Selasa, 21 Desember 2010

Potongan Sejarah Sumenep di bawah Pemerintahan Panembahan Notokusumo I (1762 – 1811) *

Oleh Nurbaity[1]
Perhatikanlah sejarah, untuk hari esokmu (Ahmad Mansur Suryanegara)
Madura dalam Kancah Perdagangan Nusantara
Perdagangan merupakan suatu hal yang amat penting bagi Asia Tenggara. Perdagangan, karena sifatnya yang khas, dapat dilakukan melalui lalu lintas laut dan mencakup jalur maritim antara Cina (pasaran internasional yang terbesar sepanjang catatan sejarah) dan pusat-pusat permukiman penduduk seperti India, Timur Tengah dan Eropa. Wilayah Asia Tenggara, yang dikenal sebagai wilayah bawah angin ini,  tentunya selalu terpengaruh oleh makin cepatnya perdagangan maritim internasional[2].

Pembicaraan mengenai perdagangan ini mencakup rentang waktu antara abad ke-14 hingga abad ke-17. Ada dua alasan untuk menyebut bahwa periode ini merupakan periode masa perdagangan. Pertama, “ledakan pasar pada abad ke-16 yang terus-menerus”, yang tidak hanya berpengaruh terhadap Eropa dan Laut Tengah sebelah timur, tetapi juga Cina, Jepang dan mungkin India dan merupakan masa ketika Asia Tenggara memainkan peranan yang sangat penting. Menurut Fernand Braudel, barang yang paling penting dalam perdagangan jarak jauh (di luar emas dan perak) ini mengandung makna yang besar bagi terbentuknya kapitalisme saudagar-lada, cengkeh dan pala yang berasal dari Asia Tenggara[3]. Kedua, selama periode ini para saudagar, penguasa, kota dan negara menempati bagian sentral dalam perdagangan yang berasal dari dan melalui wilayah mereka[4].

Jawa merupakan salah satu wilayah yang dilalui oleh perdagangan internasional tersebut dan memiliki peranan yang penting dalam perdagangan. Hal itu ditandai dengan perkapalan Jawa yang berkembang khususnya pada abad ke-15 M[5]. Berita dari orang Portugis pertama menceritakan bahwa orang Jawa sekitar tahun 1500 mendominasi perdagangan di perairan Indonesia, termasuk Melaka di sebelah barat dan Maluku di sebelah Timur[6].

Perdagangan ini menyebabkan banyak perubahan di Jawa[7]. Perdagangan ini menyeret kerajaan besar di Jawa seperti Majapahit untuk menaklukkan daerah-daerah pesisir untuk memperluas hegemoni perdagangan atas nama kesatuan Jawa[8]. Tak terkecuali adalah Madura sebagai daerah pesisir yang dari tahun 1100 sampai 1700 berturut-turut berada di bawah supremasi kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur dan negara-negara Islam pesisir yaitu Demak dan Surabaya, serta kerajaan Mataram di Jawa Tengah[9].

Dari sisi ekonomi, pulau Madura yang tandus sebenarnya tidak terlalu penting artinya bagi kerajaan Hindu dan negara-negara pesisir Islam. Namun, bagi Majapahit yang memiliki bandar-bandar perdagangan hampir di seluruh wilayah nusantara, dalam usaha mengamankan rute-rute pelayaran di wilayahnya, penguasaan atas pulau Madura penting sekali artinya.
Terkait dengan islamisasi, selama abad ke-16 terjadi suatu transformasi luar biasa di bidang budaya di kota-kota pelabuhan di Jawa, yang pada saat itu merupakan pusat-pusat kekayaan dan ide-ide yang menarik minat orang-orang Jawa yang memiliki bakat.

Penyebaran agama Islam dan pertumbuhan perdagangan dalam abad ke-16 terjadi bersamaan. Di sepanjang pesisir, bermukim pedagang-pedagang Islam yang di antaranya adalah orang Melayu. Sebelum kerajaan Majapahit runtuh, Madura sudah berkenalan dengan agama Islam[10]. Pulau ini mengadakan hubungan yang erat dengan Gresik dan Surabaya, tempat para pemimpin Islam yaitu Sunan Giri dan Ampel bermukim[11]. Usaha pengislaman mengalami peningkatan yang pesat setelah Madura pada paruh kedua abad ke-16 menjadi daerah yang memperoleh pengaruh dari kantong perdagangan Surabaya.

Sumenep adalah salah satu kabupaten di pulau Madura. Sumenep selalu mempunyai penguasa-penguasanya sendiri. Secara bertahap, para penguasa ini menjadi para bupati selain juga menjadi penguasa kerajaan. Pada tahun 1624, Sultan Agung dari Mataram menaklukan pula Madura dan tiga daerah kabupatennya. Penaklukan yang dipaksakan oleh Sultan Agung tidak diterima. Pemimpin-pemimpin utama pemberontakan adalah para pangeran Madura yang mau memperluas pengaruhnya ke dua tepi Selat Madura, dengan merangkul oligarki-oligarki niaga di pelabuhan-pelabuhan besar Jawa timur yaitu Surabaya, Pasuruan dan Giri yang bangkit kembali untuk terakhir kalinya[12].

Ketika VOC masuk ke wilayah nusantara, VOC sebagai organisasi perdagangan mendapat keuntungan dari pemberontakan yang dilakukan oleh Madura di daerah sekitar pesisir utara Jawa. Untuk menghancurkan perlawanan yang dibuat oleh Madura, VOC meminta beberapa hak monopoli dari Mataram sehingga beberapa mata dagang yang dikuasai oleh Mataram dapat diambil alih. Selain itu, VOC berhak atas segala urusan mengenai pelabuhan-pelabuhan di sekitar pesisir utara Jawa.[13]

Dengan demikian, VOC mulai berminat atas keberadaan Madura dan Mataram karena kericuhan yang ada dalam kerajaan Mataram sendiri yang menyebabkan VOC mengeluarkan pernyataan bersama dengan Mataram. Pernyataan ini dibuat untuk memenuhi keinginan Madura timur agar berada di bawah naungan VOC. Pada tahun 1705 perjanjian tersebut disetujui dengan isi sebagai berikut:
“Dengan ini Yang Mulia secara hukum melepaskan dan menyerahkan ke dalam   perlindungan Kompeni daerah Sumenep dan Pamekasan yang berada di Madura timur.”[14]
Para penguasa Madura kebanyakan para Bupati, tetapi karena mereka sangat penting bagi Belanda dalam perlawanan terhadap Jawa mereka diperlakukan sebagai monarki dan menerima status sosial yang lain. Di Sumenep, sejarah tentang gelar biasanya diawali dengan Raden atau Pangeran, tetapi ada juga yang lebih tinggi dari itu.
Dalam penulisan ini akan dibahas mengenai kerajaan Sumenep yang merupakan salah satu kerajaan Islam yang besar di Madura di bawah pemerintahan Panembahan Notokusumo I (1762—1811).

Gambaran Umum Pulau Madura
1. Keadaan Geografis
Pulau Madura[15] terletak di timur laut pulau Jawa, kurang lebih 7 derajat sebelah selatan dari khatulistiwa di antara 112 derajat dan 114 derajat bujur timur. Pulau itu dipisahkan dari Jawa oleh Selat Madura, yang menghubungkan Laut Jawa dengan Laut Bali. Moncongnya di barat laut agak dangkal dan lebarnya tidak lebih dari beberapa mil laut.
Secara geologis Madura merupakan kelanjutan dari pegunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan di sebelah selatan Lembah Solo. Bukit-bukit kapur di Madura merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar, dan lebih bulat daripada bukit-bukit di Jawa dan letaknya pun lebih menyatu. Puncak tertinggi di bagian timur Madura adalah Gunung Gadu (341 m), Gunung Merangan (398 m), dan Gunung Tembuku (471 m).

Iklim  di Madura bercirikan dua musim, musim barat atau musim hujan selama bulan Oktober sampai bulan April, dan musim timur atau musim kemarau. Komposisi tanah dan curah hujan yang tidak sama—di  lereng-lereng yang tinggi letaknya justru kebanyakan, sedangkan di lereng-lereng yang rendah malahan kekurangan—membuat Madura kurang memiliki tanah yang subur. Hanya di daratan aluvial dan di tanah liat bercampur kapur di dataran tinggi yang terdapat cukup curah hujan saja persawahan yang permanen atau sementara dimungkinkan[16]. Sebagian besar tanah yang diolah tediri dari tegalan yang terutama menghasilkan jagung dan singkong. Hanya selama musim hujan saja lahan-lahan kering ini dapat ditanami. Di selatan, lahan-lahan yang sama sekali tidak subur digunakan untuk pembuatan garam. Sudah sejak lama Madura terkenal sebagai daerah penghasil garam yang penting.

2. Demografi
Mayoritas masyarakat Madura merupakan masyarakat agraris. Kurang lebih 90% penduduknya hidup terpencar-pencar di pedalaman, di desa-desa, di dukuh-dukuh, dan kelompok-kelompok perumahan petani. Pulau ini memiliki empat kota, dari barat ke timur berturut-turut yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Kota-kota tersebut adalah sekaligus ibukota kabupaten yang membagi daerah itu dengan menggunakan nama yang sama. Kota-kota itu berada di tengah-tengah daerah yang subur dan letaknya berdekatan dengan pantai. Pada zaman yang lampau, di tempat-tempat ini terdapat keraton yang merupakan kota kediaman raja-raja. Jauh sebelum orang Belanda tiba di kepulauan Indonesia, tempat kediaman raja-raja itu telah tumbuh menjadi kota-kota kecil, yang disamping tak terhitung banyaknya pegawai dan pelayan istana, juga dihuni oleh ratusan tukang, para pemilik toko kecil, dan para pedagang. Kota keraton ini merupakan pusat kebudayaan, ekonomi, dan pemerintahan kerajaan Madura[17].

3. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk Madura adalah bertani dan beternak. Akan tetapi hasil pertanian tidak dapat menghidupi seluruh penduduknya sehingga sebagian besar penduduknya bekerja sebagai pedagang, nelayan dan pembuat garam. Kurangnya kesuburan tanah dan pengairan yang tidak memadai, menyebabkan banyak penduduk Madura yang bermigrasi ke pulau Jawa dengan alasan utama untuk mencari nafkah. Proses perpindahan ini melaui bermacam saluran seperti perdagangan, pelayaran, penangkapan ikan dan ekspedisi militer. Alasan lain penduduk Madura bermigrasi, menurut J.Van Goor yang dikutip oleh Sutjipto, adalah untuk menghindarkan diri dari wajib militer, pemerasan atau tekanan dari bupati dan dari perlakuan hukum yang semena-mena. Karena itu, sampai saat ini banyak dijumpai orang Madura di daerah Jawa Timur.

Gambaran Umum Kota Sumenep    
Sumenep (bahasa Madura: Songènèb) adalah sebuah kabupaten di propinsi Jawa Timur, Indonesia. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.093.45 km² dan populasi ±1 juta jiwa. Ibu kotanya ialah Kota Sumenep. Terletak di ujung timur pulau Madura, Sumenep memiliki sebuah keraton keluarga kerajaan Madura, Cakraningrat. Kabupaten Sumenep selain terdiri dari wilayah daratan juga terdiri dari kepulauan yang berjumlah 126 pulau. Pulau yang paling utara adalah Pulau Karamian yang terletak di Kecamatan Masalembu dan pulau yang paling Timur adalah Pulau Sakala. Sumenep memiliki batas-batas sebagai berikut: sebelah selatan berbatasan dengan Selat Madura, sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pamekasan, sebelah timur berbatasan dengan Laut Jawa / Laut Flores.

Peta Pulau Madura beserta empat kota kabupatennya
Sumber: “Ukiran Madura di Pemakaman Tua”. Kompas, Minggu 16 April   2006.

Keraton Sumenep, tanpa memperhitungkan bangunan-bangunan tambahan, kandang-kandang dan ruang-ruang yang lain, memiliki 133 rumah dan pendopo, yang selain dari raja, para keluarganya yang terdekat dan para gundiknya, juga merupakan tempat kediaman dari hampir dari semua para bangsawan dan para pegawai tinggi istana. Di luar tembok keraton, terdapat beberapa kampung dengan kehidupan penduduknya yang  langsung atau tidak langsung tergantung pada istana. “Orang-orang timur asing”, seperti orang Cina, Arab, dan Melayu bertempat tinggal di lingkungan yang terpisah dengan pemimpin mereka sendiri. Dalam jarak yang dekat, kota itu dikelilingi oleh sejumlah desa yang termasuk dalam daerah kota.

Proses Islamisasi di Madura
Masuk dan berkembangnya Islam di Madura tidak bisa dilepaskan dari peranan penyebaran agama Islam di Jawa Timur,  yakni di Gresik dan Surabaya. Kota-kota tersebut dikenal sebagai kota pantai yang ramai kegiatan perdagangannya. Para pedagang dari kota-kota pantai itulah yang menyebarkan Islam sampai ke kota-kota lainnya di sepanjang pantai utara Jawa Timur seperti Tuban, Sedayu, Pasuruan, Besuki, Probolinggo bahkan menyeberang ke Madura yaitu Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Persebaran agama Islam di Madura, selain melalui jalur perdagangan, juga tidak terlepas dari peranan para wali yaitu Sunan Ampel dan Sunan Giri yang mengutus murid-muridnya ke Madura.[18]

Islam pertama-tama disebarkan di pantai selatan kota Sumenep pada sekitar abad ke-15 M. Keyakinan akan kepercayaan baru tersebut mulanya disebarkan di daerah pesisir pantai yang merupakan tempat perdagangan. Sumenep merupakan kawasan perdagangan yang paling ramai di Madura. Oleh karena itu, di sini Islam tumbuh lebih pesat dibandingkan dengan daerah Madura bagian barat dan Pamekasan.[19]

Selain melalui perdagangan, saluran Islamisasi di Sumenep juga melalui jalur santri, pondok pesantren, pengaruh penguasa setempat dan dengan jalan perkawinan baik perkawinan dengan penguasa lokal, atau dengan perkawinan dengan keluarga pemuka agama. Pada pemerintahan Joko Tole ada seorang penyiar agama Islam bernama Sunan Padusan yang menyebarkan agama Islam dan mendirikan pondok pesantren di Parsanga.[20]

Banyak penduduk sekitar pesantren yang tertarik dengan cara berdakwah dan pendekatan Sunan Padusan[21] akhirnya memeluk agama Islam[22]. Keberadaan Sunan Padusan dan pondok pesantrennya yang terkenal sampai di pusat keraton (Banasareh) membuat Joko Tole, penguasa Sumenep pada masa itu, tertarik dengan agama Islam. Kemudian Sunan Padusan berhasil mengislamkan Joko Tole dan menjadi menantunya, hal ini menyebabkan semakin banyak rakyat Sumenep yang menganut agama Islam, agama yang dianut oleh raja mereka.

Pada masa pemerintahan Joko Tole inilah agama Islam mulai masuk ke Sumenep. Pada masa ini juga diberitakan adanya kontak pertama Sumenep dengan bangsa Cina.[23] Tetapi tidak ada bukti-bukti tertulis atau arkeologis yang mendukung keterangan tentang kontak dengan bangsa Cina ini.

Pada abad ke-17, di Sumenep terdapat seorang tokoh persebaran agama Islam yang lain bernama Pangeran Katandur[24]. Keturunannya banyak yang berhasil mengislamkan penduduk Madura. Salah satu keturunannya adalah Bendoro Saud yang menjadi penguasa Sumenep dari tahun 1750-1762 karena menikahi R.A Tirtonegoro, penguasa Sumenep pada masa itu. Pada abad ke-18 proses Islamisasi di Sumenep semakin meluas ketika diperintah oleh putra Bendoro Saud yang bernama Panembahan Sumolo. Ia membangun keraton Sumenep dan Masjid Jamik.

Masuk dan berkembangnya agama Islam di Sumenep diketahui dari data-data sejarah yang didapat dari bukti-bukti arkeologis. Bukti-bukti tertua tentang keberadaan Islam yang masih ada di Sumenep antara lain adalah masjid lama di Kepanjen yang didirikan pada tahun 1639 M oleh pangeran Anggadipa dan makam Pangeran Pulang Jiwa yang berangka tahun 1678 M yang terdapat di Asta Tinggi[25].

Sumenep di bawah kekuasaan VOC
Mengenai pelaksanaan kekuasaan, VOC mengadopsi cara-cara yang digunakan ketika Sumenep di bawah pemerintahan Majapahit. Para regen harus pergi ke Batavia atau Semarang setahun sekali untuk menyembah pada gubernur jenderal atau wakil lainnya dari penguasa Belanda. Selain itu, VOC meneruskan pemungutan pajak impor dan ekspor. Raja boleh menerima pajak dari bandar pabean di pulau-pulau kecil sepanjang pantai selatan dan di sebelah timur, di samping juga semua pajak yang secara tradisional dipungut di Sumenep. Di atas itu semua, VOC mengenakan satu jenis pajak baru yakni kontingen. Kontingen ini merupakan pengadaan setiap tahun hasil panenan tanaman di daerah itu untuk dikirimkan oleh para regen. Ini merupakan beban yang sangat berat bagi penduduk setempat. Regen harus mengirimkan kontingen ke Jawa sebelum bulan November dengan perahunya dan biaya sendiri. Belanda tidak ikut campur tangan dalam hal cara bagaimana regen mengumpulkan kontingen yang diminta itu.

Di antara seluruh kabupaten yang berada di bawah gubernur Belanda untuk pantai timur laut, hanya kerajaan di Madura yang harus mengirimkan kacang-kacangan dan minyak kelapa. Di tempat-tempat lain, pengiriman beras, kapas dan kayu adalah penting. Sumenep seringkali harus mengirimkan garam dan asam Jawa juga. Barang-barang yang dikirimkan tergantung pada permintaan dan kadang-kadang penduduk bisa juga membayar sebagian dari pajak ini dengan uang. Sering terjadi VOC meminta tambahan penyediaan barang-barang tertentu dengan harga rendah yang ditentukannya sendiri. Ini adalah yang disebut sebagai pengiriman paksa.

Pemerintahan Notokusumo I
1. Bidang politik
VOC mengangkat RA Tirtonegoro (1750—1762) menjadi Bupati Sumenep. Sejak beridirinya, VOC telah selalu membuat perjanjian dengan pemimpin-pemipin setempat yang mempunyai urusan dengannya untuk menghindari salah paham. Semua kerajaan dan daerah yang telah ditaklukkan diberi pemerintahan sendiri (self government), sebuah istilah halus untuk suatu bentuk pemerintahan tidak langsung, di mana penguasa-penguasa setempat memperoleh tingkat kebebasan bertindak yang layak di wilayah mereka, dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh si penjajah[26]

RA Tirtonegoro menikah dengan Bendoro Saud yang kemudian diangkat mnjadi bupati menggantikan RA Tirtonegoro. Karena pernikahannya dengan Bendoro Saud tidak mendapat keturunan, maka RA Tirtonegoro mengangkat dua orang putera Bendoro Saud dari pernikahan sebelumnya dengan Nyai Isza yaitu Ario Pacinan dan Asirudin. Asirudin yang dikenal dengan nama Panembahan Sumolo atau Pangeran Notokusumo I (1762—1811) diangkat oleh VOC mengagantikan Bendoro Saud menjadi Bupati Sumenep. Ia membangun keraton Sumenep dan Masjid Jamik.

Pada masa pemerintahan panembahan Sumolo, Sumenep membantu VOC dengan mengirimkan pasukan dalam penyerangan ke Blambangan. Setelah Blambangan dapat ditaklukkan, Sumenep diberi hadiah daerah Panarukan oleh VOC. Panembahan Notokusumo ini dikenal oleh masyarakatnya sebagai orang yang arif sehingga masyarakat menyukainya.
Pada tahun 1810, Panembahan Sumolo diminta datang oleh kompeni ke Semarang untuk ikut serta menjaga daerah pesisiran berhubungan dengan timbulnya peperangan antara Belanda dan Inggris. Sewaktu Panembahan Sumolo tidak ada di Sumenep, tentara Inggris menyerang dari lautan dengan kapal perangnya yang mempergunakan meriam-meriam sampai di pantai Saroka. Karena Panembahan Sumolo tidak ada di tempat, maka Patih Sumenep yaitu Kiyai Mangundiredjo mengambil keputusan untuk melawan serangan Inggris dan bersama anaknya ke pantai Saroka yang disertai pula oleh pasukan tentara kerajaan Sumenep. Dalam pertempuran itu, Patih Mangundiredjo beserta anaknya gugur, demikian pula banyak anggota-anggota pasukan yang gugur di dalam peperangan itu. Mendengar kabar tersebut, Panembahan Sumolo sangat sedih, dan ketika ia sampai di Pantai Saroka ternyata tentara Inggris sudah meninggalkan medan pertempuran dan mereka sudah pergi berlayar meninggalkan perairan Sumenep.

2. Bidang kebudayaan
Hasil kebudayaan yang tercipta semasa pemerintahan Panembahan Sumolo atau Natakusomo I adalah Masjid Jamik dan Keraton Sumenep. Masjid Jamik Sumenep terletak di jalan Trunojoyo No. 6 yang termasuk wilayah kelurahan Bangselok, kecamatan kota kabupaten Sumenep, propinsi Jawa Timur. Masjid ini merupakan kompleks bangunan yang menempati tanah berukuran 89x89m. Selain bangunan induk, di dalam kompleks ini terdapat bangunan lain yaitu menara, gapura, serambi, bangunan sudut tembok keliling, pendopo, bencet, kantor takmir, tempat wudhu dan toilet.

Kompleks bangunan masjid ini memperoleh pengaruh seni bangunan dan ragam hias dari Eropa, Cina, dan lokal. Masjid ini dibangun atas karya seorang warga Cina. Terjadinya pemberontakan orang-orang Cina di Batavia mengakibatkan banyak orang Cina yang ditangkap atau dibunuh oleh tentara VOC. Dengan adanya penangkapan itu, orang-orang Cina melarikan diri ke kota-kota lain di Pulau Jawa.

Pada masa pemerintahan RA Tirtonegoro, datanglah 6 orang Cina ke Sumenep. Mereka adalah sisa pelarian dari Batavia. Salah seorang dari mereka bernama Lauw Koen Thing atau sering disebut Leo Kate. Ia seorang ahli bangunan. Ia menurunkan keahliannya kepada cucunya yang bernama Lauw Pia Ngo. Kemudian ia diberi kepercayaan oleh Panembahan Sumolo untuk membangun keraton Sumenep dan Masjid Jamik Sumenep. Atas jasanya itu, ia diberi tanah perdikan di pejagalan Sumenep yang kemudian dibangun rumah untuk keluarganya.
Kompleks bangunan keraton Sumenep terletak membujur dari selatan ke utara dan didirikan di atas tanah seluas lebih kurang 28.000 meter persegi. Keraton Sumenep sendiri menghadap ke arah selatan. Keraton ini terletak di sebelah timur dari alun-alun pusat kota Sumenep sehingga tampak lurus berseberangan dengan masjid jamik. Dulunya memang ada jalan lurus yang menghubungkan antara masjid dengan keraton, namun sekarang sudah tidak ada lagi sebab alun-alun sudah menjadi taman bunga. [27]

Kesimpulan                         
Pulau Madura, sebagai daerah yang dikelilingi oleh wilayah perairan nusantara di Timur pulau Jawa, merupakan salah satu pulau yang menjadi incaran VOC. Tujuan VOC menguasai Sumenep adalah untuk menjadikannya sebagai pangkalan untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan lainnya di timur Jawa.
Mengenai islamisasi, Madura sudah berkenalan dengan agama Islam sejak lama. Pulau ini mengadakan hubungan yang erat dengan Gresik dan Surabaya, tempat para pemimpin Islam yaitu Sunan Giri dan Ampel bermukim. Usaha pengislaman mengalami peningkatan yang pesat setelah Madura pada paruh kedua abad ke-16 berada di dalam daerah pengaruh kantong perdagangan Surabaya.
Sumenep adalah salah satu kabupaten di pulau Madura. Sumenep selalu mempunyai penguasa-penguasanya sendiri. Secara bertahap, penguasa-penguasa ini menjadi para bupati selain sebagai penguasa kerajaan. Ada tahun 1624, Sultan Agung dari Mataram menaklukan pula Madura dan tiga daerah kabupatennya. Setelah kekuasaan Mataram berakhir di Madura, kekuasaan selanjutnya berada di tangan VOC. Keadaan yang terjadi ketika kekuasaan Madura berada di tangan VOC adalah rakyat dibebani oleh berbagai pajak. Keadaan inilah yang menyebabkan rakyat Madura semakin sengsara.
Panembahan Sumolo atau Pangeran Notokusumo I (1762—1811) diangkat oleh VOC mengagantikan Bendoro Saud menjadi Bupati Sumenep. Ia dikenal oleh rakyatnya sebagai pemimpin yang arif. Keberhasilan yang terwujud ketika Sumenep berada di bawah pemerintahannya adalah didirikannya keraton Sumenep dan Masjid Jamik sebagai pusat kebudayaan Sumenep.

Daftar Pustaka
Abdurachman. 1971. Sedjarah Madura: seladjang pandang Cet. II. Pertj. Automatic the sun smp.
De Jonge, Huub. 1989. Madura dalam empat zaman: pedagang, perkembangan Ekonomi, dan Islam suatu studi antropologi ekonomi. Jakarta: Gramedia.
----------------- (ed). 1989. Agama, kebudayaan, dan ekonomi: studi-studi interdisipliner tentang masyarakat Madura. Jakarta: Rajawali.
Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa silang budaya bag. III: warisan kerajaan-kerajaan konsentris. Jakarta: Gramedia
--------------------. 2005. Nusa Jawa silang budaya bag II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia
Reid, Anthony. 1999. Dari ekspansi hingga krisis: jaringan perdgangan global Asia Tenggara 1450-1680 jilid II. Jakarta: Yayasan Obor.
Sedyawati, edi. et al. 1992. Tuban: kota pelabuhan di jalan sutra. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Jakarta.

Surat Kabar
Arifin, Lilliany. S. “Akulturasi pada keraton Sumenep dan Masjid Jamik di Madura”.
            Kompas:  Minggu, 5 Februari 2006.
Chris Pudjiastuti & Fabiola Ponto. “Ukiran Madura di Makam Tua”.
            Kompas: Minggu 16 April 2006.



[1] Nurbaity merupakan mahasiswi jurusan Ilmu Sejarah FIB UI angkatan 2002 yang telah menyelesaikan studinya tahun 2006 dan saat ini sedang menjalani studinya di Program Pascasarjana UNJ Program Studi Pendidikan Sejarah.
[2] Anthony Reid, Dari ekspansi hingga krisis: jaringan perdagangan global Asia Tenggara 1450-1680 jilid II, (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), hal 1.
[3] Produknya yang berupa cengkeh, pala, kayu cendana, kayu sapan, kamfer, dan pernis mendapatkan pasaran sejak zaman Romawi dan Han. Lihat Reid, ibid.
[4] Ibid, hal 3.
[5] Catatan Belanda memberikan penjelasan bahwa hanya jung Jawa yang terbesar, yaitu yang membawa beras dari Jawa ke kota di Sumatra dan Semenanjung Malaya, bobotnya lebih dari 200 ton. Sampai 1620 raja Mataram masih memiliki sebuah jung pengangkut beras seberat 400 ton. Lihat Reid, ibid.,  hal 53.
[6] Undang-undang maritim Malaka disusun pada waktu itu oleh sekelompok pemilih kapal Melaka yang sebagian besar berasal dari Jawa. Ibid., hal 52.
[7] Abad ke-16 yang panjang di Birma dan Jawa menjadi tanda satu-satunya sebelum abad ke-20 ketika bandar-bandar di Pantai memainkan peranan politik dan budaya yang dominan. Ibid hal 53.
[8] Denys Lombard, Nusa Jawa silang budaya bag. III: warisan kerajaan-kerajaan konsentris, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal 35.
[9] Huub de Jonge, Madura dalam empat zaman: pedagang, perkembangan ekonomi, dan Islam suatu studi antropologi ekonomi, (Jakarta: Gramedia, 1989), hal 44.
[10] Ibid., hal 47.
[11] Wali-wali yang tertua terdapat di Jawa Timur, karena agama Islam itu datangnya lewat perdagangan. Dengan demikian pusatnya di pelabuhan-pelabuhan seperti Surabaya, Tuban, dan Gresik. Lihat Abdurachman,  Sedjarah Madura: seladjang pandang Cet. II. Pertj. Automatic the sun smp., 1971,  hal 16.
[12]Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, jilid II., (Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 60.
[13] De Jonge, op cit., hal. 50.
[14] Ibid.
[15] Asal kata Madura adalah Lemah dan Doera yang mencerminkan karakter keberanian, cara berpikir dan bahasanya karena pengaruh keadaan alam yang gersang dan berbukit kapur .Lihat: Abdurachman, op cit., hal. 155.
[16] Ibid, hal.6.
[17] Ibid, hal. 10.
[18] de Jonge, op cit., hal.  240.
[19] Ibid., hal. 240—241.
[20] Parsanga merupakan nama suatu daerah di Sumenep. Lihat: Abdurachman, op cit., hal.16
[21] Sunan Padusan atau Raden Wiyopodho adalah salah satu kerabat sekaligus murid dari Sunan Ampel
[22] Abdurrachman. op cit., hal. 18.
[23] Ibid., hal. 11.
[24] Pangeran Katandur adalah putra dari Sunan Pakaan, cucu sunan Kudus.
[25] Vici Lusiana, “Percampuran kebudayaan pada arsitektur Masjid Jamik Sumenep”, Skripsi Sarjana Arkeologi FS UI, 1995,
[26] de Jonge, op cit., hal. 11.
[27] Sintawati, “Tata letak bangunan kompleks keraton Sumenep perbandingan dengan keraton Mataram Jawa Tengah”, Skripsi Sarjana Arkeologi FSUI,1995.


Adaptasi dari judul Aslinya: Sumenep di bawah Pemerintahan Panembahan Notokusumo I (1762 – 1811) 

Sumber: http://belajarsejarah.com/?pilih=semuanya&kode=1&id=26

Rabu, 15 Desember 2010

Sejarah Kristen Abangan ala Sadrach di Indonesia

Dituduh sebagai pemimpin agama yang sesat dan juga pemberontak, Sadrach terus menyebarkan agama Kristen ala Jawa.

PARA pekabar Injil Belanda kelabakan mencari jalan bagaimana agar orang-orang Jawa menjadi Kristen yang sungguh-sungguh. Masyarakat Jawa tak ingin tercerabut dari akar budayanya yang telah dipegang teguh jauh sebelum Kristen datang. Lain halnya dengan para pekabar Injil awam Indo-Eropa yang memperhatikan budaya lokal. Maka muncullah jemaat bumiputera berpenampilan Jawa. Mereka disebut “jemaat Sadrach” karena pemimpinnya adalah penginjil Jawa kharismatik, Sadrach Surapranata.

Sadrach tinggal di Karangjasa, sebuah desa terpencil di selatan Bagelan, bekas karesidenan di Jawa Tengah. Sejak pertengahan kedua abad ke-19, Karangjasa dikenal sebagai tempat mengabarkan Injil oleh para pejabat kolonial Belanda, Misi Gereja-gereja Gereformeerd Belanda (ZGKN), dan orang-orang Kristen Jawa. Tapi pemerintah kolonial menganggap Sadrach sebagai pemimpin pemberontak yang mengancam stabilitas, ketentraman, dan ketertiban umum. Sedangkan para zending Belanda menganggap kekuasaan Sadrach dan kepemimpinannya sudah melampaui batas-batas kekristenan yang benar dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Calvinisme.

“Mereka menuduh Sadrach sebagai pemimpin orang Jawa sesat dan menganggap ajarannya sebagai campuran antara pemikiran Kristen dan bukan Kristen. Jemaatnya dianggap orang-orang Kristen palsu atau jemaat Islam yang berpakaian Kristen,” tulis Soetarman Soediman Partonadi dalam Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya. “Karenanya desa Karangjasa yang artinya ‘batu karang yang teguh berdiri’ menjadi Karangdosa yang artinya ‘batu karang dosa’.”

Saat itu terjadi semacam perbenturan konsep keberagamaan. Agama Kristen sering dicap sebagai “agama Belanda”. Sementara orang-orang Kristen Jawa sering dicemooh antara lain dengan ungkapan londo durung jowo tanggung (orang Belanda bukan, orang Jawa tanggung).

Menurut Soetarman, tempat dan tanggal kelahiran serta kedua orangtua Sadrach tak diketahui. Dia dilahirkan sekitar tahun 1835 dari keluarga petani miskin di dekat Jepara, Demak, atau di desa Luring dekat Semarang. Semua tempat ini berada di pantai utara Jawa Tengah, tempat Islam kali pertama berpijak.

Sadrach diberi nama Radin –“in” menjadi petunjuk bahwa dia berasal dari desa. Dia kemudian diadopsi keluarga Muslim kaya, yang membesarkannya menurut tradisi Islam. Radin muda belajar membaca alquran, belajar ngelmu Jawa pada Pak Kurmen atau Sis Kanoman di Semarang, sebelum masuk pesantren di Jawa Timur. Setelah itu dia kembali ke Semarang dan tinggal di Kauman. Saat itu, dia menambahkan nama Arab yang telah disesuaikan dengan bahasa Jawa: Abas.

Di Semarang, dia bertemu lagi dengan Pak Kurmen, yang ternyata sudah masuk Kristen. Oleh Pak Kurmen, Radin Abas diperkenalkan dengan Tunggul Wulung, penginjil Jawa yang mengkristenkannya lewat debat umum. “Radin Abas menjadi tertarik pada Kristen. Dia terkesan oleh Tunggul Wulung dan belajar darinya bahwa orang Kristen Jawa tak harus meninggalkan adat Jawa. Tunggul Wulung pernah menegaskan keyakinannya bahwa orang Kristen Jawa hendaknya tetap menjadi orang Jawa dengan menyatakan bahwa mereka harus mencari seorang Kristus bagi mereka sendiri,” tulis Soetarman.

Pada 1866, ditemani Tunggul Wulung, Radin pergi ke Batavia untuk menemui Mr F.L. Anthing, pekabar injil pertama di Jawa Barat yang kemudian pindah ke Batavia. Anthing menyambutnya dengan hangat dan menerimanya sebagai pembantu. Di sini Radin dibaptis oleh Rev. Ader, pendeta De Protestantsche Kerk in Nederlansche-Indie atau Indische Kerk (sekarang Gereja Protestan Indonesia) dan menerima nama baptis: Sadrach.

Setelah beberapa tahun, Sadrach kembali ke Jawa Tengah bagian utara. Pada 1868, dia bergabung dengan Tunggul Wulung dan Pak Kurmen untuk membangun desa-desa Kristen di Bondo, juga Jawa Timur. Setelah itu Sadrach pergi ke Tuksanga, Purwareja, selama kurang lebih satu tahun sebelum pindah ke Karangjasa. Di sinilah popularitasnya merangkak naik.

Metode Sadrach untuk mengabarkan Injil, tulis Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, sama dengan yang digunakan Tunggul Wulung, yakni berdiskusi dan berdebat, seringkali berhari-hari, siang-malam, secara terbuka di depan umum. Sadrach selalu menang dan mengkristenkan sejumlah kiai.

Sadrach juga memimpin kebaktian dalam bahasa Jawa sehingga mudah dimengerti oleh jemaat. Selain itu, dia dikenal mampu mengendalikan roh jahat dan iblis. Karenanya, keris yang dikeramatkan dan bisa dipakai untuk mengatasi berbagai malapetaka dan mengusir setan-setan, dianggap kekuatan mahasakti dan harus disembah. Keris kemudian menjadi simbol identifikasi Kristus (keris yang meneteskan darahnya seperti darah Yesus yang menetes dari paku salib). Cara duduk ketika beribadah adalah duduk bersila dan para jemaat Sadrach harus menyentuh dan mencium kaki Sadrach, seperti ketertundukan para murid terhadap Yesus. Dalam kapasitas ini, Sadrach menganggap dirinya sebagai penampakan “sang rasul Yesus ke orang Jawa”.

”Sadrach membangun agama Kristen Jawa yang tetap dekat sekali dengan bentuk-bentuk keagamaan yang dikenal di dalam Islam dan ngelmu. Gedung gereja disebut masjid dan dibangun dengan bentuk masjid di halaman rumah pendeta. Pendeta dijuluki imam dan sebelum kebaktian dimulai sebuah bedug dipukul. Sesudah acara pembaptisan diadakan slametan,” ujar Alle. G. Hoekema, sebagaimana dikutip Aritonang.

Karangjasa segera menjadi tempat berkumpul orang-orang Kristen dari berbagai daerah. Jemaatnya meningkat pesat; mencapai hampir 2.500 hanya dalam waktu tiga tahun (1870-1873). Selama masa itu, lima gereja didirikan di Karangsaja, Banjur, Karangpucung, Kedungpring, dan Karangjambu.

Sesuai tradisi Jawa, Sadrach menambahkan nama baru, Surapranata, untuk menunjukkan posisi barunya. Surapranata berarti “dia yang berani mengatur atau memerintah”. Oleh yang iri, nama itu disalahartikan menjadi “Tuhan yang memerintah”. Terlebih, tulis Aritonang, setelah nama itu dilengkapinya menjadi Raden Mas Ngabehi Surapranata dan dia tampil bak raja, lengkap dengan dayang-dayang. Bahkan ada yang melaporkan bahwa dia sendiri pernah mengaku sebagai Kristus atau Ratu Adil.

Peningkatan jumlah jemaat Sadrach menimbulkan kecurigaan pemerintah setempat. Sadrach dianggap sebagai ancaman politik. W. Ligtvoet, residen Bagelan, mencari cara untuk menyingkirkan Sadrach. Pengurus NGZV, Bieger, mengemban misi besar itu. Berkali-kali Bieger meminta Sadrach agar mempercayakan jemaatnya kepadanya. Karena Bieger gagal, Ligtvoet turun tangan dengan menahan Sadrach selama tiga minggu lalu menjadikannya tahanan rumah selama tiga bulan. Alasan penahanan, Sadrach menolak vaksinasi cacar, yang saat itu lagi mewabah, dengan alasan agama. Karena tak cukup bukti untuk mengajukannya ke pengadilan, Sadrach dibebaskan dengan keputusan Gubernur Jenderal pada 1 Juli 1882. “Takut para jemaatnya ngamuk,” tulis M. Alie Humaedi dalam Keresahan Sosial dalam Isu Kristenisasi ataukah Islamisasi.

Setelah bebas, Sadrach kembali ke Karangjasa. Pamor dan wibawanya tak tergoyahkan.

Sadrach pergi ke Purwareja untuk meminta Wilhelm, pekabar Injil yang bersahabat dengannya saat menjadi tahanan rumah, menjadi pendeta jemaatnya. Pada 17 April 1883, Sadrach dan para sesepuh setempat serta Wilhelm secara resmi menamakan diri Golongane Wong Kristen Kang Mardika (kelompok orang Kristen yang merdeka).

Karena merasa direndahkan oleh para zandeling, antara lain tak kunjung diangkat sebagai pendeta sehingga tak berhak menjalankan sakramen, sejak 1893, Sadrach memutuskan hubungan dengan mereka. Ternyata sebagian besar warga Kristen Jawa tetap setia mengikutinya. Selanjutnya sejak 1894 dia beralih ke Gereja Kerasulan, yang berpusat di Jawa Barat, dan diangkat menjadi rasul; jabatan yang dia pegang hingga meninggal pada 1924.

Sadrach menduduki tempat teratas di antara guru-guru Jawa dengan sebutan khusus kiai. Jemaat Sadrach mencapai 7.000 pada 1890 dan 20.000 saat Sadrach meninggal. Jemaat tersebar di seluruh karesidenan Jawa Tengah.

Menurut Alie, perkembangan jemaah Sadrach hanya mampu bertahan kisaran tahun 1939, karena masuknya kekuasaan gereja ZGKN dan didirikannya Gereja Kristen Jawa, hingga memupus habis gereja Kerasulan ala Sadrach. Mereka dipaksa mengakui prinsip-prinsip dasar Gereja Kristen Jawa. Selain di Karangjasa, Gereja Kerasulan yang masih bertahan hanyalah di wilayah Desa Kasimpar Petungkriono Pekalongan Jawa Tengah (sampai tahun 1985), yang pendiri dan majelisnya merupakan generasi langsung dari murid Sadrach.[HENDRI F. ISNAENI]

Sumber Link : adaptasi dari: http://www.majalah-historia.com/majalah/historia/berita-368-kristen-abangan-ala-sadrach.html

Sejarah Kota Surabaya dan Sidoarjo

Sejarah Kota Surabaya

Pada tahun 1612 Surabaya sudah merupakan bandar perdagangan yang ramai. Banyak pedagang Portugis membeli rempah-rempah dari pedagang pribumi. Pedagang pribumi membeli rempah-rempah secara sembunyi-sembunyi dari Banda, meskipun telah ada persetujuan dengan VOC yang melarang orang-orang Banda berdagang untuk kepentingannya sendiri.

Setelah tahun 1625 Surabaya jatuh ke tangan kerajaan Mataram. Setelah takluk dari kerajaan Mataram, tahun 1967 Surabaya mengalami kekacauan akibat serangan para bajak laut yang berasal dari Makasar. Pada saat keadaan tidak menentu inilah muncul nama Trunojoyo, seorang pangeran dari Mataram dari suku Madura, yang memberontak terhadap Raja Mataram. Dengan pertolongan orang-orang Makasar Trunojoyo berhasil menguasai Madura dan Surabaya.

Di bawah kekuasaan Trunojoyo, Surabaya menjadi pelabuhan transit dan tempat penimbunan barang-barang dari daerah subur, yaitu delta Brantas. Kalimas menjadi "sungai emas" yang membawa barang-barang berharga dari pedalaman.

Dengan alasan ingin membantu Mataram, pada tahun 1677 Kompeni mengirim Cornelis Speelman yang dilengkapi dengan angkatan perang yang besar ke Surabaya. Benteng Trunojoyo akhirnya dapat dikuasai Speelman. Kemudian Gubernur Jenderal Couper mengembalikan Surabaya kepada Mataram.

Pada abad 18, tahun 1706, Surabaya menjadi ajang pertempuran antara Kompeni dibawah pimpinan Govert Knol dan Untung Surapati.

Setelah peperangan terus menerus, tanggal 11 Nopember 1743 Paku Buwono II dari kerajaan Mataram dan Gubernur Jenderal Van Imhoff di Surakarta menanda-tangani sebuah persetujuan yang menyatakan bahwa ia menyerahkan haknya atas pantai utara Pulau Jawa dan Madura(termasuk diantaranya diSurabaya) kepada pihak VOC yang telah memberikan bantuan hingga ia berhasil naik tahta di kerajaan Mataram.Tetapi pasukan Hindia Belanda baru mengunjungi Surabaya pada tanggal 11-April-1746.

VOC mendirikan struktur pemerintahan baru di daerah pantai utara Pulau Jawa dan Madura dengan kedudukan gubernur di Semarang. Di Surabaya diangkat seorang Gezaghebber in den Oostthoek (Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa).

Antara Tahun 1794-1798 Penguasa Bagian Timur Pulau Jawa adalah Dirk van Hogendorp. Pada tanggal 6 September 1799, Fredrick Jacob Rothenbuhler menggantikan Van Hogendorp berkuasa sampai tahun 1809. Pada tahun 1807 Surabaya mendapat Serangan dari angkatan laut Inggris di bawah pimpinan Admiral Pillow yang akhirnya meninggalkan Surabaya.

Setelah kebangkrutan VOC, Hindia Belanda diserahkan kepada pemerintah Belanda. Tahun 1808-1811 Surabaya di bawah pemerintahan langsung Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels yang menjadikan Surabaya sebagai kota Eropa kecil. Surabaya dibangun menjadi kota dagang sekaligus kota benteng.

Tahun 1811-1816 Surabaya berada dibawah kekuasaan Inggris yang dijabat oleh Raffles. Tahun 1813 Surabaya menjadi sebuah kota yang dapat dibanggakan, sampai-sampai William Thorn dalam buku Memoir of Conguest of Java berpendapat bahwa Kota Gresik (pada masa sebelumnya menjadi kota pelabuhan yang ramai) sudah menjadi kuno bila dibandingkan dengan Surabaya.

Setelah itu Surabaya kembali dikuasai Belanda. Tahun 1830-1850, Surabaya betul-betul berbentuk sebagai kota benteng dengan benteng Prins Hendrik ada di muara Kalimas. Pada tahun 1870, Surabaya terus berkembang ke selatan menjadi kota modern.

Sejarah Kota Sidoarjo

Legenda Pada tahun 1019 - 1042 Kerajaan Jawa Timur diperintah oleh seorang Putera dari hasil perkawinan antara Puteri Mahandradata dengan Udayana (seorang Pangeran Bali) yang bernama Airlangga, pada waktu pemerintahan Airlangga, keadaan negara tentram, keamanan terjamin, dan negara mengalami kemajuan yang pesat. Karena raja Airlangga mempunyai 2 orang putera, maka pada akhir masa pemerintahannya ia memandang perlu membagi kerajaan menjadi dua bagian untuk diserahkan kepada kedua putranya, agar dikemudian hari tidak terjadi perebutan tahta. Pembagian itu terjadi pada tahun 1042, yaitu menjadi kerajaan Daha (Kediri) dan Kerajaan Jenggala. Kerajaan Jenggala yang berdiri pada tahun 1024 terletak di daerah delta Brantas, yaitu meliputi pesisir utara seluruhnya, dengan demikian menguasai bandar-bandar dan muara sungai besar, sedangkan ibukotanya berada di sekitar Kecamatan Gedangan sekarang. Lain halnya dengan Kerajaan Kediri, tidak memiliki bandar sebuahpun sehingga walaupun hasil pertanian di Kediri sangat besar dan upeti mengalir dengan sangat besar, semuanya semua itu tidak dapat diperdagangkan karena kerajaan kediri tertutup dari laut sebagai jalan perdagangan pada waktu itu. Maka timbullah perebutan bandar antara kerajaan Kediri dan kerajaan Jenggala, yang kemudian menimbulkan peperangan besar antara kedua kerajaan tersebut, dimana keduanya menuntut kekuasaan atas kerajaan Airlangga.Perang tersebut berakhir dengan kekalahan kerajaan Jenggala, pada tahun 1045(menurut sumber lain Kerajaan Jenggala pada tahun 1060 masih ada).


Demikianlah di daerah Delta Brantas dahulu pada sekitar antara tahun 1042 - 1045/1960 pernah pernah berdiri suata kerajaan yaitu kerajaan Jenggala. Hal itu dapat dibuktikan bahwa pada waktu Kabupaten Sidoarjo susunan pemerintahannya dibagi menjadi beberapa kawedanan (distrik), ternyata nama-nama kawedanan tersebut masih memakai nama-nama yang digunakan pada masa Kerajaan Jenggala , misalnya: Jenggala I,Jenggala II, Rawapulo I, Rawapulo II, dan sebagainya. Nama-nama ini hilang pada kira-kira tahun 1902.

RIWAYAT PERKEMBANGAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO


R.A.A Soejadi
Bupati Sidoarjo
periode 1933-1949
R.Suriadi Kertosuprojo
Bupati Sidoarjo
periode 1950-1958
H.A. Chudori Amir
Bupati Sidoarjo
periode 1958-1959

R.H Samadikoen
Bupati Sidoarjo
periode 1959-1964
Kol.Pol. HR. Soedarsono
Bupati Sidoarjo
periode 1965-1975
Kol.Pol. H Soewandi
Bupati Sidoarjo
periode 1975-1985

Kol.Art. Soegondo
Bupati Sidoarjo
periode 1985-1990
Kol.Inf. Edhi Sanyoto
Bupati Sidoarjo
periode 1990-1995
Kol.Inf. H. Soedjito
Bupati Sidoarjo
periode 1995-1999

Drs. Win Hendrarso ,Msi
Bupati Sidoarjo
periode 1999-





Semula, tepatnya pada tahun 1851 daerah Sidoarjo bernama Sidokare, bagian dari kabupaten Surabaya. Daerah Sidokare dipimpin oleh seorang patih bernama R. Ng. Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang Anom yang dibatu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Pangabahan. Pada tahun 1859, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda no. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6, daerah Kabupaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare.Dengan demikian Kabupaten Sidokare tidak lagi menjadi daerah bagian dari Kabupaten Surabaya dan sejak itu mulai diangkat seorang Bupati utuk memimpin Kabupaten Sidokare yaitu R. Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) berasal dari Kasepuhan, putera R.A.P Tjokronegoro Bupati Surabaya, dan bertempat tinggal di kampung Pandean (sebelah selatan Pasar Lama sekarang), beliau medirikan masjid di Pekauman (Masjid Abror sekarang),sedang alun-alunya pada waktu itu adalah Pasar Lama. Dalam tahun 1859 itu juga, dengan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 10/1859 tanggal 28 Mei 1859 Staatsblad. 1859 nama Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten Sidoarjo. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa secara resmi terbentuknya Daerah Kabupaten Sidoarjo adalah tangal 28 Mei 1859 dan sebagai Bupati I adalah R.Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) Semula rumah Kabupaten di daerah kampung Pandean, kemudian karena suatu hal maka Bupati Tjokronegoro I dipindahkan ke Kampung Pucang (Wates). Disini beliau membangun masjid Jamik yang sekarang ini (Masjid Agung), tetapi masih dalam bentuk yang sangat sederhana, sedang di sebelah Baratnya dijadikan Pesarean Pendem (Asri). Pada tahun 1862, beliau wafat setelah menderita sakit, dan dimakamkan di Pesarean Pendem (Asri). Sebagai gantinya pada tahun 1863 diangkat kakak alnarhum sebagai Bupati Sidoarjo, yaitu Bupati R.T.A.A Tjokronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono), pindahan dari Lamongan. Pada masa pemerintahan Bupati Tjokronegoro II ini pembangunan - pembangunan mendapat perhatian sangat besar antara lain, meneruskan pembangunan Masjid Jamik yang masih sangat sederhana, perbaikan terhadap Pesarean Pendem, disamping itu dibangun pula Kampung Magersari sebelah Barat Kabupaten, yang kemudian ditempatkan disitu orang-orang Madura. Pada tahun 1883 Bupati Tjokronegoro mendapat pensiun, yang tak lama kemudian pada tahun sama beliau wafat, dimakamkan di Pesarean Botoputih Surabaya. Sebagai gantinya diangkat R.P Sumodiredjo pindahan dari Tulungagung tetapi hanya berjalan 3 bulan karena wafat pada tahun itu juga dan dimakamkan di Pesarean Pendem. Selanjutnya dalam tahun1883 itu diangkat R.A.A.T. Tjondronegoro I ini dapatlah dicatat sebagai berikut :

* Dalam Bidang Pembangunan
o Penyempurnaan Masjid Jamik yang telah dibangun oleh para Bupati terdahulu yaitu diperluas dan diperindah dengan pemasangan marmer. Pembangunan ini dimulai hari Jum'at Kliwon tanggal 26 Muharrom 1313 H, bertepatan dengan tahun Wawu 1825 dan tanggal 19 Juli 1895. Bagi Pesarean para Bupati serta keluarganya, para penghulu dan segenap ahlul masjid ditetapkan di pekarangan Masjid Jamik (seperti yang kita saksikan sekarang)
* Dalam Bidang pemerintahan
o Susunan Pemerintahan (Hierarchie) pada waktu itu di Kabupaten Sidoarjo dibagi menjadi 6 Kawedanan (Distrik) yaitu :
1. Kawedanan Gedangan
2. Kawedanan Sidoarjo
3. Kawedanan Krian
4. Kawedanan Taman Jenggolo
5. Kawedanan Porong Jenggolo
6. Kawedanan Bulang

Nama-nama Kawedanan tersebut ternyata masih memakai nama-nama pada waktu Kerajaan Jenggal dahulu.

Masa Pedudukan Jepang ( 8 Maret 1942 - 15 Agustus 1945 ) Sebagaimana juga daerah-daerah di Indonesia, mulai tanggal 8 Maret 1942 daerah Delta Brantas ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Militer Jepang. Pada waktu pendudukan Jepang itu, yang menjadi Bupati Sidoarjo adalah tetap Bupati R.A.A. Sujadi. Pemerintahan jepang sangat militeristik sehingga tidak sedikit para pemimpin dan Pamong Praja yang dianggap merintangi Pemerintahan Jepang menjadi korban Kempetai. Dimana-mana dibentuk Seinendan dan Keibondan dan (sebagai pembantu Polisi ), hingga ke desa-desa terpencil.

Pemerintahan Republik Indonesia. Sebagaimana tercatat pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu, pada waktu itu adalah waktu yang sebaik-baiknya bagi Bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, dimana-mana di daerah Republik Indonesia dibentuk bermacam-macam badan atau perkumpulan yang bersifat nasional. Pada waktu itu yang berkuasa di daerah Delta Brantas ialah Kaigun ( tentara Laut Jepang ) yang dengan rela menyerahkan senjatanya kepada pemuda-pemuda kita. Badan-badan bersenjata mulai dibentuk dengan nama B.K.R dan P.T.K.R. Diantara badan-badan bersenjata tersebut yang paling berkuasa didaerah kita pada waktu itu ialah P.T.K.R. dibawah pimpinan Mayor Sabarudin. Pembunuhan-pembunuhan dijalankan terhadap mereka yang dicurigai sebagai mata-mata musuh. Karena tindakannya yang melampui batas maka oleh pihak pimpinan yang tertingggi dianggap perlu untuk melucuti senjata P.T.K.R. yang ada dibawah pimpinan Sabarudin tersebut. Akhirnya kekuasaan Sabarudin dkk. dapat dilumpuhkan.

Permulaan bulan Maret Belanda mulai aktif dengan usaha-usahanya untuk menduduki kembali daerah kita. Waktu Belanda menduduki Gedangan, Pemerintah memandang perlu memindahkan pusat Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo ke Porong. Tetapi masih ada pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk tetap tinggal di kota Sidoarjo sebagai wakil dari Pemerintahan. Kemudian di Candi di bentuk Markas Gabungan sebagai pertahanan. Pada waktu itu derah Dungus (Kecamatan Sukodono) menjadi daerah rebutan dengan Belanda. Tanggal 24 Desember 1946, Belanda mulai menyerang kota Sidoarjo dengan serangan dijalankan dari jurusan Tulangan. Maka pada hari itu juga Daerah Sidoarjo jatuh ketangan Belanda. Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo dipindahkan lagi ke daerah Jombang. Dan mulai saat itu Daerah Sidoarjo dibawah pemerintahan Recomba yang berjalan hingga tahun 1949.

Sesudah negara Jawa Timur dibentuk, daerah Brantas masuk daerah Boneka tersebut. Pada waktu itu Bupati R.I adalah : K. Ng. Soebekti Poespanoto. R. Soeharto. Tanggal 27 Desember 1949, Belanda menyerahkan kembali kepada Pemerintahan Republik Indonesia, maka waktu itu juga Daerah Delta Brantas dengan sendirinya menjadi daerah Republik Indonesia.

Tidak lama sesudah penyerahan kembali Kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 22/1948, R. Soeriadi Kertosoeprojo diangkat menjadi Bupati/Kepala Daerah di Kabupaten Sidoarjo. Banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Pemerintahan Kabupaten Sidoarjo yang baru. Lebih-lebih karena Daerah Delta Brantas merupakan daerah penghubung antara kota Surabaya dengan daerah pedalamanan. Seperti kita ketahui kota Surabaya adalah termasuk kota yang terbesar di Asia Tengara, sehingga tidak luput dari intaian negara-negara asing yang ingin menyebarkan ideologinya didaerah Indonesia. Karena itu daerah Sidoarjo juga menghadapi segala macam infiltrasi, terutama dari pihak yang tidak menyukai adanya Republik Indonesia.

Kekacuauan- kekacuauan mulai timbul lagi di daerah-daerah. Kekacuauan- kekacuauan itu terutama disebabkan dari usaha-usaha pengikut Belanda yang tidak mau tunduk dibawah Pemerintahan Republik Indonesia. Diantara pengacau-pengacau itu ialah pengacau yang dipimpin oleh bekas Lurah desa Tromposari (Kecamatan Jabon) yaitu Imam Sidjono alias Malik. Didalam menjalankan kekacauan itu, Malik berusaha supaya lurah-lurah lainnya membantu dia. Tidak sedikit Pamong Desa dan Lurah lainnya yang menjadi alat Malik. Senjata yang mereka gunakan ternyata bekas kepunyaan KNIL. Daerah kekuasaannya ialah daerah segitiga : Gempol - Bangil - Pandaan, dan daerah Kabupaten seluruhnya masuk daerah operasinya. Berkat adanya kerja sama Pamong Praja, Polisi dan Tentara, maka kira-kira dalam pertengahan bulan Mei 1951, kekacauan mulai dapat diredakan, Malik tertangkap di daerah Bangil pada tanggal 12 Mei 1951. Operasi-operasi dimana-mana dijalankan terus, dan baru pada permulaan Agustus 1951 keadaaan di daerah Delta Brantas dapat dikatakan aman dan terkendali. Pemerintahan lambat laun berjalan lancar kembali sampai ke pelosok-pelosok desa. Akhirnya sebagai kelengkapan dari cuplikan baru sejarah Kabupaten Sidoarjo dan untuk diketahui oleh masyarakat, maka perlu kami kutipkan nama-nama para Bupati Sidoarjo sejak pertama hingga sekarang.



Sumber: http://ilmusejarah.blogspot.com/

Kamis, 09 Desember 2010

Raja Airlangga itu “The True Personality”

Profesor J.G. De Casparis menyebut Airlangga sebagai The True Personality, karena ia berhasil membawa rakyatnya melewati masa-masa sulit pada saat menghadapi kehancuran. De Casparis adalah profesor dari Belanda, yang telah menulis buku Indonesia Chronology. Ungkapan de Caspian tersebutlah yang menjadi salah satu inspirasi Dr. Ninie Susanti menulis desertasi tentang Airlangga.

Senin (15/11), dosen Departemen Arkeologi FIB-UI tersebut hadir dalam Diskusi Buku Airlangga: Biografi Raja Pembaharu Jawa Abad XI. Diskusi yang diadakan dalam rangka Dies Natalis Universitas Airlangga ke-56 ini bekerjasama dengan Yayasan Kertagama yang fokus dalam bidang kebudayaan.
Acara ini merupakan salah satu bentuk itikad baik Universitas Airlangga untuk merunut jejak sejarah Universitas, sekaligus sejarah bangsa Indonesia. “Saat ini tidak ada hal lain lagi yang bisa dibanggakan Indonesia selain budaya dan sejarah peradabannya,” tutur Harmoko mantan ketua MPR, pendiri Yayasan Kertagama, yang juga turut menghadiri acara diskusi tersebut.

“Mungkin tidak banyak orang yang tahu, nama Airlangga diberikan pada Universitas ini oleh M. Yamin, karena Airlangga adalah salah satu Raja Jawa yang terkenal kebijaksanaannya,” ungkap Sarkawi, S.S., M.Hum, dosen Ilmu Sejarah Unair, mengawali diskusi buku di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Airlangga.

Dr. Ninie Susanti yang telah meneliti Prabu Airlangga sejak tahun 1991 ini mengungkapkan bahwa Airlangga sebagai seorang Raja Besar yang berkuasa pada abad XI telah melahirkan peradaban yang ikut mengilhami perkembangan peradaban sesudahnya dan ditiru oleh raja-raja yang memerintah sesudah Raja Airlangga tidak lagi memerintah.

Raja Airlangga juga telah mewariskan nilai-nilai budaya humanis yang mengakar pada peradaban bernilai tinggi. Nilai-nilai itu dapat dijadikan media atau alat untuk memperkokoh benteng budaya bangsa termasuk untuk memperkokoh karakter bangsa dalam bidang pendidikan pada generasi muda di masa kini dan masa depan.

Peninggalan Raja Airlangga, berupa 33 prasasti yang tersebar di berbagai daerah. Dari prasasti-prasasti inilah, Dr. Ninie Susanti dapat mengungkap sejarah perjalanan Airlangga. Dr. Ninie memulai perjalanannya “mbabat alas” untuk meneliti Prasasti Airlangga pada tahun 1999.

Perjalanannya mencari dan mempelajari prasasti peninggalan Airlangga hingga kepelosok hutan ternyata membuahkan hasil yang tidak mengecewakan. Selain menghasilkan sebuah desertasi, ternyata karya ini juga mendapat banyak apresiasi, salah satunya dari Universitas Airlangga. Sebelumnya Dr. Ninie juga telah membawa Airlangga dalam beberapa diskusi Internasional, di antaranya di Jerman dan Singapura.
Diskusi ini telah membuka mata berbagai pihak, bahwa warisan peradaban adalah sesuatu yang sangat berharga dan perlu dipelihara. Selain apresiasi tinggi dari masyarakat dan pemerintah, diperlukan pula kerjasama dari berbagai pihak untuk menyelamatkan dan memeliharanya. Untuk itu Universitas Airlangga melalui Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga bersama Yayasan Kertagama dan Unesco berencana melakukan penelitian lebih lanjut seputar situs-situs Airlangga, di antaranya adalah rencana rekonstruksi, visualisaisi, desain dan pemeliharaan situs Airlangga.

*Adaptasi dari judul Asli: Airlangga sebagai “The True Personality”
Sumber: (humas ua) http://warta.unair.ac.id/warta.unair.php?id=1220

Selasa, 07 Desember 2010

Aktivitas Ekonomi Orang-orang Cina di Kota Surabaya 1870-1930

Oleh: Drs. Suhartoko, M. Hum**

Masuknya modal swasta asing sejak 1870 menandai pelaksanaan perekonomian liberal di Hindia Belanda, khususnya di Jawa. Pengusaha asing menanamkan modalnya di bidang perkebunan yang menuntut lahan yang luas dan penyediaan fasilitas infrastruktur yang memadai seperti komunikasi dan jaringan jalan. Kesempatan kerjapun terbuka bagi berbagai etnis seperti Arab, Cina, Eropa, dan Timur Asing lainnya.

Hal yang sama juga terjadi di Surabaya, sehingga perkembangan kota Surabaya dan perluasan industri perkebunan sebagai dampak liberalisasi ekonomi makin meluas di kota tersebut. Etnis Cina pun tertarik untuk datang ke Surabaya untuk merebut kesempatan ekonomi yang baru tebuka itu. Sudah menjadi salah satu ciri khas etnis Cina dalam memperluas aktivitas ekonominya, yakni orang Cina akan datang ke suatu tempat jika ditemukan aktivitas ekonomi di daerah itu.[1]

Studi tentang masyarakat Cina di Indonesia cukup menarik untuk dihadirkan karena eksistensi etnis ini telah ikut mewarnai perkembangan sejarah ekonomi dan mengisi struktur sosial masyarakat Indonesia. Tinjauan historis terhadap keberadaan etnis Cina menjadi menarik, karena etnis ini dipahami sebagai salah satu etnis yang berperan penting dalam mewarnai perkembangan ekonomi Indonesia. Kedatangan orang-orang Cina yang sudah berlangsung lama tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, tetapi juga berdampak pada bidang lainnya seperti sosial, budaya, politik, dan sebagainya. Peran ekonomi etnis Cina makin penting ketika pemerintah Hindia Belanda memberikan kelonggaran kebijakan bagi etnis Cina untuk menguasai aspek-aspek ekonomi tertentu seperti perdagangan, pemborongan, pajak, dan penyewaan tanah. Selain itu, pembelian tanah dan penyewaan tanah juga dilakukan oleh etnis Cina untuk mendukung perluasan aktivitas ekonominya.

Perhatian terhadap keberadaan dan peran etnis Cina dalam bentuk penelitian di bidang ekonomi, sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa penulis dari dalam dan luar negeri diantaranya Leonard Blusse (1986)[2], Peter Cary (1985)[3], Johanes Widodo (1988)[4], Retno Winarni (1999)[5], dan Harlem Siahaan[6]. Bahkan sebagian studi yang menyangkut lokalitas perkotan dan dinamika sosial ekonomi, keberadaan dan keterlibatan etnis Cina selalu dihadirkan, seperti studi Putri Agus Wijayati (1998).[7]


Ahli sejarah yang meneliti tentang etnis Cina seperti yang disebutkan di atas sebenarnya dengan jelas memperlihatkan bahwa studi mengenai etnis Cina dan dinamika aktivitasnya belum semua terungkap, termasuk menghasilkan temuan yang berbeda.[8] Hal itu dapat dilihat dari lokasi dan jangkauan studi yang tidak merata. Studi itu lebih difokuskan pada daerah pusat-pusat perdagangan seperti Batavia, Surabaya, Semarang, Cirebon, dan Surakarta. Perhatian dan temuan studi itupun sangat beragam mengenai aktivitas dan dinamika perubahan yang mengikutinya. Oleh karena itu, studi lanjutan mengenai etnis itu masih memungkinkan untuk dilakukan. Dalam kerangka itu pula, penelitian mengenai aktivitas ekonomi orang-orang Cina di Surabaya ini dilakukan guna mengisi kekosongan studi yang dilakukan terhadap etnis Cina di Surabaya, khususnya pada periode setelah lahirnya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870.

Penelitian ini juga didasari oleh alasan mendasar yakni tidak adanya studi mengenai etnis Cina di Surabaya periode abad XIX. Studi yang dilakukan mengenai etnis Cina di Surabaya lebih berfokus pada awal abad XX sampai awal kemerdekaan seperti yang dilakukan oleh Anjarwati.[9] Oleh karena itu, penelitian ini makin dirasa perlu untuk dilakukan guna mengisi kekosongan penelitian pada periode abad XIX, sehingga kontinuitas dan pemahaman terhadap keberadaan dan sejarah etnis Cina di Indonesia, khususnya di Surabaya beserta dinamika perubahan yang terjadi dan yang mengikutinya dapat diketahui secara menyeluruh. Etnis Cina di Indonesia sudah lama datang dan terlibat lebih jauh dalam sejarah sosial dan ekonomi, khususnya di kota-kota bandar/dagang, seperti di Surabaya, Cirebon, dan Batavia.[10]

*************II************* 
Secara historis, aktivitas ekonomi orang-orang Cina abad XVIII merupakan kontinuitas dari peranan yang cukup lama. Pada abad XIX, kelompok masyarakat Cina memainkan peranan yang amat penting artinya dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Perdagangan yang berlangsung melalui pelabuhan yang terletak di sekitar pelabuhan Surabaya merupakan sumber pendapatan penting tahunan bagi Kerajaan Jawa, khususnya Mataram. Dalam hal ini, peranan orang Cina dalam memobilisasi sumber ekonomi itu jauh lebih dominan dibanding orang-orang pribumi. Orang-orang Cina berhasil menguasai perdagangan ekspor, seperti beras dan kayu jati. Orang-orang Cina juga melakukan aktivitas yang sama di setiap kota pelabuhan utama dan kota-kota perdagangan yang terletak dipinggir sungai-sungai bersama-sama dengan para pedagang pribumi.

Orang-orang Cina di Indonesia sebagian besar sebagai pedagang selama berabad-abad. Sejak tahun 1619, orang-orang Cina sudah menjadi bagian penting dari perekonomian Batavia dan kota-kota pantai lainnya di Nusantara. Orang-orang Cina di sana aktif sebagai pedagang dan tukang yang terampil, penggiling tebu, dan pengusaha toko.[1] Pada periode yang sama, penduduk Cina juga mendiami daerah-daerah pusat aktivitas dagang yang maju, seperti di kawasan sekitar Madura.[2] Orang-orang Cina pada umumya bekerja di sektor ekonomi.[3] Di pedalaman Jawa, orang-orang Cina menjadi pengrajin, dan pemborong pajak.[4]

Proses migrasi orang-orang Cina ke Indonesia pada masa kolonial mengalami peningkatan  yang pesat. Hal ini memaksa Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menerapkan kuota (pembatasan) bagi para migran. Secara demografis, kedatangan orang-orang Cina di kota-kota besar termasuk Surabaya menimbulkan permasalahan-permasalahan berupa penambahan jumlah penduduk, yang akan meluas ke persoalan lain seperti sosial ekonomi, politik, dan masalah kriminalitas. Hanya saja kedatangan orang-orang Cina ke Nusantara pada tahun 1720, VOC melakukan pembatasan. 

Pembatasan itu menunjukan bahwa VOC juga tidak selamanya bersikap baik pada orang-orang Cina. Pembantaian terhadap orang-orang Cina di Batavia pada tahun 1740-an merupakan bukti bahwa VOC tidak cukup mampu melindungi orang-orang Cina. Pada tahun 1743 kebijakan berubah ketika Gubernur Jenderal  van Imhoff mengeluarkan kebijakan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas pada orang-orang Cina. Dampak kebijakan ini adalah keadaan ekonomi orang-orang Cina mulai membaik memasuki awal abad XIX.[5]

Pada kenyataannya orang-orang Cina lebih bersifat eksklusifisme.[6] Ciri khas ini disebabkan oleh perlakuan pemerintah kolonial yang juga melegalkan dan memposisikan orang-orang Cina berbeda dengan penduduk pribumi, dari perlakuan ekonomi, orang-orang Cina juga sering diprioritaskan untuk menjalakan usaha ekonomi tertentu seperti pemborongan, sehingga pada perkembangan selanjutnya menimbulkan kecemburuan sosial.    

Perkembangan kota Surabaya hingga tahun 1930 salah satunya diwarnai oleh penduduk yang heterogen. Di antara penduduk yang datang ke wilayah itu terdiri dari berbagai etnis, baik yang berasal dari dalam Indonesia maupun dari luar negeri. Ada yang berasal dari Arab, Eropa, Cina, Moor, India, dan Persia. Etnis itu datang ke Surabaya dengan membawa kepentingan secara berbeda-beda. Etnis itu juga kemudian mendirikan perkampungan sebagai tempat tinggalnya di kota Surabaya.
             
Wilayah Surabaya dibagi tiga distrik, yakni distrik Surabaya, Jabakota, dan Gunungkendeng. Afdeling Surabaya dijadikan sebagai pusat pemerintahan, sehingga kondisi itu telah mendorong berbagai etnis lain untuk tinggal di kota Surabaya. Seiring dengan penetapan kota Surabaya sebagai pusat kota, maka Surabaya banyak didatangi oleh para pedagang dari berbagai negara, termasuk etnis dari Arab, Cina, Eropa, dan India, sehingga Surabaya menjadi ramai dan kota semakin berkembang.

Penduduk afdeling Surabaya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1930 jumlah kepadatan itu meningkat dari 193.492 jiwa pada tahun 1920 menjadi 342.439 jiwa pada tahun 1930, sehingga terjadi peningkatan sebesar 79,98 %. Jadi, rata-rata angka pertumbuhan penduduk sebesar 6,99 % per tahunnya terjadi di kota Surabaya seperti ditunjukan pada tabel di atas.[1] Sebagian besar pertambahan pen­duduk disebabkan oleh faktor migrasi yang masuk ke kota Surabaya Jumlah migrasi masuk bagi orang asing diperkirakan mencapai 6,41 kali  jumlah kelahiran, yaitu 11.263 jiwa, sedangkan migrasi keluar hanya separuhnya, yaitu 5.899.[2] Angka-angka ini tentu­nya menjadi lebih besar pada penduduk pribumi.

Peraturan maupun hukum yang berlaku terhadap orang-orang Cina tidak sama dengan yang berlaku terhadap pribumi sebagai bangsa jajahan. Pemerintah Hindia Belanda menempatkan orang-orang Cina pada lapisan sosial dan mendapat perlakukan tertentu. Orang-orang Cina  dengan pribumi diciptakan oleh dalam suatu pelapisan sosial tertentu. Orang-orang Cina di tempatkan dalam daerah yang disebut “pecinan’.[3] Di daerah itu orang-orang Cina diberi kebebasan untuk memelihara adat-istiadat leluhurnya, membangun pusat perdagangan, dan pemerintah kolonial Belanda mengangkat pemuka masyarakatnya yang disebut “kapiten”.[4] Sebagai kaum minoritas, orang-orang Cina pada hakekatnya menginginkan interaksi yang lebih longgar untuk menghilangkan dikotomi  antara pribumi dan nonpribumi. Sebaliknya, bagi orang pribumi senantiasa dihantui oleh ketakutan terjadinya dominasi Cina terhadap kaum pribumi.

Sepanjang pantai pulau Jawa, masyarakat pedagang Cina telah mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang penting.  Di daerah itu telah terjadi sejumlah perkawinan antara orang-orang Cina dengan penduduk pribumi setempat, sehingga pada perkembangannya, orang-orang Cina di Indonesia ada yang disebut dengan Cina totok dan Cina peranakan.  Kebanyakan orang-orang Cina peranakan yang lahir dari perkawinan dengan penduduk pribumi memeluk agama Islam dan belajar bahasa lokal  (Jawa) sebagai media untuk memudahkan komunikasi dalam masyarakatnya.[5] Aktivitas dari kedua golongan itulah yang menjadi perhatian utama penelitian ini.

Posisi Surabaya sebagai kota pedagangan dapat dijelaskan dengan teori pusat pertumbuhan. Teori itu menyatakan bahwa apabila suatu daerah terletak di daerah yang aman, mudah dijangkau, memiliki sumber daya ekonomi yang memadai, dan mempunyai lingkungan dasar yang baik untuk menunjang aktivitas ekonomi, maka daerah itu akan maju dibanding dengan daerah yang sumber dayanya terbatas.[6] Surabaya dalam hal ini memenuhi unsur teori itu karena memiliki daerah hiterland yang memiliki sumber daya ekonomi dan pemerintahan untuk mengendalikan dan menjaga keamanan daerah itu.

Para migran Cina yang ada di Jawa, khususnya di Surabaya berasal dari propinsi Hokian (daerah Cina Selatan).[7] Orang-orang Cina yang dikenal di Indonesia adalah Cina totok dan Cina peranakan. Yusiu Liem mengatakan bahwa Cina totok disebut juga sing-kek (pendatang baru) yaitu orang-orang Cina sebagai migran ke Indonesia.[8]  Adapun yang dimaksud  dengan sebutan peranakan adalah orang-orang Cina yang hidup beberapa generasi di Indonesia. Ada suatu kemungkinan bahwa dikotomi Cina totok dan peranakan itu bukan didasarkan atas asal usul dan tempat kelahiran. Sebenarnya dari segi kultural yang dianut etnis Cina masih dapat dibedakan antara Cina totok dan Cina peranakan. 

Umumnya orang-orang Cina totok masih tetap berpegang pada ikatan budaya leluhurnya serta berorientasi ke budaya yang ada di negerinya (Cina). Pada masyarakat Cina peranakan menganut budaya campuran, banyak yang berpendidikan Barat. Karakteritas struktural pada masyarakat Cina yang berhubungan dengan dikotomi Cina totok dan peranakan. Hal lain juga yang mempermudah identifikasi identitas etnis Cina peranakan dan totok adalah agama yang dianut. Masyarakat Cina totok masih tetap mempertahankan keyakinannya pada kepercayaan tradisionalnya yaitu yang disebut taoisme, kungfusianisme, dan Budhisme. ketiga kepercayaan ini disebut Sam-Kao (tiga agama).[9] Ntuk Cina peranakan sebagian besar sudah berubah agama seperti agama kristen katolik, Islam, dan agama Kristen Protestan.

Sam-Kao (kepercayaan terhadap tiga agama) menjadi dasar keyakinan dan pemikiran masyarakat Cina, terutama terhadap ajaran Konfusius. Ajaran ini sangat berpengaruh dalam perilaku kehidupan masyarakat Cina, baik Cina totok maupun Cina peranakan. Ajaran ini dianggap mampu memberi tekanan pada kohesi sosial, rasa solidaritas sesama orang-orang Cina serta menciptakan pengelompokan secara ekonomi. Keterikatan dari tiga elemen normatif filosofis tersebut dianut oleh masyarakat Cina totok sebagai pedoman dalam perilaku kehidupan. Orang-orang Cina totok mendasarkan pada ajaran kongfusius yang mengutamakan tentang ajaran moralitas, menciptakan suatu tradisi yaitu suatu kesetiaan terhadap keluarga dan negaranya.[10]   

Sikap seperti itu sangat dominan pada orang-orang Cina totok dalam rangka pembentukan clan-clan pengusaha Cina. Ajaran agama Sam-Kao sangat dihayati oleh masyarakat Cina khususnya orang-orang Cina totok, sebab ajaran ini dapat dijadikan sebagai penangkal unsur-unsur budaya baru. Kesetiaan terhadap keluarga atau clan seperti yang telah dianjurkan oleh ajaran konfusius sangat dipatuhi oleh orang-orang Cina totok dalam rangka pengelompokan-pengelompokan ekonomis yang sangat dominan dan untuk mengimbangi persaingan individual.[11]
Cina peranakan lebih berorientasi pada sektor ekonomi di kota. Hal ini berlangsung di Jawa, khususnya Jawa Timur sepanjang abad XIX sampai awal abad XX. Perubahan itu antara lain disebabkan oleh merosotnya peranan politik, ekonomi, dan sosial komunitas Cina di Surabaya.[12] Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Jawa Timur, telah memicu aktivitas ekonomi orang-orang Cina khususnya Cina peranakan tidak lagi menjadi kuli. Orang-orang Cina peranakan ingin meningkatkan derajatnya lebih tinggi dengan melepaskan pandangan filsafat atau kepercayaan nenek moyangnya. Orang-orang Cina peranakan lebih mudah menerima budaya baru berupa peradaban Eropa agar mendapatkan kemungkinan terjadinya perluasan sektor usaha baru.

Orang-orang Cina yang lahir di Jawa dan sudah tidak mengenali tanah leluhurnya, umumny sangat antusias untuk dapat mengembangkan usahanya di bidang pertanian dan perkebunan-perkebunan. Perubahan mobilitas status orang-orang Cina peranakan menjadi warga golongan Timur Asing merupakan kelas-kelas sosial yang didambakan dalam struktur perbedaan warna kulit (segregasi sosial).
 
Kaum imigran Cina yang datang dari daratan Tiongkok kemudian menetap di Jawa dan di Jawa Timur, baik sebagai warga negara asing maupun yang beralih warga negara menjadi warga negara Nederlandsch Oost-Indië. Kaum imigran ini umumnya disebut dengan istilah Cina totok. Generasi Cina yang hidup turun temurun Indonesia dan sebagian telah mengalami asimilasi baik antar etnis Cina (umunya generasi hasil perkawinan ini sudah tidak kenal tanah leluhurnya), maupun yang melakukan asimilasi dengan kaum pribumi. Generasi Cina keturunan ini kemudian disebut Cina peranakan.
 

*******III*****

Sejarah ekonomi Indonesia selama masa sebelum kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara ternyata diwarnai oleh adanya aktivitas ekonomi orang-orang Cina. Orang-orang Cina datang ke Indonesia menggunakan jung mengarungi perairan Nusantara menuju pulau rempah-rempah Maluku pada abad XV dengan maksud untuk berdagang. Dalam kaitan itu, apa yang dikatakan oleh Skinner bahwa kehadiran orang Cina tidak semata-mata disebabkan oleh adanya faktor inter di daerah asalnya berupa perang dan konflik, kelaparan, dan tantangan alam yang tidak cukup memberikan pemenuhan kebutuhan masyarakatnya, tetapi lebih karena adanya peluang ekonomi baru yang terbuka di daerah baru yang ditemukan. Pada konteks yang sama, dapat dipahami bahwa selama periode penelitian (1870-1930), perkembangan kota Surabaya yang muncul sebagai daerah industri dan perdagangan yang ramai ikut menjadi faktor penarik orang-orang Cina untuk hidup menetap, berdagang, dan melakukan aktivitas ekonomi lainnya di Surabaya hingga ke  pelosok pedesaan.

Penerapan UU Agraria pada tahun 1870 yang antara lain hanya membolehkan orang-orang Cina dan Eropa ternyata dimanfaatkan sebagai jembatan untuk masuk ke pedesaan guna mengukuhkan posisi orang-orang Cina sebagai pedagang perantara. Posisi itu juga telah menempatkan orang-orang Cina sebagai pedagang pengumpul dan memainkan peranan penting dalam proses suply barang dagang kepada etnis lainnya.
Perkembangan kota Surabaya sebagai kota industri dan perdagangan bagi bahan baku industri telah memberikan  peluang  bagi berkembangnya  aktivitas  perekonomian  orang-orang  Cina. Oleh karena itu, kondisi sosial ekonomi yang demikian menjadi peluang bagi perkembangan aktivitas ekonomi orang-orang Cina di Surabaya. Aktivitas perdagangan orang-orang Cina di Surabaya mengalami peningkatan seiring dengan adanya perubahan teknologi terutama dalam bidang pertanian. Tumbuhnya pabrik gula dan munculnya ekonomi di luar sektor pertanian  merupakan salah satu instrumen penarik yang dimanfaatkan oleh orang-orang Cina untuk datang dan mengembangkan ekonominya di Surabaya.

Pembangunan jaringan jalan dan jembatan semakin memperlancar mobilitas ekonomi orang-orang Cina.  Orang-orang Cina tampil sebagai pihak yang paling dinamis dan cerdik dalam persaingan. Kondisi itu berlangsung hingga tanda-tanda depresi ekonomi mulai terasa (1927). Kondisi sosial juga sangat mendukung untuk berkembangnya aktivitas orang-orang Cina di Surabaya, antara lain tumbuhnya lapisan-lapisan rnasyarakat yang semakin memperlebar dikotomi kota dan desa. Demikian halnya perkembangan segregasi kota memberi dampak pada lemahnya kesatuan komunitas pribumi, akan tetapi semakin memperkuat komunitas orang-orang Cina dengan aktivitas perekonomiannya. 

Keadaan ini dapat dibuktikan dengan adanya kepercayaan Pemerintah Hindia Belanda yang diberikan kepada orang-orang Cina untuk mengelola sumber-sumber ekonomi yang   sebelumnya  ditangani  oleh pemerintah Hindia Belanda. Para pedagang Cina itu sering melakukan perdagangan ekspor-impor melalui pelabuhan Surabaya. Dalam skala besar orang-orang Cina itu juga mengelola perkebunan-perkebunan tebu dan diperbolehkan oleh pemerintah kolonial untuk mendirikan pabrik gula. Berbagai hak monopoli telah dikuasainya antara lain pajak pasar, pemborong kayu jati, pemborong rumah gadai dan rumah judi serta kongsi dagang yang sifatnya sangat rahasia yaitu kongsi bandar opium.
 
Periode tahun 1920-an menjadi periode penting bagi ekonomi orang-orang Cina. Pada periode ini, orang-orang Cina ikut terlibat dalam politik. Hal ini selain berkaitan dengan posisi orang-orang Cina yang selama berabad-abad terpinggirkan oleh kebijakan politik kolonial, tetapi secara ekonomi orang-orang Cina justru dipercaya untuk mengelola sumber-sumber ekonomi penting. Kedudukan ekonomi orang-orang Cina pada periode 1920-an sampai tahun 1930 dapat dikatakan sudah cukup kuat. 

Hal ini dapat dilihat dari beragamnya jenis aktivitas sosial ekonomi orang-orang Cina. Pendirian sekolah dan penerbitan surat kabar serta masuknya orang-orang Cina ke dalam politik Indonesia menjadi bukti kuatnya posisi ekonomi orang-orang Cina di Hindia Belanda. Posisi itu juga semakin memperkuat usaha dagang Cina dalam bentuk persekutuan Cina di Surabaya yang ditandai dengan munculnya organisasi atau unit-unit usaha yang dikenal dengan istilah kongsi dan yayasan yang mengelola urusan kematian dan perkawinan

[1]Verslag van den toestand der Gemeente Soerabaia Ge­du­ren­de het Jaar 1929 (Weltevreden-Soerabaia: N.V Koninklijke Boek­handel en Drukkerijen G. Koff & Co), hlm. 12.
[2] Ibid. hlm. 13.
[3]Hampir seluruh kota-kota utama atau perdagangan di Indonesia ditemukan kampung cina atau istilah polpulernya Pecinan. Penghuni kampung ini sebagian besar adalah orang-orang Cina. Hariyo P, 1994, Ibid.
[4]istilah kapiten juga dapat ditemukan di dalam elite komunitas Arab. Hal yang sama juga terjadi di dalam komunitas Cina. Hariyo P, 1994, Ibid. Artono, Perkembangan Komunitas Arab di Kota Surabaya, 1900 – 1942, Tesis, (Yogyakarta: Pascasarjana UGM, 2003); Mona Lohanda, The Kapiten Cina of Batavia, 1837–1942: A History of Chinesse Establishment in Colonial Society (Jakarta: Djambatan, 2001)  hlm. 1-3.    
[5]Peter Carey, op, cit., hlm. 15.
[6]Soegijanto Soegijoko, “Growth Centered Development Within the Framework of Prevailing  Development Policies in Indonesia”, in; UNCRD, Grouwth Pole Strategy and Regional Development in Asia (Nagoya: UNCRD, 1976), hlm. 6
[7]W.P. Groenevelt. Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources (Jakarta, C.V. Bhatara 1960), hlm. 7
[8]Yusiu Liem, Prasangka terhadap Etnis Cina (Jakarta, Jambatan, 2000), hlm. 10
[9]Ibid
[10]H.G, Creel, Alam Pikiran Cina (terj. Soejono Soemargono) (Yogyakarta, Tiara Wacana., 1990), hlm. 33
[11]Nani Handoko. T., dkk., Penguasa ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa (Yogyakarta, Kanisius,1996), hlm. 7
[12]Proses defeodaliosasi menandai runtuhnya pengaruh kerajaan-kerajaan tradisional di Jawa dan digantikan oleh dominasi birokrasi pemerintah kolonial serta tumbuhnya struktur perekonomian yang kapitalistik akan berakibat dalam masalah sosial.

[1]Johanes Widodo, Chinesse Setttlement in a Changing City, an Architectural Study of the Urban Chinese Settlemen in Semarang, Indonesia (Belgium: Katholike Universitiet Leuven, 1988).
[2] F.A. Sutjipto, “Kota-kota Pantai di sekitar Selat Madura Abad XVII sampai Medio Abad XIX”, Disertasi (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1983), hlm. 328.
[3]Ibid. hlm. 329
[4]Tengku Lukman Sinar, The Grouth of Chinese Coolie in East Sumatra from Middleman to Economic Magnetic (Kertas kerja seminar sejarah di Leiden 1980).
[5]The Siauw Giap, “The Socio-Economic Role of the Chinese in Indonesia 1820-1940”, dalam Angus Madison dan Gé Prince (ed.), Economic Growth in Indonesia 1820 – 1940 (Dordrecht-Holland: Foris Publication, 1989), hlm. 159.   
[6]Eksklusivisme ini dimaksudkan sebagai faham atau sikap ingin memisahkan diri dari yang lain, yaitu suatu  kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat. Hariyo P., Kultur Cina dan Jawa (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), hlm. 10.



[1]G. William Skinner, “The Chinese Minority”, in; Ruth T. MacVey (ed.) Indonesia, (New Haven: Southeast Asia Study, Yale University Press, 1967), hlm. 97 – 117.  
[2]Leonard Blusse, Strange Company, Chinese Settlers, Mestizo Women and the Dutch in VOC Batavia, (Dordrecht-Holland, Riverson USA, Foris Publication, 1986).
[3]Peter Cary, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825 (Jakarta: Pustaka Asset, 1985).
[4]Johanes Widodo, Chinesse Setttlement in a Changing City, an Architectural Study of the Urban Chinese Settlemen in Semarang, Indonesia (Belgium: Katholike Universitiet Leuven, 1988).
[5]Retno Winarni, “Aktivitas Ekonomi Perdagangan Orang-orang Cina di Pantai Utara Timur Jawa pada abad 18 awal abad 19” Tesis S-2 Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1997
[6]Harlem Siahaan, “Kolonisasi dan Kongsi Cina di Kalimantan Barat, Pembentukan dan Perkembangannya, 1772 – 1854”, Tesis, (Yogyakarta: Pascasarjana UGM, 1994).
[7]Putri Agus Wijayati,  “Tanah Dan Sistem Perpajakan Kolonial di Karesidenan Besuki awal abad 19”, Tesis S-2 Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1998.
[8]Penelitian Harlem Siahaan tentang aktivitas etnis Cina di Kalimantan Barat sangat jauh berbeda dengan aktivitas etnis Cina di tempat lain seperti Batavia dan Semarang. Di Kalimantan Barat orang-orang Cina sebagian besar berprofesi sebagai petani dan pengolah tanah, sedangkan di Batavia dan Semarang kebanyakan orang-orang Cina berprofesi sebagai pedagang. Harlem Siahaan, op. cit., hlm. 7; Leonard Blusse, op. cit., hlm. 12. 
[9]Andjarwati Noordjanah, “Komunitas Tionghoa di Surabaya dalam Tiga Jaman, 1900 – 1946”, Skripsi (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 1998).  
[10]Ibid.