-negara pesisir Islam. Namun, bagi Majapahit yang memiliki bandar-bandar perdagangan hampir di seluruh wilayah nusantara, dalam usaha mengamankan rute-rute pelayaran di wilayahnya, penguasaan atas pulau Madura penting sekali artinya.
Terkait dengan islamisasi, selama abad ke-16 terjadi suatu transformasi luar biasa di bidang budaya di kota-kota pelabuhan di Jawa, yang pada saat itu merupakan pusat-pusat kekayaan dan ide-ide yang menarik minat orang-orang Jawa yang memiliki bakat.

Penyebaran agama Islam dan pertumbuhan perdagangan dalam abad ke-16 terjadi bersamaan. Di sepanjang pesisir, bermukim pedagang-pedagang Islam yang di antaranya adalah orang Melayu. Sebelum kerajaan Majapahit runtuh, Madura sudah berkenalan dengan agama Islam[10]. Pulau ini mengadakan hubungan yang erat dengan Gresik dan Surabaya, tempat para pemimpin Islam yaitu Sunan Giri dan Ampel bermukim[11]. Usaha pengislaman mengalami peningkatan yang pesat setelah Madura pada paruh kedua abad ke-16 menjadi daerah yang memperoleh pengaruh dari kantong perdagangan Surabaya.

Sumenep adalah salah satu kabupaten di pulau Madura. Sumenep selalu mempunyai penguasa-penguasanya sendiri. Secara bertahap, para penguasa ini menjadi para bupati selain juga menjadi penguasa kerajaan. Pada tahun 1624, Sultan Agung dari Mataram menaklukan pula Madura dan tiga daerah kabupatennya. Penaklukan yang dipaksakan oleh Sultan Agung tidak diterima. Pemimpin-pemimpin utama pemberontakan adalah para pangeran Madura yang mau memperluas pengaruhnya ke dua tepi Selat Madura, dengan merangkul oligarki-oligarki niaga di pelabuhan-pelabuhan besar Jawa timur yaitu Surabaya, Pasuruan dan Giri yang bangkit kembali untuk terakhir kalinya[12].

Ketika VOC masuk ke wilayah nusantara, VOC sebagai organisasi perdagangan mendapat keuntungan dari pemberontakan yang dilakukan oleh Madura di daerah sekitar pesisir utara Jawa. Untuk menghancurkan perlawanan yang dibuat oleh Madura, VOC meminta beberapa hak monopoli dari Mataram sehingga beberapa mata dagang yang dikuasai oleh Mataram dapat diambil alih. Selain itu, VOC berhak atas segala urusan mengenai pelabuhan-pelabuhan di sekitar pesisir utara Jawa.[13]

Dengan demikian, VOC mulai berminat atas keberadaan Madura dan Mataram karena kericuhan yang ada dalam kerajaan Mataram sendiri yang menyebabkan VOC mengeluarkan pernyataan bersama dengan Mataram. Pernyataan ini dibuat untuk memenuhi keinginan Madura timur agar berada di bawah naungan VOC. Pada tahun 1705 perjanjian tersebut disetujui dengan isi sebagai berikut:
“Dengan ini Yang Mulia secara hukum melepaskan dan menyerahkan ke dalam   perlindungan Kompeni daerah Sumenep dan Pamekasan yang berada di Madura timur.”[14]
Para penguasa Madura kebanyakan para Bupati, tetapi karena mereka sangat penting bagi Belanda dalam perlawanan terhadap Jawa mereka diperlakukan sebagai monarki dan menerima status sosial yang lain. Di Sumenep, sejarah tentang gelar biasanya diawali dengan Raden atau Pangeran, tetapi ada juga yang lebih tinggi dari itu.
Dalam penulisan ini akan dibahas mengenai kerajaan Sumenep yang merupakan salah satu kerajaan Islam yang besar di Madura di bawah pemerintahan Panembahan Notokusumo I (1762—1811).

Gambaran Umum Pulau Madura
1. Keadaan Geografis
Pulau Madura[15] terletak di timur laut pulau Jawa, kurang lebih 7 derajat sebelah selatan dari khatulistiwa di antara 112 derajat dan 114 derajat bujur timur. Pulau itu dipisahkan dari Jawa oleh Selat Madura, yang menghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali. Moncongnya di barat laut agak dangkal dan lebarnya tidak lebih dari beberapa mil laut.
Secara geologis Madura merupakan kelanjutan dari pegunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan di sebelah selatan Lembah Solo. Bukit-bukit kapur di Madura merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar, dan lebih bulat daripada bukit-bukit di Jawa dan letaknya pun lebih menyatu. Puncak tertinggi di bagian timur Madura adalah Gunung Gadu (341 m), Gunung Merangan (398 m), dan Gunung Tembuku (471 m).

Iklim  di Madura bercirikan dua musim, musim barat atau musim hujan selama bulan Oktober sampai bulan April, dan musim timur atau musim kemarau. Komposisi tanah dan curah hujan yang tidak sama—di  lereng-lereng yang tinggi letaknya justru kebanyakan, sedangkan di lereng-lereng yang rendah malahan kekurangan—membuat Madura kurang memiliki tanah yang subur. Hanya di daratan aluvial dan di tanah liat bercampur kapur di dataran tinggi yang terdapat cukup curah hujan saja persawahan yang permanen atau sementara dimungkinkan[16]. Sebagian besar tanah yang diolah tediri dari tegalan yang terutama menghasilkan jagung dan singkong. Hanya selama musim hujan saja lahan-lahan kering ini dapat ditanami. Di selatan, lahan-lahan yang sama sekali tidak subur digunakan untuk pembuatan garam. Sudah sejak lama Madura terkenal sebagai daerah penghasil garam yang penting.

2. Demografi
Mayoritas masyarakat Madura merupakan masyarakat agraris. Kurang lebih 90% penduduknya hidup terpencar-pencar di pedalaman, di desa-desa, di dukuh-dukuh, dan kelompok-kelompok perumahan petani. Pulau ini memiliki empat kota, dari barat ke timur berturut-turut yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Kota-kota tersebut adalah sekaligus ibukota kabupaten yang membagi daerah itu dengan menggunakan nama yang sama. Kota-kota itu berada di tengah-tengah daerah yang subur dan letaknya berdekatan dengan pantai. Pada zaman yang lampau, di tempat-tempat ini terdapat keraton yang merupakan kota kediaman raja-raja. Jauh sebelum orang Belanda tiba di kepulauan Indonesia, tempat kediaman raja-raja itu telah tumbuh menjadi kota-kota kecil, yang disamping tak terhitung banyaknya pegawai dan pelayan istana, juga dihuni oleh ratusan tukang, para pemilik toko kecil, dan para pedagang. Kota keraton ini merupakan pusat kebudayaan, ekonomi, dan pemerintahan kerajaan Madura[17].

3. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk Madura adalah bertani dan beternak. Akan tetapi hasil pertanian tidak dapat menghidupi seluruh penduduknya sehingga sebagian besar penduduknya bekerja sebagai pedagang, nelayan dan pembuat garam. Kurangnya kesuburan tanah dan pengairan yang tidak memadai, menyebabkan banyak penduduk Madura yang bermigrasi ke pulau Jawa dengan alasan utama untuk mencari nafkah. Proses perpindahan ini melaui bermacam saluran seperti perdagangan, pelayaran, penangkapan ikan dan ekspedisi militer. Alasan lain penduduk Madura bermigrasi, menurut J.Van Goor yang dikutip oleh Sutjipto, adalah untuk menghindarkan diri dari wajib militer, pemerasan atau tekanan dari bupati dan dari perlakuan hukum yang semena-mena. Karena itu, sampai saat ini banyak dijumpai orang Madura di daerah Jawa Timur.

Gambaran Umum Kota Sumenep    
Sumenep (bahasa Madura: Songènèb) adalah sebuah kabupaten di propinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.093.45 km² dan populasi ±1 juta jiwa. Ibu kotanya ialah Kota Sumenep. Terletak di ujung timur pulau Madura, Sumenep memiliki sebuah keraton keluarga kerajaan Madura, Cakraningrat. Kabupaten Sumenep selain terdiri dari wilayah daratan juga terdiri dari kepulauan yang berjumlah 126 pulau. Pulau yang paling utara adalah Pulau Karamian yang terletak di Kecamatan Masalembu dan pulau yang paling Timur adalah Pulau Sakala. Sumenep memiliki batas-batas sebagai berikut: sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan, sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa / Laut Flores.

Peta Pulau Madura beserta empat kota kabupatennya
Sumber: “Ukiran Madura di Pemakaman Tua”. Kompas, Minggu 16 April   2006.

Keraton Sumenep, tanpa memperhitungkan bangunan-bangunan tambahan, kandang-kandang dan ruang-ruang yang lain, memiliki 133 rumah dan pendopo, yang selain dari raja, para keluarganya yang terdekat dan para gundiknya, juga merupakan tempat kediaman dari hampir dari semua para bangsawan dan para pegawai tinggi istana. Di luar tembok keraton, terdapat beberapa kampung dengan kehidupan penduduknya yang  langsung atau tidak langsung tergantung pada istana. “Orang-orang timur asing”, seperti orang Cina, Arab, dan Melayu bertempat tinggal di lingkungan yang terpisah dengan pemimpin mereka sendiri. Dalam jarak yang dekat, kota itu dikelilingi oleh sejumlah desa yang termasuk dalam daerah kota.

Proses Islamisasi di Madura
Masuk dan berkembangnya Islam di Madura tidak bisa dilepaskan dari peranan penyebaran agama Islam di Jawa Timur,  yakni di Gresik dan Surabaya. Kota-kota tersebut dikenal sebagai kota pantai yang ramai kegiatan perdagangannya. Para pedagang dari kota-kota pantai itulah yang menyebarkan Islam sampai ke kota-kota lainnya di sepanjang pantai utara Jawa Timur seperti Tuban, Sedayu, Pasuruan, Besuki, Probolinggo bahkan menyeberang ke Madura yaitu Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Persebaran agama Islam di Madura, selain melalui jalur perdagangan, juga tidak terlepas dari peranan para wali yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri yang mengutus murid-muridnya ke Madura.[18]

Islam pertama-tama disebarkan di pantai selatan kota Sumenep pada sekitar abad ke-15 M. Keyakinan akan kepercayaan baru tersebut mulanya disebarkan di daerah pesisir pantai yang merupakan tempat perdagangan. Sumenep merupakan kawasan perdagangan yang paling ramai di Madura. Oleh karena itu, di sini Islam tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan daerah Madura bagian barat dan Pamekasan.[19]

Selain melalui perdagangan, saluran Islamisasi di Sumenep juga melalui jalur santri, pondok pesantren, pengaruh penguasa setempat dan dengan jalan perkawinan baik perkawinan dengan penguasa lokal, atau dengan perkawinan dengan keluarga pemuka agama. Pada pemerintahan Joko Tole ada seorang penyiar agama Islam bernama Sunan Padusan yang menyebarkan agama Islam dan mendirikan pondok pesantren di Parsanga.[20]

Banyak penduduk sekitar pesantren yang tertarik dengan cara berdakwah dan pendekatan Sunan Padusan[21] akhirnya memeluk agama Islam[22]. Keberadaan Sunan Padusan dan pondok pesantrennya yang terkenal sampai di pusat keraton (Banasareh) membuat Joko Tole, penguasa Sumenep pada masa itu, tertarik dengan agama Islam. Kemudian Sunan Padusan berhasil mengislamkan Joko Tole dan menjadi menantunya, hal ini menyebabkan semakin banyak rakyat Sumenep yang menganut agama Islam, agama yang dianut oleh raja mereka.

Pada masa pemerintahan Joko Tole inilah agama Islam mulai masuk ke Sumenep. Pada masa ini juga diberitakan adanya kontak pertama Sumenep dengan bangsa Cina.[23] Tetapi tidak ada bukti-bukti tertulis atau arkeologis yang mendukung keterangan tentang kontak dengan bangsa Cina ini.

Pada abad ke-17, di Sumenep terdapat seorang tokoh persebaran agama Islam yang lain bernama Pangeran Katandur[24]. Keturunannya banyak yang berhasil mengislamkan penduduk Madura. Salah satu keturunannya adalah Bendoro Saud yang menjadi penguasa Sumenep dari tahun 1750-1762 karena menikahi R.A Tirtonegoro, penguasa Sumenep pada masa itu. Pada abad ke-18 proses Islamisasi di Sumenep semakin meluas ketika diperintah oleh putra Bendoro Saud yang bernama Panembahan Sumolo. Ia membangun keraton Sumenep dan Masjid Jamik.

Masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumenep diketahui dari data-data sejarah yang didapat dari bukti-bukti arkeologis. Bukti-bukti tertua tentang keberadaan Islam yang masih ada di Sumenep antara lain adalah masjid lama di Kepanjen yang didirikan pada tahun 1639 M oleh pangeran Anggadipa dan makam Pangeran Pulang Jiwa yang berangka tahun 1678 M yang terdapat di Asta Tinggi[25].

Sumenep di bawah kekuasaan VOC
Mengenai pelaksanaan kekuasaan, VOC mengadopsi cara-cara yang digunakan ketika Sumenep di bawah pemerintahan Majapahit. Para regen harus pergi ke Batavia atau Semarang setahun sekali untuk menyembah pada gubernur jenderal atau wakil lainnya dari penguasa Belanda. Selain itu, VOC meneruskan pemungutan pajak impor dan ekspor. Raja boleh menerima pajak dari bandar pabean di pulau-pulau kecil sepanjang pantai selatan dan di sebelah timur, di samping juga semua pajak yang secara tradisional dipungut di Sumenep. Di atas itu semua, VOC mengenakan satu jenis pajak baru yakni kontingen. Kontingen ini merupakan pengadaan setiap tahun hasil panenan tanaman di daerah itu untuk dikirimkan oleh para regen. Ini merupakan beban yang sangat berat bagi penduduk setempat. Regen harus mengirimkan kontingen ke Jawa sebelum bulan November dengan perahunya dan biaya sendiri. Belanda tidak ikut campur tangan dalam hal cara bagaimana regen mengumpulkan kontingen yang diminta itu.

Di antara seluruh kabupaten yang berada di bawah gubernur Belanda untuk pantai timur laut, hanya kerajaan di Madura yang harus mengirimkan kacang-kacangan dan minyak kelapa. Di tempat-tempat lain, pengiriman beras, kapas dan kayu adalah penting. Sumenep seringkali harus mengirimkan garam dan asam Jawa juga. Barang-barang yang dikirimkan tergantung pada permintaan dan kadang-kadang penduduk bisa juga membayar sebagian dari pajak ini dengan uang. Sering terjadi VOC meminta tambahan penyediaan barang-barang tertentu dengan harga rendah yang ditentukannya sendiri. Ini adalah yang disebut sebagai pengiriman paksa.

Pemerintahan Notokusumo I
1. Bidang politik
VOC mengangkat RA Tirtonegoro (1750—1762) menjadi Bupati Sumenep. Sejak beridirinya, VOC telah selalu membuat perjanjian dengan pemimpin-pemipin setempat yang mempunyai urusan dengannya untuk menghindari salah paham. Semua kerajaan dan daerah yang telah ditaklukkan diberi pemerintahan sendiri (self government), sebuah istilah halus untuk suatu bentuk pemerintahan tidak langsung, di mana penguasa-penguasa setempat memperoleh tingkat kebebasan bertindak yang layak di wilayah mereka, dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh si penjajah[26]

RA Tirtonegoro menikah dengan Bendoro Saud yang kemudian diangkat mnjadi bupati menggantikan RA Tirtonegoro. Karena pernikahannya dengan Bendoro Saud tidak mendapat keturunan, maka RA Tirtonegoro mengangkat dua orang putera Bendoro Saud dari pernikahan sebelumnya dengan Nyai Isza yaitu Ario Pacinan dan Asirudin. Asirudin yang dikenal dengan nama Panembahan Sumolo atau Pangeran Notokusumo I (1762—1811) diangkat oleh VOC mengagantikan Bendoro Saud menjadi Bupati Sumenep. Ia membangun keraton Sumenep dan Masjid Jamik.

Pada masa pemerintahan panembahan Sumolo, Sumenep membantu VOC dengan mengirimkan pasukan dalam penyerangan ke Blambangan. Setelah Blambangan dapat ditaklukkan, Sumenep diberi hadiah daerah Panarukan oleh VOC. Panembahan Notokusumo ini dikenal oleh masyarakatnya sebagai orang yang arif sehingga masyarakat menyukainya.
Pada tahun 1810, Panembahan Sumolo diminta datang oleh kompeni ke Semarang untuk ikut serta menjaga daerah pesisiran berhubungan dengan timbulnya peperangan antara Belanda dan Inggris. Sewaktu Panembahan Sumolo tidak ada di Sumenep, tentara Inggris menyerang dari lautan dengan kapal perangnya yang mempergunakan meriam-meriam sampai di pantai Saroka. Karena Panembahan Sumolo tidak ada di tempat, maka Patih Sumenep yaitu Kiyai Mangundiredjo mengambil keputusan untuk melawan serangan Inggris dan bersama anaknya ke pantai Saroka yang disertai pula oleh pasukan tentara kerajaan Sumenep. Dalam pertempuran itu, Patih Mangundiredjo beserta anaknya gugur, demikian pula banyak anggota-anggota pasukan yang gugur di dalam peperangan itu. Mendengar kabar tersebut, Panembahan Sumolo sangat sedih, dan ketika ia sampai di Pantai Saroka ternyata tentara Inggris sudah meninggalkan medan pertempuran dan mereka sudah pergi berlayar meninggalkan perairan Sumenep.

2. Bidang kebudayaan
Hasil kebudayaan yang tercipta semasa pemerintahan Panembahan Sumolo atau Natakusomo I adalah Masjid Jamik dan Keraton Sumenep. Masjid Jamik Sumenep terletak di jalan Trunojoyo No. 6 yang termasuk wilayah kelurahan Bangselok, kecamatan kota kabupaten Sumenep, propinsi Jawa Timur. Masjid ini merupakan kompleks bangunan yang menempati tanah berukuran 89x89m. Selain bangunan induk, di dalam kompleks ini terdapat bangunan lain yaitu menara, gapura, serambi, bangunan sudut tembok keliling, pendopo, bencet, kantor takmir, tempat wudhu dan toilet.

Kompleks bangunan masjid ini memperoleh pengaruh seni bangunan dan ragam hias dari Eropa, Cina, dan lokal. Masjid ini dibangun atas karya seorang warga Cina. Terjadinya pemberontakan orang-orang Cina di Batavia mengakibatkan banyak orang Cina yang ditangkap atau dibunuh oleh tentara VOC. Dengan adanya penangkapan itu, orang-orang Cina melarikan diri ke kota-kota lain di Pulau Jawa.

Pada masa pemerintahan RA Tirtonegoro, datanglah 6 orang Cina ke Sumenep. Mereka adalah sisa pelarian dari Batavia. Salah seorang dari mereka bernama Lauw Koen Thing atau sering disebut Leo Kate. Ia seorang ahli bangunan. Ia menurunkan keahliannya kepada cucunya yang bernama Lauw Pia Ngo. Kemudian ia diberi kepercayaan oleh Panembahan Sumolo untuk membangun keraton Sumenep dan Masjid Jamik Sumenep. Atas jasanya itu, ia diberi tanah perdikan di pejagalan Sumenep yang kemudian dibangun rumah untuk keluarganya.
Kompleks bangunan keraton Sumenep terletak membujur dari selatan ke utara dan didirikan di atas tanah seluas lebih kurang 28.000 meter persegi. Keraton Sumenep sendiri menghadap ke arah selatan. Keraton ini terletak di sebelah timur dari alun-alun pusat kota Sumenep sehingga tampak lurus berseberangan dengan masjid jamik. Dulunya memang ada jalan lurus yang menghubungkan antara masjid dengan keraton, namun sekarang sudah tidak ada lagi sebab alun-alun sudah menjadi taman bunga. [27]

Kesimpulan                         
Pulau Madura, sebagai daerah yang dikelilingi oleh wilayah perairan nusantara di Timur pulau Jawa, merupakan salah satu pulau yang menjadi incaran VOC. Tujuan VOC menguasai Sumenep adalah untuk menjadikannya sebagai pangkalan untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan lainnya di timur Jawa.
Mengenai islamisasi, Madura sudah berkenalan dengan agama Islam sejak lama. Pulau ini mengadakan hubungan yang erat dengan Gresik dan Surabaya, tempat para pemimpin Islam yaitu Sunan Giri dan Ampel bermukim. Usaha pengislaman mengalami peningkatan yang pesat setelah Madura pada paruh kedua abad ke-16 berada di dalam daerah pengaruh kantong perdagangan Surabaya.
Sumenep adalah salah satu kabupaten di pulau Madura. Sumenep selalu mempunyai penguasa-penguasanya sendiri. Secara bertahap, penguasa-penguasa ini menjadi para bupati selain sebagai penguasa kerajaan. Ada tahun 1624, Sultan Agung dari Mataram menaklukan pula Madura dan tiga daerah kabupatennya. Setelah kekuasaan Mataram berakhir di Madura, kekuasaan selanjutnya berada di tangan VOC. Keadaan yang terjadi ketika kekuasaan Madura berada di tangan VOC adalah rakyat dibebani oleh berbagai pajak. Keadaan inilah yang menyebabkan rakyat Madura semakin sengsara.
Panembahan Sumolo atau Pangeran Notokusumo I (1762—1811) diangkat oleh VOC mengagantikan Bendoro Saud menjadi Bupati Sumenep. Ia dikenal oleh rakyatnya sebagai pemimpin yang arif. Keberhasilan yang terwujud ketika Sumenep berada di bawah pemerintahannya adalah didirikannya keraton Sumenep dan Masjid Jamik sebagai pusat kebudayaan Sumenep.

Daftar Pustaka
Abdurachman. 1971. Sedjarah Madura: seladjang pandang Cet. II. Pertj. Automatic the sun smp.
De Jonge, Huub. 1989. Madura dalam empat zaman: pedagang, perkembangan Ekonomi, dan Islam suatu studi antropologi ekonomi. Jakarta: Gramedia.
----------------- (ed). 1989. Agama, kebudayaan, dan ekonomi: studi-studi interdisipliner tentang masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa silang budaya bag. III: warisan kerajaan-kerajaan konsentris. Jakarta: Gramedia
--------------------. 2005. Nusa Jawa silang budaya bag II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia
Reid, Anthony. 1999. Dari ekspansi hingga krisis: jaringan perdgangan global Asia Tenggara 1450-1680 jilid II. Jakarta: Yayasan Obor.
Sedyawati, edi. et al. 1992. Tuban: kota pelabuhan di jalan sutra. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta.

Surat Kabar
Arifin, Lilliany. S. “Akulturasi pada keraton Sumenep dan Masjid Jamik di Madura”.
            Kompas:  Minggu, 5 Februari 2006.
Chris Pudjiastuti & Fabiola Ponto. “Ukiran Madura di Makam Tua”.
            Kompas: Minggu 16 April 2006.



[1] Nurbaity merupakan mahasiswi jurusan Ilmu Sejarah FIB UI angkatan 2002 yang telah menyelesaikan studinya tahun 2006 dan saat ini sedang menjalani studinya di Program Pascasarjana UNJ Program Studi Pendidikan Sejarah.
[2] Anthony Reid, Dari ekspansi hingga krisis: jaringan perdagangan global Asia Tenggara 1450-1680 jilid II, (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), hal 1.
[3] Produknya yang berupa cengkeh, pala, kayu cendana, kayu sapan, kamfer, dan pernis mendapatkan pasaran sejak zaman Romawi dan Han. Lihat Reid, ibid.
[4] Ibid, hal 3.
[5] Catatan Belanda memberikan penjelasan bahwa hanya jung Jawa yang terbesar, yaitu yang membawa beras dari Jawa ke kota di Sumatra dan Semenanjung Malaya, bobotnya lebih dari 200 ton. Sampai 1620 raja Mataram masih memiliki sebuah jung pengangkut beras seberat 400 ton. Lihat Reid, ibid.,  hal 53.
[6] Undang-undang maritim Malaka disusun pada waktu itu oleh sekelompok pemilih kapal Melaka yang sebagian besar berasal dari Jawa. Ibid., hal 52.
[7] Abad ke-16 yang panjang di Birma dan Jawa menjadi tanda satu-satunya sebelum abad ke-20 ketika bandar-bandar di Pantai memainkan peranan politik dan budaya yang dominan. Ibid hal 53.
[8] Denys Lombard, Nusa Jawa silang budaya bag. III: warisan kerajaan-kerajaan konsentris, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal 35.
[9] Huub de Jonge, Madura dalam empat zaman: pedagang, perkembangan ekonomi, dan Islam suatu studi antropologi ekonomi, (Jakarta: Gramedia, 1989), hal 44.
[10] Ibid., hal 47.
[11] Wali-wali yang tertua terdapat di Jawa Timur, karena agama Islam itu datangnya lewat perdagangan. Dengan demikian pusatnya di pelabuhan-pelabuhan seperti Surabaya, Tuban, dan Gresik. Lihat Abdurachman,  Sedjarah Madura: seladjang pandang Cet. II. Pertj. Automatic the sun smp., 1971,  hal 16.
[12]Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, jilid II., (Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 60.
[13] De Jonge, op cit., hal. 50.
[14] Ibid.
[15] Asal kata Madura adalah Lemah dan Doera yang mencerminkan karakter keberanian, cara berpikir dan bahasanya karena pengaruh keadaan alam yang gersang dan berbukit kapur .Lihat: Abdurachman, op cit., hal. 155.
[16] Ibid, hal.6.
[17] Ibid, hal. 10.
[18] de Jonge, op cit., hal.  240.
[19] Ibid., hal. 240—241.
[20] Parsanga merupakan nama suatu daerah di Sumenep. Lihat: Abdurachman, op cit., hal.16
[21] Sunan Padusan atau Raden Wiyopodho adalah salah satu kerabat sekaligus murid dari Sunan Ampel
[22] Abdurrachman. op cit., hal. 18.
[23] Ibid., hal. 11.
[24] Pangeran Katandur adalah putra dari Sunan Pakaan, cucu sunan Kudus.
[25] Vici Lusiana, “Percampuran kebudayaan pada arsitektur Masjid Jamik Sumenep”, Skripsi Sarjana Arkeologi FS UI, 1995,
[26] de Jonge, op cit., hal. 11.
[27] Sintawati, “Tata letak bangunan kompleks keraton Sumenep perbandingan dengan keraton Mataram Jawa Tengah”, Skripsi Sarjana Arkeologi FSUI,1995.


Adaptasi dari judul Aslinya: Sumenep di bawah Pemerintahan Panembahan Notokusumo I (1762 – 1811) 

Sumber: http://belajarsejarah.com/?pilih=semuanya&kode=1&id=26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar